Selasa, 31 Maret 2009

Blok Damai, Tahanan Reman

Blok Damai, Tahanan Reman

Keluar dari ruangan pemindai dubur, aku tersadar jika kini aku kiyam – kaki ayam; tak beralas kaki. Mungkin sepasang slipar yang kukenakan sebelumnya tertinggal sewaktu pemeriksaan barang-barang bawaan. Kalau saja ingatanku masih beres, tentu selop jepang itu masih setia kutunjang. Akan tetapi, bukan hanya daku seorang yang tiada mengenakan alas kaki. Dalam kelompok tahanan yang bergerak maju ke hadapan secara beriringan, banyak terdapat kaki-kaki telanjang berjemari rimpang.

Dari sini, rombongan kami digiring berjalan kaki di bawah atap ruas koridor sedikit ke arah barat untuk selanjutnya utara menuju sesuatu tempat yang jaraknya lumayan jauh dan berbelok lagi ke timur; lalu sedikit ke utara dan sedikit ke timur lagi. Sepanjang perjalanan tiada henti beberapa tahanan yang telah berstatus penghuni lama dan orang kerja membentak-bentak dan mencaci-maki orang baru. Apa yang telah dilakukan tahanan baru sehingga menuai siksa dan sumpah serapah dari tahanan lama tidaklah penting. Orang-orang lama gemar menciptakan suasana tegang yang menggelisahkan dan menimbulkan perasaan frustrasi dalam diri tahanan baru. Ngomong kalau enggak keras, enggak puas. Filthy language – kata-kata kotor – moncor dari congor mereka sederas-derasnya. Tampak senang rupa mereka ketika dapat membuat tahanan lain merasa gentar dan cuak. Alangkah baiknya andai mereka menggunakan bahasa yang lugas dan agak santun dalam mengarahkan. Tidaklah sepantasnya mereka teriak-teriak terhadap hal-hal yang tak perlu mereka teriaki. Dan aku, meski telah menjadi terbiasa dengan segala macam bentakan dan cacian, tetap saja gentar setiap kali mendapatkannya; aku merasakan tubuhku seakan-akan mengecil. Berhadapan dengan makhluk nekat seperti mereka memang harus berhati-hati.

Di penghujung koridor, kami berhenti dan jongkok. Dua baris tulisan masing-masing terdiri dari dua kata terpampang di atas gerbang pintu blok. Sebelah atas tertulis “Blok Damai” sedangkan di bawahnya tertera “Tahanan Reman.” Ini menunjukkan bahwa segenap penghuni blok ini adalah tahanan titipan pengadilan yang belum jatuh hukum. Pintu blok dibuka dan kami masuk secara tertib dua baris.

Setelah masuk blok, setiap banduan menyerahkan secarik kertas slip data banduan yang dipegangnya kepada orang kerja untuk keperluan pendataan ulang. Kemudian, antri untuk mendapatkan makan senja hari. Menu pada waktu itu, kalau tidak salah, adalah seporsi nasi dengan daging sapi rebus, kentang rebus berkulit, kangkung rebus dan kuah sayur plus sebiji pisang banten atau seiris semangka merah. Aku tidak kebagian pisang maupun semangka lantaran persediaan telah habis. Sedangkan alas makan kami waktu itu adalah tutup tray. Ada pemandangan di mana penghuni lama mengoleksi kentang yang tidak disentuh atau tidak habis dimakan oleh tahanan baru. (Kentang-kentang itu mereka kumpulkan; sebagian besar hasilnya mereka serahkan kepada tahanan yang di perutnya terdapat modul-modul tembakau selundupan). Usai makan, (tutup) tray dicuci oleh masing-masing banduan yang mengotorinya. Dan air pet terpapar kuman dan bakteri ecoli di atas kakus kamar mandi seperti yang ada di Balai Polis tetap laku keras di sini untuk diminum oleh para banduan. Sesudah itu, slip identitas diri kembali diberikan oleh orang kerja kepada masing-masing tahanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar