Selasa, 31 Maret 2009

Bebas dengan Jaminan

Bebas dengan Jaminan

Setelah lawyer membayar uang jaminan, sipir menjemput kami di lokap. Ia sebut namaku pertama-tama, kemudian Ali dan Arman. Dio tidak disebut. “Itu kawan kami. Kami satu kes,” kataku berulang kepada sipir, khawatir pintu lokap segera dikunci sebelum Dio sempat keluar. Listia juga dikeluarkan dari lokap wanita. Lantas, berlima kami digiring kembali ke dalam ruang sidang. Hanya kali ini tangan kami sudah tak lagi bergelang gari. Sudah tak tampak lagi Puan Hakim hadir di dalam ruang sidang. Yang kulihat adalah panitera, pengacara, Ray dan Pinky. Kusalami Ray dan Pinky.

“Anda salah jawab ketika Puan Hakim menanyakan pekerjaan Anda,” bertutur panitera kepada kami dengan gaya bahasa yang cukup ramah.

“Mereka tak ada kerja lah,” jawab Pinky. Barangkali yang ingin dia katakan adalah bahwa pekerjaan kami tidaklah harus sesuai dengan permit yang diberikan.

“Tapi semestinya kalian jawab persis seperti yang tertera pada ijin kerja kalian – construction worker. Puan Hakim bilang kalian kerja tipu-tipu,” berkata pula panitera.

Secara formal, penjamin ada dua orang, Ray dan Pinky. Ray menjamin Ali, Dio dan Listia. Sedang Pinky menjamin Arman dan aku. Meski demikian, kecuali untukku, semua uang jaminan mengalir dari kantong pribadi Ray. Uang jaminan untukku berasal dari Alex, boss baruku.

“Sebagai penjamin, Anda berkewajiban mengetahui keberadaan orang-orang yang Anda jamin. Anda harus dapat menghadirkan orang-orang yang Anda jamin pada sidang-sidang Mahkamah. Bilamana Anda gagal menghadirkan terdakwa, maka (1) uang jaminan akan disita dan diserahkan kepada Negara untuk membiayai Penjara; dan (2) Anda harus dapat menjelaskan pada hakim seputar ketidakhadiran terdakwa,” menjelaskan panitera tentang kewajiban yang harus dipenuhi oleh Ray sebagai penjamin dan sanksi yang menyertainya. Hal serupa disampaikan oleh Panitera kepada Pinky yang menjadi penjamin Arman dan aku.

Kepadaku, Panitera memberi penjelasan tambahan tentang ketetapan Hakim, “Encik Iman Tagas Rusmiono, Anda dibebaskan sementara dengan jaminan sebesar RM 7000. Anda wajib hadir pada sidang-sidang yang diselenggarakan oleh Mahkamah.” Dan kepada kami semua, Panitera mewanti-wanti, “Bilamana Anda lari atau tidak hadir dalam sebuah sidang Mahkamah, Mahkamah akan terbitkan surat perintah bagi kepolisian untuk memburu dan menangkap Anda. Seandainya Anda meninggalkan Negara Malaysia, nama Anda akan tercantum sebagai orang tercela di Negara Malaysia dan Anda tidak akan mendapat kebenaran untuk masuk ke Negara Malaysia.”

Ali bertanya bagaimana andai ada keadaan darurat yang mengharuskan salah satu dari kami meninggalkan Negara Malaysia.

“Bila ada kecemasan seperti ada anggota keluarga yang sakit atau meninggal dunia yang mengharuskan Anda meninggalkan Negara Malaysia,” menjelaskan panitera, “Anda dapat meminta bantuan lawyer untuk mengurusnya.”

“Mengenai permit yang telah expired?”

“Juga pada perkara-perkara permit kerja Anda; bila-bila masa habis, lawyer boleh menguruskan itu.”

Sayang, aku tidak memiliki lumbung aksara dan pustaka yang berisi koleksi kata dan frasa yang cukup lengkap agar dapat kuraup, kupilah, kupilih dan kuramu menjadi bahasa yang representatif dalam kemasan pas untuk melukiskan keadaan kami waktu itu. Penampilan kami kusut masai; sungguh kumal tidak karuan. Porak poranda. Zipper celana panjang hitamku jebol karena tak tahan lasak. Agar tak kentara, kututup dengan kaos oblong putih yang kubeli di penjara waktu Pinky dan Jane melawatku; tentu mereka yang bayar. Walau tak sampai compang camping, kami tampil jauh dari kesan modis dan parlente. Sampai-sampai panitera merasa berkepentingan untuk menyentil dan campur tangan.

“Dalam setiap sidang,” berkata panitera saat memulai memberi wejangan, “Anda diharuskan berpakaian rapi dan bersih, mengenakan baju berkerah, seluar sopan dan kasut kulit. Anda tidak dibenarkan berpakaian T-shirt, celana Jeans/Denims atau mengenakan slipar atau bahkan tidak beralas kaki sama sekali.”

Kuterjemahkan, kelak dalam persidangan berikutnya kami harus tampil pol necis. Rambut berminyak lavender Tancho dan disisir klimis gaya bétél (the Beatles); bulu hidung digunting pendek, uban dicabut; kumis, cambang, dan jenggot dikerok dan dibentuk apik; celana dan kemeja digosok licin, disaput minyak nyong-nyong Air Mata Duyung. Bukan cuma itu. Kayaknya aku harus menempah baju dan celana khusus dari seorang modiste ternama yang punya pengalaman luas sebagai guru di sekolah kostum. Akan kusuruh dia untuk membuatkannya hanya dari kain terbaik buatan bangsa. Di selingkaran pinggang, melilit sedikit longgar sabuk kulit ular sawah dengan gesper suasa atau besi putih kepala naga. Cincin platina atau emas bermata baiduri sebesar telur pipit menghias di jari manis tangan kiri. Sepasang kasut pantofel hitam bersalut semir sampai licin mengkilap hingga – berkata anak Medan – silau dan tergelincir lalat dibuatnya. Jika perlu, berdasi. Mawar di dada sebagai pemantas wajib hukumnya. Tak lupa bawa saputangan wangi segala. Pokok’e, metroseksual habis.

Setelah urusan administratif jaminan kelar, panitera mengucapkan salam perpisahan untuk berjumpa kembali sembilan bulan ke hadapan, “See you next year.”

“See you next year,” membalas lawyer.

* * *

Konspirasi Penyamun-Sipir; Enough is Enough

Konspirasi Penyamun-Sipir; Enough is Enough

Ada satu perkara yang dapat dipikirkan oleh sipir lokap tapi tidak terlintas dalam pikiran petinggi Mahkamah; yakni, potensi lokap sebagai sumber mata pencaharian tambahan yang dapat diandalkan untuk menopang hidup lebih dari sekedar cukup. Lokap Mahkamah PJ menjadi saksi bisu betapa power of money memainkan peran kunci dalam menentukan siapa yang boleh dilawat, siapa yang dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia luar, dan siapa pula yang berhak mendapat tembakau. Syahdan terbetik kabar, besaran uang kopi sangat berperan dalam conjugal visit – kunjungan pasangan hidup untuk sambung raga dalam rangka memenuhi sebagian tuntutan kebutuhan hayati di masa birahi – pada hari ketika banduan naik mahkamah.

Kopral Jamil, sebagai misal, ikut bermain secara aktif dalam transaksi tembakau yang hendak diselundupkan ke dalam penjara. Disamping itu, ia juga melakoni peran kurir dan makelar untuk menjembatani kebutuhan tahanan. Dengan imbalan tertentu, Encik Kopral dapat mempertemukan tahanan dengan sanak keluarga di depan pintu lokap. Tiada kutahu apakah pertemuan serupa itu legal atau illegal. Ia juga sempat kulihat menyediakan jasa pelayanan telepon bimbit. Entah karena naluri bisnisnya yang kuat; entah pula oleh sebab ekornya telah terpegang, ia selalu ringan tangan menuruti perintah banduan. Tahanan-tahanan penyamun berhasil mendapatkan komitmen Kopral Jamil cum suis untuk memasok tembakau dan barang-barang lain secara berkelanjutan. Dan sangat mungkin, sipir lokap Mahkamah Petaling Jaya menjalankan usaha sebagai penadah barang-barang hasil rampasan. Tahanan penyamun melego sebagian barang-barang rampasan melalui sipir lokap untuk mereka tukar dengan tembakau. Biar kupertegas, lokap bagi mereka adalah mesin uang yang terlalu seksi untuk diabaikan. Ditinjau dari sumbernya, uang datang dari: (i) pembesuk – keluarga dan teman banduan; (ii) rampasan dan penjualan hasil rampasan; (iii) simpanan dan titipan. Kesemuanya dipakai untuk mendapatkan tembakau dan obat-obatan terlarang.

Perokok berat tidak punya minat terhadap apa pun kecuali tembakau. Mereka tahu cara mendapatkannya, di mana mendapatkannya, dan cara terbaik untuk memasukkannya ke dalam penjara. Sepenuhnya mereka menyadari bahwa tembakau merupakan investasi berharga yang menunjukinya jalan untuk menjadi seseorang di dalam penjara. Siapa pun yang memiliki tembakau adalah seorang raja kecil berkuasa di balik jeruji. Memiliki tembakau dapat berarti perawatan kesehatan lebih terjamin, asupan gizi lebih terpelihara, keamanan lebih terjaga, peringkat popularitas meningkat. Upaya dengan ganjaran sepadan. Begitu pula, hypnotic beauty of tobacco mampu menyihir orang alim menjadi lalim, terlepas dari ras dan kelas. Seorang imam sembahyang yang getol menjadi komandan shalat selagi kami masih berada di Blok Tawekal Penjara Sungai Buloh, contohnya, mendadak bersalin peran dan perangai. Ia menjadi serakah dan gelap mata ketika melihat tembakau berburai di dalam lokap Mahkamah PJ. Sorot matanya menyala jalang.

Demikian juga, tembakau berhasil membuat Kopral Jamil, seorang sipir lokap Mahkamah PJ, pontang panting berkhidmat untuk banduan. Kepada tahanan yang memesan nasi tembakau darinya, encik kopral bertingkah laku sebagai membudak. Membungkuk-bungkuk dengan wajah sumringah sang kopral menjinjing paket nasi dus pesanan seorang banduan. Dari Kopral, paket pesanan berpindah tangan. Bungkus dibuka. Satu demi satu isi paket dikeluarkan. Nasi, lauk pauk, dan satu botol minuman mineral. Nasi disingkap; beberapa tepek tembakau terungkap. Begitu pun dari kotak lauk pauk; tepek-tepek tembakau tampak menyembul dari dasar besek sterofoam. Sigap anggota regu – sekawanan tahanan – memulai kerja keras. Beralas helai plastik bekas pembungkus nasi, tembakau dilumat tumbukan-tumbukan keras tumit kaki; dibantu jimpitan jari jemari tangan. Suara tumbukan cukup keras menggetar ruangan. Tumbukan-tumbukan keras yang kurang beraturan namun berirama mengingatkanku pada kerja menumbuk padi dari masa kilang padi masih jarang ditemui. Orang kota masa kini barangkali tidak pernah menyaksikan orang-orang desa menumbuk padi dengan alu dan lesung. Bagi mereka, suara-suara keras tumbukan lebih menyerupai suara sayup sampai penancapan paku bumi; tiang pancang proyek konstruksi. Sementara itu, ditingkahi batuk kering sporadis, setengah banduan tenggelam dalam kenikmatan menghisap tembakau. Kepulan-kepulan asap memenuhi segenap ruangan lokap; setebal dan sehitam asap diang tandan sawit di kandang kerbau; diang – unggun – penghalau lalat dan nyamuk serta makhluk pengganggu lainnya.

Setelah dianggap padat, tembakau dibalut plastik. Berbentuk modul. Seperti peluru; silinder memanjang plus sedikit kerucut lonjong pada satu ujungnya. Tidak ada standar ukuran modul yang dibuat. Tiap anggota membuat dengan ukuran berbeda – dari yang sebesar ibu jari kaki sampai sekecil kelingking anak ingusan. Modul disegel dengan cara ujung dan tepi plastik pembungkus dipanaskan dengan busur api yang memercik dari lighter; lalu direkat. Nah, selesai sudah kerja bikin modul tembakau. Tinggal satu langkah pamungkas: menelannya. Dengan bantuan air sebagai tenaga pendorong, setiap modul ditelan. Kini modul tersimpan aman dalam perut; cara primitif yang terabaikan oleh intelijen modern. Tak satu jua langkah pengamanan penjara (Sungai Buloh maupun Kajang) dapat mendeteksinya. Dalam pada itu, tak kulihat adanya ganja dan obat-obatan terlarang diselundupkan ke penjara, tapi ada yang bilang itu ada. Selang sehari dua, modul tembakau akan keluar dari ujung rangkaian alat pencernaan makanan bersama hampas – tinja – dan siap untuk dikonsumsi. Kotor sedikit pada pembungkusnya tidaklah masalah. Itu bisa dicuci. Tapi harganya, bung! Oleh kalangan terbatas di penjara Sungai Buloh, tahanan yang di perutnya penuh tembakau setelah naik mahkamah mendapat sambutan kebesaran dan dielu-elukan bagai pahlawan pulang perang dengan membawa kemenangan besar. Seorang tahanan bertutur, konon ada yang pernah mencoba menyelundupkan modul tembakau dengan cara memasukkannya ke dalam lubang dubur. Cara ini tidak efektif, tidak aman, dan mudah terdeteksi oleh kamera pengintai yang ditaruh di bawah pintu rongga pantat.

Satu sampai dua hari adalah rentang waktu normal yang diperlukan oleh modul-modul tembakau untuk bergerak perlahan melewati daur lengkap lintasan saluran pencernaan makanan: mulut faring kerongkongan lambung usus kecil usus besar anus. Modul tembakau keluar bersama enzim pencernaan dalam liputan tinja. Berkat bantuan air dan makanan yang dicekokkan ke dalam saluran dengan jumlah kelewat banyak, rentang waktu itu dapat dipersingkat. Ada tahanan yang mampu menyelesaikan segenap daur hanya dalam tempo empat jam! Sepertinya untuk masa-masa yang akan datang, orang tutupan telah harus mulai mempertimbangkan manfaat laksatif – obat cuci perut atau pencahar – sebagai bagian penting dari media pendukung yang memperlancar usaha penyelundupan tembakau ke dalam penjara. Masalahnya, membawa masuk laksatif ke dalam penjara – yang mau tak mau harus mengecoh sipir – itu juga sudah masalah.

Dari sebuah angle, Dio mendapat tekanan dari rekan satu selnya dari penjara Kajang. Dio dimintai uang untuk keperluan membeli tembakau. Lucu benar anak muda berandalan penggandrung tembakau satu ini. Ia nekat memeras kawan satu sel yang sebetulnya sama-sama tidak pegang uang. Dengan galak ia memberi perintah kepada Dio untuk menyuruh orang-orang yang menjamin kami untuk mengantarkan uang ke lokap mahkamah. “Aku mau tahu siapa yang dapat dipercaya,” berkata anak teruna yang belum akil balig itu kepada Dio dengan intonasi berat. Jelas itu ancaman. Tersirat dari warna suara dan bahasa tubuhnya ia akan melakukan perhitungan jika Dio tidak mematuhinya. Dan perhitungan itu akan ditagihnya jika kelak mereka bertemu kembali di penjara. Tanpa kontak mata, Dio cuma berujar datar, “Ya, nanti saya suruh orang bagi wang ke sini.” Dalam lapar, manusia tutupan tak dapat berpikir dengan benar. Lupa dia kalau Dio tidak dapat memerintah orang untuk membuang uang secara serampangan. Ada yang bersedia bertanggung jawab dan menjaminnya saja sudah syukur Alhamdulillah. Kami sendiri – Ali, Arman, dan aku – tidak bereaksi ketika ada tahanan yang mencoba memeras Dio. Alasan kami untuk tidak ikut campur tangan cukup sederhana: kami tidak akan pernah secara sadar dan sengaja mencari kesusahan. Kebebasan telah tampak di pelupuk mata dan kami masih cukup waras untuk tidak mengacaukannya.

Dalam pengamatanku, hingar bingar lalu lintas di luar sana turut andil dalam memperlancar misi dan aksi pengepakan dan penyelundupan anasir haram ke dalam penjara. Andai tiada kendaraan bermotor berlalu-lalang di jalan raya dekat sana, aku yakin tumbukan-tumbukan kerja pengemasan tembakau akan mengundang minat seisi mahkamah. Mereka tentu penasaran untuk mencari tahu musabab dan asal suara-suara aneh itu. Walau begitu, sembilan puluh sembilan perseratus dari setiap aksi penyelundupan merupakan kontribusi aktif sipir lokap Mahkamah Petaling Jaya. Sipir lokap Mahkamah PJ bertanggungjawab secara pribadi atas perannya menjebol langkah-langkah pengamanan penjara.

Demikian pula, sipir bertanggung jawab secara langsung maupun tidak langsung atas perampasan yang dilakukan oleh sesama tahanan. Soalnya, jika sipir tidak melacurkan diri sebagai perantara dan penyedia dalam transaksi tembakau, tentu uang tidak memiliki cukup arti bagi tahanan penyamun. Dan andai uang tidak berperan, maka niat merompak akan surut. Lagipula, bila sipir melakukan fungsi pengawasannya dengan baik, tentu tidak ada yang berani bermain api; merampok dalam lokap. Toh mereka – tahanan penyamun – adalah manusia biasa. Tentu mereka masih punya rasa takut. Tanpa pengawasan sipir, penghuni lokap mahkamah seakan dipaksa untuk menentukan sikap dalam mengambil posisi: pemburu atau mangsa. Tidak ada kedudukan untuk yang di tengah-tengah.

* * *

Untuk mendapatkan kuasa uang, siapa pun berpeluang untuk tega merampok sesama dalam lokap. Apalagi penyamun kawakan; tak hendak segera mereka bertobat. Korban yang disasar tentu wajah baru yang belum punya kawan dan tidak memiliki pengalaman teruji dalam rimba kekerasan. Dengan hanya sekali pandang, penyamun ulung akan tahu siapa yang masuk kategori sasaran empuk tersebut. Mereka, sebagian, adalah banduan yang terbelit kasus pelanggaran undang-undang keimigrasian; pemukim haram asal Indonesia.

Untuk memuluskan aksi-aksinya, tahanan penyamun menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dengan mitra strategis mereka yang miskin pekerti, yakni segelintir sipir lokap Mahkamah PJ seperti – langsung saja aku tunjuk hidung – Kopral Jamil. Kenikmatan mereguk keuntungan materi dalam kurun waktu yang lama telah membutakan hati dan membebalkan nurani sipir lokap Mahkamah PJ. Kuperhatikan dengan mata kepala dan mata hati, Encik Kopral pantang diumbang; gila hormat dan mudah dijilat. Antara penyamun dan sipir terjalin simbiosis mutualisma. Bagi korbannya, para penyamun tersebut adalah satwa pemangsa; kawanan serigala berbulu domba. Sedangkan sang kopral di mata korban perampokan di lokap Mahkamah adalah pagar. Sayang, ia bukan pagar pelindung. Ia adalah pagar makan tanaman. Dan bagi sistem peradilan dan lembaga penjara, mereka adalah parasit; benalu dengan akar yang merasuk dan menghisap pohon semang. Mereka adalah parasit perintis yang membukakan pintu bagi parasit-parasit lain untuk masuk dan tumbuh berkembang beranak pinak dalam lembaga hukum dan perundangan. Perlahan tapi pasti mereka melubangi wibawa Mahkamah titik demi titik. Adalah shock therapy salah satu cara paten untuk memulihkan dan menunjuki mereka jalan kembali ke arah yang sesuai dengan tertib hukum dan perundangan yang berlaku. Tak perlu pemangku hukum dan undang-undang gentar tegak lurus berdiri di atas dasar yang teguh dan benar.

Selaku sapu yang dirancang dan didedikasikan untuk membersihkan dan terus-menerus bersinggungan dengan sampah sosial, tentu banyak kuman menempel pada batang dan bersarang di sela-sela ikatan lidi. Untuk menjaga kebersihannya, sapu harus sering dicuci. Tetapi, biarpun sudah dicuci seribu kali dan kelihatan bersih, tetap saja si pemilik sapu tak boleh sekali-kali berbusung dada mengaku bahwa sapu itu telah suci hama. Cobalah lihat dengan suryakanta – kaca pembesar. Jasad renik pengganggu dari reruntuk dunia itu masih ada. Agar tidak menjalar dan merebak sehingga tak terkendali, parasit mesti dienyahkan. Sapu musti dicuci-hama secara berkala. Jika tidak, sistem peradilan akan runtuh. Karena parasit kemaruk cuma mau peduli pada kepentingannya sendiri. Dia makan bagian-bagian tubuh semangnya sehingga merangas dan mati. Klimaksnya, semang mati, ia pun terikut binasa. Punggur rebah, belatuk menumpang mati.

Andai K-9 team disiagakan dan CCTV dipasang, sipir-sipir bermoral bejat seperti Kopral Jamil sudah barang tentu bakal merasa bahwa ruang geraknya kian terbatas. Begitu pula, perampokan oleh sesama tahanan di lokap Mahkamah PJ tidak akan dapat dilakukan secara leluasa. Pada akhirnya itu hanya akan jadi lembaran hitam sejarah kelam yang tak perlu dikenang.

Aku bermimpi, akan tiba suatu masa ketika tiada lagi orang yang percaya aparat kepolisian Balai Polis Puchong memilih-milih mangsa tangkapannya. Akan tiba suatu masa di mana orang tidak percaya bahwa gerobok lubang dara tak berkunci milik lokap Balai Polis Puchong pernah menjadi wahana penggerayangan barang-barang tahanan oleh sesama tahanan yang hasilnya disetorkan kepada sipir wirausaha untuk ditukar dengan tembakau. Akan datang suatu masa ketika tiada orang percaya dengan berita bahwa jiwa warga negara asing pernah terancam dalam sekapan lokap Balai Polis Puchong gara-gara seorang sipir kleptokrat menipu tahanan penyamun yang memesan tembakau darinya. Akan tiba suatu masa di mana orang tidak percaya bahwa lokap Mahkamah Sesyen Petaling Jaya pernah menjadi ajang perampokan oleh dan atas sesama pesakitan yang dilindungi dan diprovokasi oleh sipir mahkamah. Akan tiba suatu masa di mana tiada orang akan percaya bahwa pernah dalam kurun yang lama sipir Mahkamah PJ mempersembahkan baktinya untuk tahanan yang berminat menyelundupkan tembakau dan obat-obatan terlarang ke dalam penjara. Masa yang kuimpikan itu adalah masa ketika setiap aparat sanggup menggunakan kewenangan secara benar dan bertanggung-jawab; masa ketika hukum dan undang-undang telah berdiri tegak tanpa pandang bulu dan bau. Aku tak mau kehilangan – meskipun aku harus bertarung sampai denyut nadi terakhir untuk mengejar – mimpi itu. Enough is enough.

* * *

Ali Jadi Raja

Ali Jadi Raja

Setibanya dalam lokap, kami berbagi kebahagiaan. Nyaris tak ada yang mengucapkan selamat. Kecuali satu orang; tahanan warga Kamboja, pesakitan kasus pelanggaran undang-undang keimigrasian. Dia telah diputus hukuman kurungan badan empat bulan. Padahal masa tahanannya telah mencapai enam bulan. Otomatis dia bebas. Hanya saja, sebagaimana halnya dengan banduan berkewarga-negaraan asing yang terbabit kasus pelanggaran keimigrasian, dia harus menjalani tahanan di camp selama beberapa masa sebelum akhirnya dihukum buang ke negara asalnya. Aku mafhum ketika tidak semua yang ada di sana senang mendengar kami bebas atas jaminan. Seorang tahanan bahkan langsung bermuka masam dan memberi tanggapan sinis dan sewot. Dia adalah tahanan yang memesan nasi bungkus – plus bonus tembakau – dari Kopral Jamil. Merepet manusia tadi tiada henti kepada Ali. Padahal sewaktu kami masih sama-sama tumpang di blok Tawekal Penjara Sungai Buloh, dia termasuk satu dari sedikit orang yang pembawaannya terbilang tenang. Juga kulihat lelaki Cina – yang tadi dalam ruang sidang mendapat putusan ganjaran denda RM 52.000 atau kurungan badan enam bulan – duduk di sudut lokap dekat kakus, tenggelam dalam kesedihan. Kepada kami ia bertutur tiada peluang seseorang akan membantunya menyediakan uang denda sebesar itu.

Sementara itu, datang Kopral Jamil membawa sebungkus rokok. Dan rokok itu dia serahkan kepada Ali. Tentu saja rokok putih berpenapis itu pemberian dari Pinky di luar tadi. Selanjutnya Ali membagi-bagikannya kepada seisi lokap. Mereka bersuka cita dengan pemberian itu. Adalah suatu kemewahan yang luar biasa bagi tahanan yang dapat merasakan kembali kenikmatan sigaret keluaran tamadun moden; peradaban modern. Telah lama mereka tidak menikmati cita rasa serupa. Bagi mereka, pemberian langka tersebut adalah ibarat bulan jatuh ke riba.

Di tengah-tengah pesta rokok putih, tiba-tiba saja Ali mengejutkanku. Aku kaget karena ia marah. Inilah kali pertama Ali marah dengan suara keras sepanjang yang kutahu. Ia menghardik seorang warga Bangladesh bertubuh kecil usia setengah baya kawan satu sel ketika kami masih di blok Damai empat sampai tiga minggu ke belakang. Ali marah kepadanya lantaran tiada ia bersegera mengisap rokok putih pemberian itu. Orang itu malah menaruh rokok itu terselip gagah di atas cuping telinga.

“Isaplah,” memohon Ali kepada warga Bangladesh yang diberinya sebatang rokok.

“ Nanti.”

“Isaplah sekarang! Nanti diminta orang pula.”

Dan lelaki hitam manis berjenggot kambing dengan kepala setengah botak di bagian depan dan pipi bercambang ikal itu akhirnya menurut pada perintahnya.

* * *

Penetapan Jaminan RM 7000,- per Satu Orang

Penetapan Jaminan RM 7000,- per Satu Orang

Pintu lokap lelaki dibuka. Satu per satu borgol di pergelangan tangan banduan dilepas. Satu demi satu tahanan dijebloskan ke dalam lokap. Demikian halnya keempat kawan serantai denganku; gari di tangan mereka turut dilucut. Sedangkan belenggu yang menggari tanganku dibiarkan terkunci. Tinggallah aku satu-satunya banduan yang masih digelang gari dan berdiri di luar lokap. Ketika aku meminta gari yang menggelangku dibuka, sipir menolak. Alih-alih, tiga rekan satu kasus denganku – Ali, Arman, dan Dio – dipanggil keluar satu per satu dan diborgol pada tiga gelang lain yang masih satu rantai denganku, tanpa aku terlebih dahulu masuk lokap; karena kedatangan kami telah sangat dinanti oleh pendakwa raya dan petugas KPDN. Lantas kami empat serantai – plus Listia yang juga dijemput dari lokap perempuan – digiring ke dalam ruang sidang.

Ketika kami masuk, Puan Hakim tengah membacakan keputusan hukuman yang dijatuhkan kepada seorang banduan. Ia adalah seorang warganegara Malaysia etnis Cina. Adalah denda limapuluh dua ribu ringgit atau kurungan badan enam bulan hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Kesalahan yang didakwakan: kepemilikan VCD/DVD bajakan. Kulihat juga beberapa peti kardus terikat dan tertutup yang berisi ribuan keping VCD/DVD bajakan sebagai barang bukti ditumpuk di atas deretan bangku panjang paling belakang yang ada dalam ruang sidang. Setelah rampung Puan Hakim menanda-tangani amar putusannya, banduan digelandang keluar untuk kemudian diparkir di dalam lokap mahkamah. Dan kini panitera membuka sidang dibuka untuk kami.

Sesaat setelah sidang dibuka, pendakwa raya membacakan keabsahan paspor Arman, Dio, Listia dan aku. Sedangkan keabsahan paspor Ali dibacakan oleh penguam. Penyebab paspor Ali berada di tangan lawyer adalah ketika polisi menangkap kami, paspor Ali sedang berada di tempat agen untuk kepentingan perpanjangan permit kerjanya. Ketika itu Ali hanya memegang semacam surat keterangan dari agen yang menjelaskan bahwa paspor sedang diproses ijin kerjanya. Kupejam mata ketika pendakwa raya membacakan keabsahan paspor yang kumiliki. Dio, yang pergelangan tangan kirinya menyatu dengan pergelangan tangan kananku oleh gari, meremas tangan kananku dengan tangan kirinya; mencoba menenangkanku. Rupanya dia merasakan getaran emosi yang merambati tanganku dan mungkin juga dia sempat memperhatikan ekspresi wajahku. Di satu sisi, Dio berusia paling muda di antara kami. Namun di sisi lain, kunilai anak di bawah umur ini adalah yang paling tabah. Selama kami berada dalam tahanan, tak pernah sekalipun kulihat air mata menggenang di kelopak matanya.

Setelah mendengar keabsahan paspor yang kami miliki, Puan Hakim bertanya kepada baik itu pendakwa raya maupun penguam tentang makna dari absah. Keduanya menjawab bahwa paspor tersebut benar diterbitkan oleh kantor imigrasi Indonesia dan masih berlaku. Puan Hakim lantas meminta keduanya untuk maju. Ia tadahkan dan julurkan tangan kanannya ke depan sebagai sinyal bagi attorney dan lawyer untuk menyerahkan dokumen itu kepadanya. Puan Hakim pun membuka lembar demi lembar paspor kami sambil sekali-sekali ia layangkan pandangannya kepada kami. Tiada pula ia sudi membiarkan waktu berlalu tanpa mencermati permit kerja kami.

“Apa kerja kalian?” tanya Puan Hakim; Listia yang dipandang.

“Disainer,” jawab Listia.

“Kau?” sekarang pandangannya menyaput Ali.

“Disainer juga,” jawab Ali.

“Kalian juga?”

Masing-masing kami – Arman, Dio dan aku – pun menjawab sama, “Ya, disainer.”

“Orang ini kerja tipu-tipu lah,” bergumam Puan Hakim.

Selanjutnya Puan Hakim bertanya kepada pendakwa raya apakah kasus akan tetap dilanjutkan, mengingat paspor kami asli dan masih berlaku. Pendakwa raya pun menyatakan bahwa kasus tetap dilanjutkan. Betapa emosiku tidak stabil sepanjang waktu persidangan. Pun tatkala pendakwa raya bersikukuh bahwa ia tetap akan melanjutkan tuntutan terhadap kami, mataku berkunang pertanda aku dalam keadaan gentar; seakan jarak antara kami dan kebebasan kian merenggang. Tak berapa lama, lawyer mengajukan jaminan. Kontan saja pendakwa raya bicara ia minta uang jaminan RM 10.000 per orang. Ketika pendakwa raya mengajukan angka sepuluh ribu, perasaanku sedikit tenang. Uang jaminan sejumlah itu masih jauh lebih rendah ketimbang angka yang diprediksi oleh Ali ketika kami masih di blok Tawekal penjara Sungai Buloh; waktu itu Ali menyebutkan besaran uang jaminan sekitar RM 50.000. Kepada Puan Hakim, lawyer menawar RM 6000. Tidak banyak pertimbangan, Puan Hakim menetapkan RM 7000. Lawyer setuju.

“Semua jamin?” tanya puan hakim pada penguam. Pertanyaan sederhana itu menyentak dan membuatku lagi-lagi tertegun; ngeri membayangkan kesengsaraan yang berlipat-lipat jika lawyer hanya akan menjamin beberapa saja dari kami. Kekuatiran akan kengerian itu kembali merayap ke segenap pembuluh darah dan menyumbat saluran pernapasanku. Memang, sebagaimana halnya Ali, Pinky memberi jaminan padaku bahwa perusahaan akan menjamin kami semua. Tapi bagaimana jika karena satu dan lain hal mereka terpaksa mengingkarinya?

“Ya,” jawab lawyer; membuatku bernafas lega kembali.

Atas permintaan pendakwa raya, Puan Hakim menetapkan paspor kami berlima ditahan oleh Mahkamah. Keputusan penting lainnya adalah Puan Hakim menetapkan bahwa sidang lanjutan bagi kami baru akan digelar sembilan bulan ke depan, yakni Maret 2008. Palu diketuk pertanda sidang ditutup. Masih dalam keadaan diborgol, kami digiring masuk kembali ke lokap Mahkamah. Di luar, cuaca telah berubah cerah. Di tengah perjalanan antara ruang sidang dan lokap mahkamah yang berjarak hanya beberapa puluh langkah, Pinky secara diam-diam menyodorkan dua bungkus rokok putih kepada Ali. Kopral Jamil, salah seorang sipir mahkamah, mengetahui hal itu dan melarangnya.

Pelepasan Tahanan dari Penjara Sungai Buloh

Pelepasan Tahanan dari Penjara Sungai Buloh

Rabu, 6 Juni 2007. Massa banduan sangat banyak dan aku tak dapat menaksir jumlahnya; menyemut. Kurasa antara tiga ratus sampai empat ratusan; mayoritas warga negara asing. Pantaslah pabila Pemerintah Malaysia dibuat pening karenanya.

Di tengah hiruk pikuk dan padatnya iring-iringan banduan yang akan naik mahkamah, seorang banci tak bergincu membayang-bayangi dan – macam katak pohon – menempel di ekorku. Jakunnya naik turun. Matanya mengerling binal. Gerak-gerik kedua belah bibirnya komat-kamit tak beraturan tiada henti; kayak pantat babon ayam buras yang siap bertelur.

Aku enggak pangling kepadanya. Aku masih ingat betul muka bencong itu. Dia adalah wadam yang sama dan satu-satunya waria menor yang pada tanggal 4 Mei 2007 sebelumnya disodori gunting kuku oleh seorang sipir karena kuku panjangnya yang berkuteks biru terong harus dipotong pendek. Kupercepat langkah untuk memperlebar jarak; tidak mudah. Karena harus menyeruak menerobos massa manusia dalam gerak kolosal yang semuanya tengah dirundung masalah.

Mungkin karena melihat garis wajahku yang tulen Jawa, “Alon-alon, mas,” kicau khunsa jantan berlagak betina – itu menggoda manja; bindeng dan sangat tidak merdu. Berdiri bulu kudukku; merinding. Aku bersumpah. Coba kalau di alam bebas, kutumbuk dia; kubuat torpedonya jadi peloh tak berguna; kutunjangkan loncengnya sampai dia terjengkang, terjerambab, menggelepar, dan pangsan sekalian. Jengkel aku. Sekali lagi aku mencoba untuk melepaskan diri dari waria tak-bersolek tadi. Dan kali ini pun aku gagal. Payah juga enyah dari kintilannya. Tiadalah aku dapat menerobos barisan yang bergerak merayap sementara kuharus tetap menghindari kemungkinan bersenggolan dengan sesama tahanan. Karena di dalam sini, senggolan bisa berarti marabahaya yang mengancam jiwa. Sementara itu, keadaan barisan yang berjalan berarak makin ke belakang makin pecah tidak beraturan.

Tepat di depan pintu keluar blok, rangsum teh tarik dan roti untuk sarapan pagi dibagikan. Dimulai dari yang terdepan, pembagian catu dilakukan ketika para tahanan masih berjalan beriring-iringan dalam barisan. Kemudian masing-masing mencari tempat yang nyaman untuk menyantapnya. Tanpa kelakar, berserak di koridor banduan bersarap beberapa potong roti tawar bermentega yang dicelupkan ke dalam secangkir teh suam-suam kuku. Embun belum kering dan tak segera mengering karena kabut tebal sisa hujan tadi malam masih pekat menyelimuti pagi. Di sana-sini dekat koridor antar blok, gumpal-gumpal embun bening seputih salju terperangkap sarang laba-laba yang berselirat, menggantung rendah di atas dan sela-sela hamparan rerumputan setinggi mata kaki dari permukaan bumi; bak koloni jamur di musim subur.

Satu per satu banduan menyerahkan cangkir ke dalam dua buah gerobak dorong yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh orang kerja. Aku adalah satu di antara sedikit orang yang menyerahkan cangkir pada menit terakhir. Ketika aku akan memasukkan cangkirku ke dalam salah satu gerobak, kulihat dalam cangkir-cangkir kotor yang menumpuk masih banyak roti dan teh bersisa. Rupanya banyak banduan tak berselera makan; lantaran pikiran kacau menerawang apa yang akan terjadi terhadap diri masing-masing pada sidang mahkamah yang akan dihadapi beberapa jam ke depan.

Usai sarapan, banduan berbaris rapih persis di sebelah timur koridor. Tatkala diperintahkan duduk, semuanya jongkok teratur. Jalanan basah, sehingga nyaris tak satu banduan duduk pada menit-menit pertama. Namun lama kelamaan, satu dua banduan terlihat duduk beralas sandal. Demikian pula halnya denganku. Aku memilih duduk karena kedua belah tungkaiku serasa kebas dan semutan. Lutut pun kurasa linu di tempurungnya. Dalam pada itu, massa awan putih tebal di langit Sungai Buloh masih mengandung banyak air hujan; memaksa matahari untuk tetap bersembunyi. Lama-lama rinai kembali memerciki penjara. Tanpa dikomando dan tiada pula meminta ijin atau restu guru terlebih dahulu, tahanan secara bergelombang beringsut dari barisan untuk kemudian bergegas ke bawah naungan atap koridor. Derai air hujan akhirnya benar-benar membikin barisan tahanan bubar.

Berselang seperempat jam hujan mulai reda dan tahanan kembali membentuk barisan jongkok di tempat semula – jalan pinggir koridor – yang kini telah menjadi lebih basah. Sementara itu, terdapat empat sampai enam orang banduan berpenampilan lain dari yang lain. Mereka mengenakan kaos hijau putih lengan panjang dengan tulisan “PRA-BEBAS” di punggung. Mereka adalah narapidana yang telah selesai menjalani masa hukuman. Ketika berpapasan dengan sipir pembina yang mereka kenal secara pribadi selama dalam penjara, mereka bersalaman dan bertegur-sapa.

“Mau kemana?” tanya sipir kepada mereka yang menyalami.

“Bebas, Cikgu.”

“Nanti cuma cuti sahaja,” sipir menanggapi dengan guyonan; mengingatkan banduan untuk tidak berbuat kekeliruan – apapun bentuknya – yang dapat mengantarkan mereka kembali ke balik jeruji besi.

“Tidak. Tak cuti. Bebas,” jawab banduan sambil menggoncang-goncang dan meremas tangan cikgu yang disalaminya.

Tak lama kemudian, dua gerobak dorong sarat muatan diparkir tepat di depan barisan. Isinya adalah barang-barang titipan banduan. Satu per satu nama dipanggil; dan satu per satu pula barang pindah tangan – dari tangan sipir kembali kepada pemilik aslinya. Karena ruwetnya pengurusan barang-barang titipan, ada kasus dalam mana ada barang tak ada pemilik; atau sebaliknya, ada banduan yang tidak mendapatkan barang titipannya di sini. Banduan yang tidak mendapatkan barangnya di sini kelak akan memperolehnya di loket depan; tempat di mana yang bersangkutan menitipkannya tatkala baru masuk ke penjara. Di tempat ini, seorang WN Bangladesh yang tak faham Bahasa Melayu komplain. Sipir minta bantuan penerjemah yang juga seorang banduan untuk mengartikannya ke dalam Bahasa Malaysia. Penerjemah bilang RM40 dari RM80 uang titipan tahanan tersebut raib. Sipir mengatakan bahwa hal itu mengada-ada. Dan dalam Bahasa Bangladesh yang tak kumengerti sang penerjemah bicara dengan mata melotot kepada tahanan yang merasa kehilangan uang, isyarat agar tahanan tidak mempermasalahkan perkara sepele seperti itu.

Pagi berkalang kabut; suhu turun. Tabir embun tebal membatasi jarak pandang. Dinginnya pagi membuat penampang pori-pori kulitku mengatup; mengerucut bintil-bintil seperti kulit brutu – deposit lemak pada pangkal ekor – ayam tukung terindil. Dalam selimut dingin, gerimis memercik lembut kecil-kecil. Tegak berdiri tubuh serasa menggigil. Sementara itu, pemberangkatan banduan tidak dilaksanakan sekaligus dalam waktu yang bersamaan; tetapi diatur gelombang demi gelombang menurut tujuannya masing-masing: mahkamah tempat sidang. Terdapat enam atau tujuh mahkamah yang dituju. Banduan dengan tujuan Mahkamah PJ termasuk gelombang yang pengurusan pemberangkatannya dilakukan paling akhir.

Di depan loket, satu per satu banduan maju menghadap dan – dengan tekanan suara nyaring – menyebutkan nama dan nomor masing-masing. Setelah mengakurkannya dengan berkas yang ada di tangan, petugas memberi secarik kertas bertuliskan nama dan nomor banduan yang mereka sebut “Tiket.” Kutengok di tempat pengembalian jaket dan sepatu beberapa banduan menyerahkan tiket mereka kepada petugas. Kupikir mereka menggunakan tiket untuk mengambil titipan sepatu dan jaket. Karena aku tidak pernah menitipkan barang apapun, baik sepatu maupun jaket, maka tiketku tetap kupegang. Untung tak kurenyuk dan kubuang. Demikian pula halnya dengan Arman dan seorang banduan lain; hanya saja aku tak tahu apa yang mereka pikirkan ketika tiket perjalanan tetap mereka genggam.

Untunglah Ali dan beberapa banduan lain mengingatkan bahwa tiket harus diserahkan kepada petugas. Walau agak terlambat, kuminta tiket Arman yang masih dipegangnya untuk kemudian – bersama dengan punyaku – kuserahkan kepada petugas berwajah kesal. Kuperhatikan tahap demi tahap prosesi pelepasan tahanan dilakukan dengan sangat hati-hati. Tiket itu, misalnya, digunakan untuk memastikan akurasi jumlah tahanan yang akan naik mahkamah. Jumlah tiket harus sama dengan jumlah banduan yang akan naik mahkamah. Hitungannya harus lengkap genap. Setelah jumlahnya akur, banduan digiring ke koridor untuk digari.

Bak halkah gelang kaki penari latar nan kemayu pada sebuah pertunjukan kuda kepang, gemerincing belenggu besi padat tumpat yang sangat kuat dipasang di tangan menggugah imaji. Nuansa magis sangat kental terasa. Tegang. Semuanya tegang. Tak ada yang bermuka manis. Seuntai gari menggelang enam tahanan sekaligus. Sedangkan kami, lantaran satu gelang patah, cuma berlima. “Tahanan mana pula ini yang sanggup membuat pecah gari?” bertutur seorang sipir sebagai peningkah. Seorang banduan yang masih satu rantai denganku mengeluh kalau borgol di tangannya terlalu ketat mencengkeram. Ia sampaikan hal itu kepada seorang sipir yang kebetulan lewat meronda. Sipir malah menekannya lagi. Sang banduan kian kesakitan. “Puki ayam!” umpatnya melaknat; dengan nada yang direndahkan. Di penjara selalu saja sipir menemukan cara dalam menyiksa. Sebagian besar sipir membenci pekerjaan mereka; sehingga aura amarah dan permusuhan menyungkupi hati. Pada tahanan, mereka melampiaskannya secara tidak tersumbat.

Dari sini, banduan digiring menuju gerbang utama, ruang pertama ketika pertama kali kami masuk; aula kedatangan dan keberangkatan. Setelah masuk, semua diperintahkan duduk berbaris. Satu-satu tahanan dipanggil; yang telah mendapat panggilan diharuskan berdiri. Demikianlah seterusnya sampai seluruh daftar periksa dibacakan dan semua tahanan berdiri. Ada sebuah peristiwa ketika seluruh daftar periksa telah dibaca dan dicontreng, ada tersisa seorang tahanan yang masih duduk. Ketika ditanya nama dan nomor banduan, ia menyebutkan sebuah nomor dan satu nama yang telah dibubuhi tanda-periksa. Ternyata namanya telah dipanggil. Sipir langsung merongos dengan suara menggelegar. Masih untung dia karena sipir tidak mementungnya.

Setelah data dicocokkan, pintu gerbang dibuka, dan banduan siap-siap digiring mengarah keluar. Dalam pada itu seorang banduan minta kebenaran untuk buang air kecil. Permintaannya tidak digubris. “Kencing saja di lori,” jawab sipir sangar, “Kami tak mau ambil resiko. Nanti lari pula kau,” tambahnya pula dengan intonasi tinggi dan tentu tak bersahabat. Sakit itu terus dideritanya hingga kelak kami sampai di lokap Mahkamah Petaling Jaya. Kubayangkan rasa sakit menyiksa di pangkal penisnya kurang lebih sama seperti derita linu menyiksa yang kualami tigapuluh sembilan hari sebelumnya ketika aku harus menahan hasrat yang sama di pejabat Kementerian Perdagangan (& Perlindungan Pengguna?) Dalam Negeri, Petaling Jaya. Salah-salah kencing batu.

Gerimis masih setia menemani pagi ketika kawanan-kawanan banduan digiring naik ke atas lori-lori tahanan. Kabut membuat mata kurang awas. Dari belahan langit timur matahari gusar sebab awan merintangi. Di lori, kecuali Ali dan Arman yang harus duduk di lantai, segenap tahanan duduk dalam posisi miring ke samping berhadap-hadapan di atas dua bangku panjang yang menempel di sisi kiri dan kanan bak lori. Sebelum kami pergi, kupandangi gulungan dawai duri di atas benteng bui; berharap aku tidak akan pernah kembali.

Berselimut hawa sejuk, mobil tahanan dan polisi pengawal meluncur; meraung-raung serunai dan keciut tayar (ban) tergelincir bergesekan dengan badan lebuh raya. Di tepian jalan, kanopi dedaunan sawit meliuk lampai saling bergesekan dan bergetar enerjik bagai tarian kecak Bali ketika dilengkung angin dan ditimpa hujan. Selama tiga perempat perjalanan, angin kencang dan hujan lebat menyertai kami; seakan-akan langit hendak mencurah habis sisa-sisa persediaan air musim kemarau. Sepanjang perjalanan dari Sungai Buloh sampai ke Petaling Jaya, tak henti-henti aku komat kamit berdzikir. Demikian pula sejumlah tahanan lain terus-terusan berdoa. Karena posisi dudukku yang miring mepet di pojok kiri depan gerobak, setengah pakaian dan tubuhku bagian kiri basah ketirisan gerimis dan hujan yang mengguyur bersicepat selang-menyelang. Semoga ini pertanda baik, bukan alamat bencana. Sepanjang perjalanan, tiada seorang jua mau angkat bicara.

Sampai halaman Mahkamah, hujan telah reda; tapi tanah masih sangat basah. Kusapu langit, matahari tiada menampakkan wujudnya. Kulihat hadir Ray, Pinky, dan pengacara; mata mereka mengikuti setiap gerak kami semenjak kami turun dari truk tahanan dan melangkah menuju lokap Mahkamah. Banduan dari penjara Kajang ternyata telah tiba lebih awal dari kami. Ketika kami digiring masuk ke dalam lokap mahkamah, dari celah-celah jeruji pintu besi lokap perempuan kulihat Listia terisak menangis di atas bangku batu, tangan mendekap kaki, lutut bertekuk menyangga dagu. Singgah sebentar mataku pada rembah-rembih air mata yang menggenangi pipinya. Kepedihan itu nyata. Nelangsa pula aku jadinya. Di lokap lelaki juga kutengok Dio telah ada; ia kelihatan baik-baik saja. Ini merupakan pertemuan pertama kami sepanjang tigapuluh tiga hari terakhir, semenjak Dio dipisahkan dari rombongan kami di Penjara Sungai Buloh karena usianya yang masih muda belia.

Hikayat Tiga Pemuda

Hikayat Tiga Pemuda

Semalaman, tidur aku tak nyenyak. Boleh kubilang, aku tak dapat tidur. Aku bangkit dan mengambil air sembahyang; shalat malam dan berdzikir sampai fajar menjelang. Aku teringat sebuah hikayat yang pernah dikhabarkan oleh guru ngaji. Tersebut tiga pemuda terperangkap dalam sebuah gua pada mana pintu gua tertutup rapat sebuah batu besar. Segenap upaya yang mereka lakukan untuk membuka pintu gua (menggeser batu) sia-sia.

“Coba ingat-ingat,” berkata seseorang kepada kedua rekannya, “Apakah pada masa lalu kita telah pernah melakukan sesuatu kebaikan; kebajikan yang dapat dijadikan wasilah (jalan) terkabulnya doa kita oleh Allah SWT untuk melepaskan kita dari sini.” Syahdan, ketiga pemuda merenung dan berdoa. Pemuda 1 adalah seorang anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya. Setiap hari ia menyediakan susu untuk ibu dan ayahnya. Ia melakukan tugas itu dengan sepenuh hati. Suatu saat ketika ia sedang menyiapkan sekaleng susu untuk ibunya, sang ibu telah tertidur. Dengan pegabdiannya, ia tunggu sampai ibunya terbangun ketika fajar telah menjelang. Itulah pengabdian terbesarnya kepada orangtua. Bermunajat pemuda 1 kepada Allah, “Ya, Rabb, jika pengabdianku kepada ibuku memang itu baik menurut-Mu, ya Rabb, maka jadikanlah itu sebagai wasilah untuk menolong kami keluar dari sini.” Dengan seijin Allah, batu penutup pintu gua itu terbuka sedikit.

Giliran Pemuda 2; ia adalah seorang pemuda tampan yang jatuh cinta kepada seseorang pemudi jelita anak pamannya. Tidak bertepuk sebelah tangan; putri sang paman juga menaruh hati kepadanya. Wajah elok perempuan itu tak pernah lepas dari alam pikirnya. Pucuk dicinta ulam tiba; suatu ketika perempuan itu minta bantuan kepadanya. Karena bantuan itu sangat diperlukannya, ia pun berjanji bersedia untuk diajak bercinta bila pemuda itu dapat membantunya. Tidak banyak pertimbangan, bersegeralah pemuda itu membantu sang pemudi. Setelah pemudi itu menyelesaikan urusannya, datanglah kembali ia kepada sang pemuda untuk membayar janji. Ketika mereka hendak mengawan, tanpa diduga sang pemudi mengucapkan kalimat yang membuat pemuda terkesima, “Apakah engkau tidak takut kepada Allah?” Dengan menahan amarah karena birahi yang telah memuncak dan tak tersalurkan, serta merta pemuda 2 meninggalkan pemudi itu sendirian. Kini dalam gua, bermunajat pemuda 2 kepada Allah, “Ya, Rabb, jika pengekanganku terhadap hubungan terlarang karena taatku dan takutku pada-Mu itu juga baik menurut-Mu, ya Rabb, maka jadikanlah itu sebagai wasilah untuk menolong kami keluar dari sini.” Dengan seijin Allah, pintu gua terbuka lebih lebar. Tapi masih belum cukup besar buat mereka untuk keluar.

Kini giliran Pemuda 3; pada suatu masa pria ini pernah mempunyai seorang pegawai. Suatu ketika sang pegawai meninggalkannya dalam keadaan tergesa-gesa tanpa sempat meminta upah kerja terakhirnya. Ditunggu-tunggu, tiada pegawai itu datang mengambil upahnya. Setelah mencarinya ke sana kemari, tiada pula sang majikan menemukan alamat pegawai tersebut. Akhirnya, uang gaji pegawai yang belum terbayar tersebut digunakan sebagai modal usaha. Usahanya selalu memberi keuntungan berlipat ganda. Hasilnya ia belikan tanah pertanian dan kambing-kambing peliharaan; luas tanah dan jumlah kambing terus berkembang. Hingga datang suatu masa ketika mantan pegawai tersebut datang kepadanya untuk mengambil upah kerja yang dahulu tidak sempat dibawanya. Senang dan terkejut seakan tidak percaya, mantan pegawai itu mendapatkan kembali upahnya berikut tanah pertanian dan kambing-kambing peliharaan yang bermula dari upah yang dijadikan modal usaha. Khusyuk pemuda 3 bermunajat kepada Allah, “Ya, Rabb. Hamba pernah melakukan sesuatu yang menurut hamba baik. Jika memang itu pun baik menurut-Mu, ya Rabb, maka jadikanlah itu sebagai wasilah untuk menolong kami keluar dari sini.” Maka, dengan seijin Ilahi, pintu gua pun terbuka lebar-lebar bagi mereka untuk keluar dari sana.

Dalam kesunyian yang dingin. Kututup mata. Tafakur. Kuhimpun segenap energi untuk mengingat-ingat sesuatu kebajikan yang barangkali pernah kuperbuat. Usaha ku sia-sia. Alih-alih suatu kebajikan. Semakin keras aku berusaha mengingat suatu kebajikan masa lalu, yang hadir dalam benakku justru kesalahan demi kesalahan, dosa demi dosa, perkeliruan demi perkeliruan yang pernah kulakukan sepanjang sejarah hidupku. Kelam masa laluku. Merah raporku. Aku merintih. “Ya, Allah. Tiada suatu kebajikan sebesar biji zarrah pun yang pernah aku lakukan. Ya, Rabb. Tak ada sesuatu amal pun yang layak menjadi wasilah pembebasanku.”

Kembali kupejam mata; kuhening cipta. Kembali kucoba menyisir baris demi baris, membuka lembar demi lembar buku perjalanan hidupku untuk mengingat-ingat barangkali ada sedikit terselip amal baikku di masa silam. Ternyata aku memang tidak ingat. Atau memang aku tidak pernah berbuat baik. Aku takut dan kebingungan.

Meski aku dapat melihat cahaya yang terang benderang, lama aku mukim di wilayah subhat – kawasan temaram, remang-remang, abu-abu; wilayah yang sulit untuk membedakan mana yang hak dan mana pula yang batil; daerah yang batas antara halal dan haramnya tidak jelas; lebih tipis dari sehelai rambut dibelah tujuh. Kawasan yang agama perintahkan untuk menjauhinya. Tetapi aku justru kerasan dan cukup merasa nyaman berada di dalamnya. Munafikkah aku? Aku goyah.

Terisak aku menangis ngenas. Derai air mataku jatuh berlinang membasahi pipi. Sesak dadaku. Nafasku tersengal. Nyaris ku tak dapat bernafas normal, lantaran cairan ingus berbaur air mata praktis memenuhi segenap ruang yang ada pada rongga hidung dan kerongkonganku. Kuhapus air mataku dengan tangan telanjang yang menggigil.

Akhirnya aku istighfar, mohon ampun. “Ya, Rabb. Berilah aku ketabahan untuk tiada berputus asa dalam mengharap pertolongan-Mu.”

* * *

5 Malam 6 Juni 2007

5 Malam 6 Juni 2007

“Pinky bilang Boss akan jamin kita. Satu orang dijamin limapuluh ribu (RM 50.000). Kalau pun kita dijamin, tidak berarti secara otomatis kita langsung bebas. Kita mesti menginap lagi satu dua malam di (penjara) Sungai Buloh. Pembebasannya dari penjara; bukan dari Mahkamah walau itu perintah Mahkamah,” menjelaskan Ali kepadaku. Tidak kutahu darimana dia dapatkan keterangan tentang jumlah uang jaminan yang fantastis tersebut. Limapuluh ribu ringgit bukanlah jumlah yang sedikit. Rasa-rasanya tidak mungkin pendakwa raya meminta uang jaminan sebesar itu mengingat pelanggaran yang didakwakan kepada kami tidaklah terlalu berat: kepemilikan dua keping CD bajakan dan adanya serangkai piranti lunak CD player dalam komputer kami. Puan Hakim saja ketika menyidangkan kasus kami pada tanggal 4 Mei 2007 bilang kepada pendakwa raya bahwa dua keping CD cetak rompak tak dapat dituntut. Informasi dari siapa pula yang dia yakini kebenarannya ketika bilang kepadaku bahwa pelepasan banduan yang dijamin dilakukan bukan dari Mahkamah, tetapi dari penjara.

Ali bahkan telah memperhitungkan segala kemungkinan dan siap-siap menghadapi keadaan terburuk ketika naik mahkamah; yakni, kami tidak dijamin. Meski tidak secara eksplisit ia katakan kepadaku, dapat kusimpulkan bahwa, dalam kalkulasinya, bila setiap orang baru boleh dijamin dengan uang jaminan masing-masing sebesar lima puluh ribu ringgit, maka perusahaan harus menyediakan sedikitnya dua ratus lima puluh ribu ringgit untuk melepaskan kami berlima. Belum lagi berbagai biaya ekstra yang harus ditutup untuk keperluan lain seperti lawyer misalnya.

Pertanyaannya adalah, apakah perusahaan punya kemampuan dan sekaligus kemauan untuk menyediakan dana sebegitu besar? Bandingkan dengan gaji bulanan kami waktu itu: Arman RM 1.000, aku RM 1.200, Listia RM 1.200, Dio RM 1.500, dan Ali RM 3.000. Ketika menjalani pemeriksaan demi pemeriksaan kurun 27 April sampai dengan 2 Mei 2007, kepada para penyidik Ali mengaku penghasilan bulanannya sebesar RM 1.200,- sedangkan kami berempat – Arman, Dio, Listia, dan aku – kompak mengaku bergaji RM 1.000,-

“Nanti kalau Pinky datang menjenguk di lokap Mahkamah PJ, kalian lindungi dan kerubuti aku,” perintah Ali pada kami. “Jangan sampai ada yang tahu,” ia mewanti-wanti. “Aku mau selundupkan uang ke penjara,” jelasnya pula. Kujawab permintaannya dengan anggukan kepala dan ucapan, “Oke.” Beberapa orang tahanan memberi masukan bahwa tembakau juga dapat diperoleh di dalam penjara melalui tangan sipir. Nama-nama tertentu di kalangan pegawai penjara adalah simbol jaminan kecukupan pasokan tembakau dengan harga terjangkau. Keunggulan lainnya adalah tidak ada batas maksimum uang yang boleh dibelanjakan.

Satu-satunya langkah yang harus dipikirkan adalah menyelundupkan uang ke dalam. Cara seperti itu tentu jauh lebih mudah dibandingkan dengan menyelundupkan tembakau lewat jalan perut yang menyulitkan dan menyakitkan saluran pencernaan makanan. Hanya saja aku tak tahu cara yang akan digunakannya untuk memasukkan uang ke dalam penjara. Barangkali kertas uang akan dilipat kecil-kecil untuk kemudian diselipkan secara tersamar ke dalam lipit pipa dan pinggang celana serta lengan baju atau di kerahnya. Atau justru lembaran-lembaran uang itu akan dikemas dalam modul untuk kemudian ia telan; serupa dengan cara umum tahanan menyelundupkan tembakau dan mancis.

Selain itu, Ali secara halus berusaha mengasah kesiapan mentalku andai kami harus memasuki sebuah situasi mengenaskan dalam mana kami tidak segera dijamin. Ia tanya aku apa yang dapat ia lakukan untukku andai kami benar-benar tak dapat dijamin. Aku hanya diam. Kuulur waktu berlalu tanpa kata dariku, untuk memberi kesempatan Ali memaparkan apa yang ada dalam pikirannya tentang aku.

Ternyata bukan hanya aku yang sedang dipikirkannya. Ia juga merasa prihatin terhadap keluargaku di Tanah Air yang tidak mendengar kabar sebenar tentangku dan tiada pula menerima kiriman uang dariku sejak petaka menimpa kami berlima.

“Kalau Abang mau,” menawar Ali dengan sangat hati-hati, “nanti kubilang sama Pinky dan Jane untuk mengirim semua gaji Abang kepada istri Abang. Karena Jane tak punya nomor rekening istri Abang, biarlah dia kusuruh untuk mengirimkannya ke rekening istriku. Nanti istriku yang akan mengantarkan uang itu langsung ke tangan istri Abang di rumah.”

* * *

Tak Ada India Hindustan!

Pukul 8 malam, Senin 4 Juni 2007; “Tiga kosong tujuh kosong empat sembilan lima enam! … Tiga kosong tujuh kosong empat sembilan lima enam naik mahkamah! … Empat sembilan lima enam siap-siap naik mahkamah!” berteriak orang kerja asal Indonesia dari depan pintu lokap menyebut nomorku; mengatakan aku harus bersiap-siap untuk naik mahkamah keesokan harinya.

* * *

Tak Ada India Hindustan!

Selasa 5 Juni 2007. Tidak seperti ketika aku masuk duapuluh lima hari sebelumnya sewaktu kusalami setiap orang, kini kutinggalkan sel Dewan-B tanpa jabat tangan perpisahan. Sebelum aku pergi, kuserahi Combat amanah untuk kelak memberikan celana pendek putihku (yang ketika itu masih dipakai Raja) kepada Anton. Aku hanya mengenakan satu stel sandang – celana panjang hitam, celana dalam Master, t-shirt warna putih buatan penjara, dan sandal jepit Penjara. Sikat gigi pendek Penjara juga akan kubekal sampai di Blok Tawekal; panjang gagang sikat itu hanya sekira sepertiga dari gagang sikat yang biasa diperjualbelikan di dunia bebas. Selebihnya – baju hijau kotak-kotak lengan panjang yang saat itu telah cabik horizontal sepanjang sepuluh senti di punggung, celana panjang mori putih produksi penjara, sajadah (celana dengan pinggang berkolor dan tikar sembahyang itu pemberian Wiwin), handuk kecil, t-shirt tebal berkerah warna oranye hasil penukaran ketika orang kerja melakukan transaksi tembakau antar blok beberapa minggu ke belakang, dan sisa odol Colgate – kutinggalkan begitu saja untuk dipakai Combat. Sebelumnya, Combat juga pernah kuhadiahi secarik celana dalam buatan penjara yang masih baru dan belum pernah kukenakan. Dua helai blanket tebal bertuliskan Hak Kerajaan harus kutinggalkan di Dewan-B karena pengamanan ketat telah mencegah sesiapa juga dari membawa serta barang-barang milik penjara keluar dari blok masing-masing.

Pagi-pagi sekali, segenap tahanan yang akan naik mahkamah pada tanggal 6 Juni telah dikumpulkan di lokap Dewan-A setelah sebelumnya mendapat rangsum makan pagi berupa setengah butir telur asin, lima keping biskuit, dan secangkir teh tarik. Kemudian, penampilan setiap orang diperbaiki; rambut, jenggot dan kumis dicukur rapi atau dibabat habis; orang kerja yang melakukannya secara borongan dengan ketam listrik. Dan ketika matahari telah mendaki sampai hampir ke puncak langit di atas kepala, semua tahanan digiring keluar dari blok Ehsan. Sementara itu, riuh rendah tahanan yang tengah berjalan dalam barisan menyedot perhatian segenap penghuni lokap Dewan-B. Satu diantaranya adalah Combat. Dari sela-sela jeruji pintu kiri lokap Dewan-B, tangan Combat mencegatku. Ia membekaliku dengan setumpuk kertas tambahan yang memuat banyak nama dan alamat – termasuk nomor telepon dan alamat e-mail – rekan-rekannya selama berada dalam tahanan. Ketika kusimpan, penuh satu kantong celanaku karenanya. Ia berpesan agar aku menjaganya dengan baik karena suatu saat nanti ia akan menemuiku untuk mengambilnya.

Setelah itu, berangkatlah aku menuju Blok Tawekal bersama dengan rombongan tahanan lainnya yang akan naik mahkamah untuk tumpang; menumpang satu malam sebelum digiring naik mahkamah. Sesampainya kami di Blok Tawekal, bertimpa-timpa kole menggunung dalam jumlah yang sangat banyak telah menyongsong kehadiran kami. Tanpa ada yang memerintah karena penghuni lama sudah terbiasa, setiap orang mengambil sebuah kole untuk mendukung keperluannya selama satu malam ke depan berada dalam lokap Blok Tawekal. Kemudian, sambil berjalan dalam barisan, tahanan menyerahkan Kad Bilik milik masing-masing kepada beberapa petugas yang mencegat pada sebuah meja pendataan. Seorang Tuan etnis India bertanya apakah ada pasien penyandang sakit jiwa yang terikut dalam rombongan tahanan. Sesaat kami hanya saling pandang untuk selanjutnya beberapa orang berkata, “Tak ada, Tuan.” Kemudian kami masuk ke dalam sebuah lokap.

Paling tidak ada enam buah lokap berukuran besar yang disediakan untuk menampung tahanan tumpang yang akan naik mahkamah keesokan harinya. Rombongan dari Blok Ehsan masuk ke dalam lokap paling timur dan menghadap selatan. Ketika rombongan kami masuk, keadaan lokap masih kosong tiada berpenghuni. Dan seperti biasa, hal pertama yang dilakukan oleh tahanan ketika masuk sebuah lokap baru adalah mencari-cari tempat kosong yang berasa nyaman untuk diduduki. Rombongan-rombongan baru datang kemudian secara bergelombang dalam interval satu sampai satu setengah jam hingga sesak juga lokap yang kami diami ketika hari menjelang malam.

Selain menyerahkan Kad Bilik, sebuah aktivitas penting lainnya selama tahanan berada di Blok Tawekal adalah pengambilan sidik jari. Ketika itu, setiap orang masuk dalam barisan sesuai dengan nomor urut panggilan. Sesampainya di meja pelayanan, tahanan diwajibkan menyebutkan nama dan nomor banduan untuk kemudian – di bawah pengawasan ketat Tuan dan dipandu oleh dua orang petugas lainnya – membubuhkan sidik jarinya pada Kad Bilik masing-masing.

Dalam pada itu, rangsum makan siang dibagikan selepas waktu shalat lohor. Ketika itu, Tuan etnis India bertanya apakah ada yang mendapat perlakuan menu makanan spesial; maksudnya menu yang diperuntukkan bagi tahanan penyandang penyakit tertentu seperti diabetes. Kami pun menjawab, “Tak ada.” Saat rangsum makan senja hari hendak dibagikan, aku mencatat sebuah peristiwa yang sebetulnya biasa-biasa saja, namun tiada salah jika ini kusampaikan. Menu senja itu adalah daging sapi. Seperti biasa, daging sapi tidak termasuk menu yang disediakan bagi tahanan etnis India. Sebagai gantinya mereka selalu mendapatkan sepotong daging ayam.

“Ada India?” bertanya seorang Tuan etnis India.

“India ada,” jawab seorang tahanan berwajah India.

“India Malaysia. Kau India?”

“Ya, Tuan, India.”

“India Malaysia bukan?”

“India Hindustan.”

“Tak ada India Hisdustan! Hanya India Malaysia makan ayam. India warga asing tak dapat ayam,” menjelaskan Tuan kepada tahanan.

Namun Tuan – pada ketiak kiri sebatang tongkat komando dikempit – tidak berusaha mencegah ketika “India Hindustan” turut mengantri untuk mendapatkan rangsum lauk sepotong daging ayam dengan ukuran lumayan besar menurut kelaziman penjara.

Untung Kerakap di Lempung Pematung

Untung Kerakap di Lempung Pematung

Raja adalah sosok remaja belasan tahun yang tiada berpengharapan. Badan anak berdaun telinga lebar itu kurus kering. Ketika naked to the waist, terlihat bahu naik, tulang-tulang rusuk menonjol di permukaan kulit dada. Warga Myanmar ini segan makan, tak hendak mandi, dan berpantang berak. Sekali-sekala ia berak di celana. Berbicara pun dia tak suka. Diam seribu bahasa. Kalau pun makan, jarang ia mengambil sebanyak yang dijemput dengan jari untuk sekali suap. Ia juga hanya menelan dua tiga suap nasi putih tak berteman; tanpa sayur, tanpa lauk pauk; puasa mutih, orang Jawa bilang. Kadang-kadang Raja mengepal-ngepal nasi dan menyocolnya pada kuah sayur sebelum disuap agar tidak terlalu seret di kerongkongan ketika ditelan. Pada Raja, makanan lebih lama dikemut ketimbang dikunyah sehingga tak lembut-lembut. Berdikit-dikit Raja makan.

Yang juga membuatku tak habis pikir adalah anak ini tak mau diberi blanket lebih dari satu helai. Ketika tiduran, selimut tersebut ia jadikan tilam. Akan tetapi, ketika tidur sungguhan, selimut itu tetap berfungsi sebagai selimut; sedangkan antara badan dan lantai tiada pembatas. Ia ada dalam penjara karena kasus pelanggaran undang-undang keimigrasian. Sedangkan kehadirannya di Dewan-B adalah karena depresi. Telah berbulan ia ada di sini dan konon, menurut yang empunya cerita, hakim selalu menunda-nunda keputusan hukuman terhadapnya karena Raja tak pernah memberi respon ketika ditanya. Ketiadaan lawyer yang dapat menyuarakan kepentingannya membuat kasus Raja berlarut. Dari sudut pandang praktis, pendekatan pada sistem peradilan memerlukan jasa lawyer dan persiapan dana yang mencukupi untuk menutup ongkos perkara; dan Raja tidak sanggup menyediakan itu semua. Jika diberi opsi, sangat mungkin Raja malah lebih memilih hidup tenang di balik jeruji besi ketimbang pulang negara menyaksikan bangsanya sendiri merana sehari-hari tercabik dalam perang saudara.

Seorang rekan berkisah bahwa pada suatu masa persidangan, Raja sempat membuat geger seisi Mahkamah. Ketika dicecar pertanyaan oleh hakim, tak sepatah kata jua ia menjawab. Malahan karena takutnya, Raja terkencing-kencing di kotak terdakwa. Sipir mahkamah jadi sibuk mengepel dan membersihkannya. Setelah menjadi tahanan lama pun, Raja masih sempat mengecap pengalaman dirampok. Baju bagus lengan pendek yang dipakainya dirampas pada hari ketika ia sedang naik mahkamah. Bahkan tali kolor celananya dicopot oleh kawanan penyamun; sehingga ketika ia mengenakan celananya yang komprang di pinggang, dia betot bagian depan celana yang berlebih itu, diputar tiga-perempat lingkaran, untuk kemudian diselipkan ke dalam dan agak ke kanan – sebuah cara yang serupa dengan cara ketika orang mengawang sarung atau mengenakan kain samping. Betapa repot dia kulihat ketika harus membetulkan letak lipatan celananya agar tidak terus-menerus melorot. Sementara celana dalam tiada pula dia berpunya. Sedikit bimbingan dan bantuan tentu bermanfaat bagi Raja.

Adalah Combat – pesakitan asal Takengon, Aceh Tengah – dengan sabar mengopeni Raja. Aku pun akhirnya turut membantu mengurus anak ingusan ini. Kami paksa dia makan. Kami bujuk dia untuk mandi. Kami rajin mengingatkannya untuk berak. Jawabannya selalu sama “Tak mau!” Dan kami pun dengan suka hati mengajak dia untuk mencuci pakaian yang dikenakannya. Kami juga meminjaminya pakaian bila-bila masa pakaian dia basah dicuci. Selain “Tak mau!” satu-satunya kata lain yang kerap diucapkannya adalah “Assalamu ‘alaikum.” Ucapan salam khas Muslim itu hasil pengajaran dari Combat kepadanya.

Suatu saat, 4 malam 5 hb Juni 2007. Hanya karena aku tidak bersih mencuci celana Raja yang diberakinya, Combat memukul Raja. Apa pasal? Lenyap selera makan Combat; padahal dia sengaja menyimpan jatah makan petangnya untuk disantap malam hari. Tiba waktu makan yang telah direncanakan, di hidungnya terhidu bau tak sedap. Dia endus sana sini. Dan ditemukanlah punca aroma tak elok itu: pantat Raja. Kontan saja ia meradang; menuduh Raja tercirit lagi di celana. Combat menjadi begitu kecewa karena merasa bahwa kerja kerasnya selama ini dalam mendidik Raja seakan tidak berbuah; berujung pada kesia-siaan. Tetap saja, sang Raja buang air – besar dan kecil – sembarangan di celana. Klop sudah; bagai daun muda layu kering yang akan gugur, Raja ada dalam tubuh tanpa ruh. Ia hadir bagai kerakap tumbuh di batu; hidup segan mati tak mau. Malam itu juga Raja kumandikan dan kupinjami seluar (celana).

Combat sendiri adalah seorang pesakitan yang benar-benar sakit. Hari-harinya selalu dilewatkan dengan penderitaan. Kerap ia merintih kesakitan dan kedinginan manakala malam menjelang. Sebelah tungkai kakinya cacat permanen karena terjatuh dari lantai lima sebuah gedung bertingkat; ketika itu, ia tengah berusaha melarikan diri dari kejaran polisi yang menjebaknya. Satu lempeng pelat besi putih telah ditanam di dalam tubuhnya untuk menyangga femur – tulang paha – yang hancur-lebur berantakan. Tempurung lututnya remuk dan telah dibuang; dan tempatnya digantikan oleh baut dan mur logam besi. Tidak hanya sekali dua, dia menggamit tanganku dan membimbingku meraba-raba kakinya yang mengecil dan lѐmpѐr. Dengan tongkatnya, tertatih-tatih ia menatah tanah; di lain waktu, ngesot. Sekali dua, dia lompat-lompat seperti kangguru berkaki satu. Bila sedang berada dalam kesendirian, disapunya kaki kecil dan bekas-bekas luka yang menyertainya dengan pandangan sekeras dan sedingin es batu.

Meski demikian ia punya keyakinan bahwa suatu saat nanti kakinya akan pulih kembali seperti sedia kala setelah menjalani perawatan di salah satu dari sekian banyak bengkel patah tulang yang tersebar di antero Aceh dan Sumatera Utara. Tentu setelah ia keluar dari penjara. Keyakinannya begitu kuat hingga tak ada yang mampu mematahkannya. Sambil memijat-mijat pinggul, paha, lutut, betis, sampai ke ujung-ujung jari kaki, dia bilang bahwa kelak di bengkel tulang, tulang belulangnya yang cacat akan dihancurkan terlebih dahulu untuk kemudian dibentuk ulang, bagaikan cara kerja seniman tanah lempung dalam mencipta patung.

Combat adalah pesakitan yang disyaki telah menculik seorang perempuan muda usia. Adalah suami dari perempuan tersebut yang melaporkannya kepada pihak yang berwenang bahwa Combat telah menculik dan menyekap istrinya. Padahal, menurut pengakuan Combat kepada kami-kami, adalah perempuan rupawan bak gadis sampul itu sendiri yang telah datang menghampiri dan bertamu ke kediamannya untuk curhat berbagi cerita duka. Dan yang membuat nasibnya terkatung-katung adalah kenyataan bahwa suami dari perempuan tersebut tidak bersedia datang untuk bersaksi di Mahkamah. Karenanya, dalam setiap masa dia naik mahkamah, kasusnya selalu postponed – ditunda dan ditunda lagi.

* * *

RM 60 untuk Sekali Jumpa

RM 60 untuk Sekali Jumpa

Sudah merupakan sebuah pengetahuan umum di kalangan sipir bahwasanya sebagian orang kerja yang bertugas mengurus pencatatan lawatan menangguk peluang untuk kepentingan orang kerja itu sendiri. Bahkan tak segan mereka mencatut nama Tuan – sipir strata atas – untuk memperlancar aksinya. Sebaliknya, untuk melindungi kepentingan banduan yang baru mendapat lawatan, sipir pada checkpoint pintu masuk Blok Ehsan tidak memperbolehkan paket nasi dan lauk pauk dibawa serta ke checkpoint kembali terakhir atau ke sel. Banduan harus memakannya sampai habis. Setelah santapan habis, banduan baru diperbolehkan masuk kembali ke dalam selnya semula. Disamping untuk melindungi kepentingan banduan yang mendapat lawatan, tidak diperbolehkannya paket nasi dan lauk-pauk masuk ke dalam sel dimaksudkan untuk mencegah timbulnya kecemburuan sosial di kalangan komunitas orang tutupan.

Ketika datang menjenguk, Pinky memberitahuku batas maksimum belanja di Sg. Buloh RM 60 untuk satu kali besuk. “Pandai-pandailah. Usahakan barang-barang keperluan prioritas terbeli,” katanya sambil menambahkan bahwa pagu belanja di penjara Kajang sebesar RM 100. Dio di Kajang lebih leluasa memenuhi kebutuhannya ketimbang kami-kami yang berada di penjara Sg. Buloh. Bill dibayar oleh pelawat. Dalam pada itu, untuk kepraktisan dalam bertransaksi, pihak pengurusan koperasi pegawai penjara menyediakan senarai – daftar – berikut harga serbamacam barang-barang yang dapat dibeli. Dengan kemudahan tersebut, banduan cukup menyebutkan barang keperluan yang ditempah, dan orang kerja membubuhkan tanda periksa pada check list. Bila barang-barang yang dipesan melebihi batas maksimum RM 60, maka item bagian bawah senarai dicoret dari daftar belanja. Kamis tanggal 24 Mei 2007 aku belanja RM 54.xx. Satu minggu kemudian, 31 Mei 2007 ketika Pinky melawatku untuk yang kedua kalinya, aku lupa dengan batas belanja yang telah ditetapkan. Aku memesan banyak item barang; toh yang dikabulkan cuma beberapa sen lebih besar dari enampuluh ringgit. Ada beberapa item barang yang sebetulnya sangat kubutuhkan tidak dapat terbeli hanya karena berada pada urutan bawah dari daftar belanja. Berlainan halnya dengan Arman. Waktu itu ia cukup hati-hati dalam menentukan barang yang hendak dibeli sehingga ia dapat memenuhi permintaan seorang sipir yang ingin dibelikan es krim oleh kami.

Sewaktu aku kembali dari lawatan tanggal 24 Mei, sipir tidak memperbolehkanku membawa serta dua paket nasi – satu besek nasi sotong dan satu besek nasi goreng ayam – ke dalam sel. “Nasi tidak boleh dibawa ke bilik. Makan saja di sini sampai habis. Habiskan semua. Setelah habis, baru boleh masuk bilik,” berkata sipir penjaga tentang larangan yang tak boleh dilanggar. Nasi goreng ayam itu sejatinya akan kuserahkan kepada orang kerja. Itu, kata orang kerja, adalah pesanan Tuan. Akan tetapi aku tak berani mengabaikan perintah sipir. Tanpa cuci tangan terlebih dahulu, kusantap habis dua paket nasi sekaligus sampai marem; memuaskan kerinduanku pada makanan amat lezat bergizi tinggi selama aku berada dalam penjara. Dan ketika aku telah kembali masuk ke dalam lokap Dewan-B, lurah kami menanyakan pesanan orang kerja yang mengharapkan persenan dariku.

“Orang kerja tanya, ‘Mana nasi goreng dan kacang untuk Tuan?.’ Saya bilang, ‘Kacang ada. Tapi saya tak tahu tentang nasi gorengnya,’” lurah membuka topik pembicaraan.

“Saya sudah bawa nasi gorengnya. Bahkan saya juga membeli nasi sotong. Tapi cikgu di pos ronda sebelah sana memaksa saya untuk memakan kedua paket nasi tersebut. Tak dapat saya membantahnya,” menjelaskan aku tentang duduk perkara yang sebenarnya.

“Tak apa. No problem. Saya hanya ingin tahu,” lurah menanggapi.

Akan tetapi ketika Arman dan aku pulang lawatan tanggal 31 Mei, sipir memperkenankan paket nasi dan lauk-pauk untuk kami bawa serta ke dalam sel. Waktu itu aku membeli nasi goreng ayam.

* * *

Logistik

Logistik

Palang dada sepanjang sisi tembok selatan dan barat juga dijejali dengan barisan dan tumpukan gayung dan kole; penghuni menyelipkannya di sela-sela jeruji dan dari sebelah luar kaca tebal menghadang. Seorang penghuni rata-rata memiliki satu gayung dan satu kole. Akan tetapi, penghuni lama acap menguasai lebih dari itu; sedangkan di antara pendatang baru ada yang belum punya. Orang-orang yang disebutkan terakhir ini biasanya menunggu pemberian dari orang kerja atau mengharap belas kasih dari penghuni lama untuk berbagi.

Orang lama juga berperan aktif dalam pendistribusian penguasaan blanket – selimut. Jika nasib baik, setiap penghuni akan mendapat kain tebal warna biru atau hitam dengan tulisan Hak Kerajaan di sebuah sudutnya dari orang kerja sesaat sebelum dia masuk bergabung dengan Dewan-B. Tak jarang, banduan tidak mendapatkannya ketika masuk. Jika kasusnya demikian, orang lama – terutama banduan dari etnis dan/atau kewarganegaraan yang sama dengan banduan baru tersebut – mengupayakan bantuan darurat baginya untuk mendapatkan selimut.

Di Dewan-B, setiap banduan minimal menguasai satu helai blanket. Pukul rata, sebagian besar mempunyai dua helai. Ada juga yang punya tiga bahkan empat. Seorang banduan yang memiliki hanya satu helai blanket menggunakannya sebagai alas tidur. Jika ia memiliki dua, satu untuk alas tidur dan satu untuk selimut. Jika tiga, satu untuk alas, satu untuk selimut, dan satu lagi dilipat sedemikian rupa untuk difungsikan sebagai bantal alas kepala.

Sementara itu, yang memiliki kasur sungguhan ada empat orang. Mereka iaitu dua orang etnis India (“lurah” yang mengambil tempat di pojok timurlaut dan yang seorang lagi di sisi barat; keduanya 40an tahun), satu orang etnis Cina (60) di sisi selatan, dan satu orang Indonesia (Combat, sisi utara dan dekat sokoguru barat). Kasur yang disebutkan terakhir ini pernah dipakai oleh Mamat (25). Ketika Mamat naik mahkamah beberapa waktu sebelumnya, kepemilikan kasur itu berpindah tangan sebanyak tiga kali sebelum akhirnya jatuh ke tangan Combat (sekitar 28-30 th). Mamat sendiri kini tidak berkasur. Tilam itu telah robak-rabik. Supaya terlihat lebih bagus dan enak untuk ditiduri, Combat menyarunginya dengan blanket.

* * *

Piso inggris, silet, pisau cukur, razor blade; apapun namanya merupakan perkakas terlarang dalam penjara. Meski demikian, kami di Dewan B punya sebilah silet bermata tipis. Tajam dan serba guna. Seorang tahanan kerap menggunakannya untuk membentuk lidi sapu menjadi jarum jahit. Biting dilancipkan pada ujung depan dan disayat pada ujung belakangnya sebagai pengapit benang; agar benang dapat masuk terjepit. Sedangkan benangnya adalah serabut benang yang dicabut dari kain perca. Aktivitas jahit-menjahit, menambal, menyulam, dan menisik pakaian dan selimut koyak berlangsung cukup semarak. Sekali tempo kupinjam pisau cukur tersebut untuk membetulkan posisi perban yang membeliti sekujur tangan kiri Wiwin, seorang banduan asal Palembang. Kami juga punya sebatang peniti untuk membantu dalam berbagai keperluan penghuni.

Kuku menggunting kuku. Seorang penghuni lama mengingatkan bahwasanya berkuku panjang adalah sesuatu perkara yang terlarang dalam penjara Sungai Buloh. Beberapa penghuni lain pun mengamininya. Disiplin berkuku pendek dan besih selalu ditegakkan tanpa kecuali. Tanpa adanya peringatan pendahuluan, seorang sipir akan menghukum seseorang banduan hanya karena ia berkuku panjang. “Tak ada gunting kuku,” bukan merupakan jawaban yang dapat diterima oleh sipir penjara ketika memeriksa kebersihan kuku. Jangan pernah berharap bahwa sipir akan memahaminya. Karena tidak ada alat potong kuku yang memadai, dalam pelaksanaannya pekerjaan potong memotong kuku dilakukan ketika atau selepas banduan mandi. Caranya adalah kuku menyebit kuku. Kala itu, keadaan kuku lembek dan mudah terkoyak.

Rangsum makan dan minum dibagikan tiga kali sehari. Pagi: air hangat – seperti teh tarik – satu gayung mandi untuk lima orang tahanan; pada hari-hari tertentu mendapat tambahan bubur kacang hijau atau kanji (bubur beras). Ada dua jenis kanji (bubur beras murni dan bubur beras plus ikan bilis kecil). Hanya saja, penghuni lokap lantai 3 Blok Damai lebih sering mendapat air rebusan kacang hijau encer. Demikian pula halnya dengan kanji; lebih sering kami di blok Damai pada saat itu hanya mendapat rangsum air masin bau tengik tanpa nasi atau ikan.

Kecuali jika emosi ditafsirkan semata sebagai gejolak amarah yang meledak-ledak, keikutsertaan orang kerja dalam mendistribusikan rangsum kepada tahanan tergolong partisipasi tanpa emosi. Tanpa ekspresi mereka membagi-bagikan air rebusan kosong tak berisi untuk sarapan pagi.

Siang: nasi plus sayur dan lauk pauk. Sayur adalah sayur-mayur rebus nir-rasa seperti kangkung dan sejenisnya dan wortel; kuah diberikan tersendiri. Lauk pauk bervariasi dari hari ke hari. Masing-masing penghuni mendapat rangsum sepotong daging ayam lengkap dengan tulangnya atau sejumput cincang daging sapi tak bertulang atau ikan gembung satu dua ekor, tergantung ukuran dan ketersediaan. Daging ayam dan sapi direbus tanpa bumbu; demikian pula halnya dengan sayur-mayur, direbus. Sedangkan ikan gembung digoreng. Yang juga turut dibagikan secara teratur setiap waktu makan siang dan petang hari adalah kuah sayur lodeh atau kari. Karena berpantang mengkonsumsi daging sapi, tahanan etnis India mendapat daging ayam sebagai ganti. Ketika kami berada di Blok Tawekal, seorang Tuan etnis India bersorban khas Singh mengatakan bahwa perlakuan istimewa tersebut hanya diberikan keada India Malaysia; walau dalam prakteknya semua etnis India diperbolehkan memilih untuk mengkonsumsi daging sapi atau daging ayam menurut selera dan keyakinan. Disamping itu, tiap dua atau tiga hari, tahanan mendapat tambahan kentang rebus dan buah-buahan seperti sebiji pisang, sepotong semangka, honeydew (semangka madu), labu kuning rebus.

Petang: pada dasarnya menu petang hari sama dengan siang; perbedaannya terletak pada keragaman jenis belaka. Disamping itu, dua keping roti tawar beroles mentega plus sekeping roti rasa sebesar telur angsa dibagikan petang hari. Sebagian menyimpannya untuk kemudian dikonsumsi pagi hari berikutnya. Sering juga ada banduan yang kurang beruntung; mereka mendapatkan roti bantat kedaluarsa bau apak. Di luar kegunaan sebagai makanan, mentega punya banyak fungsi. Beberapa banduan memanfaatkan mentega sebagai lem perekat. Mentega juga berkhasiat sebagai bahan licin; sebagai minyak untuk mengurut. Disamping itu, mentega berfaedah sebagai lotion atau lulur yang mencerahkan penampilan dan warna kulit. Untuk air minum, semua orang tutupan di sini memanfaatkan air pipa mentah; kecuali untuk minum pagi hari.

Selain tiga waktu makan, penghuni kerap mengadakan acara makan minum sendiri dan berkelompok. Acara terselenggara berkat adanya lawatan keluarga. Ketika keluarga membesuk, tahanan berbelanja berbagai jenis kebutuhan hidup atas tanggungan pelawat. Tahanan yang mendapat lawatan selalu berbagi makanan dengan rekan-rekan terdekat atau kelompoknya; malahan, memberi penghuni yang berada di luar kelompok juga lazim terjadi. Aku termasuk cukup beruntung; kelompok-kelompok Melayu (Indonesia dan Malaysia), India, dan Bangladesh selalu memberiku makanan bilamana ada di antara mereka mendapat lawatan. Jamuan-jamuan khusus tersebut lebih sering dilakukan selepas Magrib dan ba’da Isya. Waktu itu, nuansa kekeluargaan kental terasa.

Biasanya kudapan berupa mie instan, bubuk kopi, bubuk susu, ketul gula semut, dan hablur gula putih diseduh dalam air dingin. Kecuali untuk bubuk susu yang mudah terlarut air, diperlukan waktu yang cukup panjang untuk menyeduh kudapan. Agar kudapan tercampur merata, seduhan diaduk-aduk, dikocok-kocok, dan terus-menerus dituangkan tinggi-tinggi dari dan ke dalam dua buah cangkir atau gayung di kedua belah tangan kiri dan kanan secara bergantian. Banyak tahanan yang berperilaku bagai gadis kecil; berpura-pura memasak – main masak-masakan – ketika menyeduh kudapan.

Di lokap Dewan-B, acara makan-makan di luar tiga waktu juga dapat terjadi karena orang kerja memberi rangsum dalam jumlah berlebih. Ketika senja hari orang kerja memberi catu berlebih, malam hari selepas Magrib atau ba’da Isya beberapa kelompok menyiapkan jamuan khusus makan bersama. Jamuan khusus juga diselenggarakan oleh kelompok-kelompok tertentu pada malam hari setelah ada tahanan yang mendapat lawatan keluarga di siang harinya.

Ketika seorang tahanan yang baru kembali dari lawatan membagi-bagi makanan, misalnya, banyak penghuni berkerubut mengantri menyongsong peluang untuk dapat mengudap walau hanya satu atau dua butir kacang arab (kacang atom, pilus); terlalu sedikit untuk pemuas selera. Syukur-syukur jika diri diberi segenggam. Tamba ngencés – lumayan buat obat penawar hasrat – agar di ambang sadar air liur tidak berketerusan mengalir di pinggir bibir. Mereka sangat-sangat merindukan makanan normal yang biasa dikonsumsi di dunia luar. Seteguk kopi encer dan dingin pun sangat mereka syukuri. Sebagai bentuk sportivitas di kalangan penghuni, peneguk terakhir biasanya langsung saja bersegera pergi ke kamar mandi untuk mencuci cangkir.

Dalam pada itu, tahanan yang belum jatuh hukum tidak mendapatkan catu untuk kebutuhan selain sarapan, makan siang, dan makan petang hari. Sementara itu narapidana yang telah jatuh hukum – berdasarkan penuturan sejumlah tahanan senior – dikunci dalam Blok Cekal yang bertempat di sebelah selatan dari Blok Ehsan. Mereka secara teratur mendapatkan tambahan jatah hidup seperti gula, kopi, susu, sabun, sikat dan pasta gigi, serta pakaian yang dibagikan beberapa bulan satu kali. Daging ayam untuk konsumsi mereka juga, katanya, ayam kodok; daging ayam tanpa tulang.

Letak lokap Dewan-B di Blok Ehsan cukup strategis; berada di pintu masuk koridor. Setiap banduan blok Ehsan yang mendapat lawatan keluarga pasti melewati koridor depan pintu Dewan-B. Sehingga penghuninya relatif lebih mudah dalam menghimpun bantuan. Beberapa penghuni lokap Dewan-B secara demonstratif teriak-teriak dan menadahkan tangan; ngebet meminta-minta pada setiap banduan yang baru saja mendapat lawatan keluarga. Kegigihan mereka ngécék – meminta-minta dengan memelas – untuk mendapatkan bantuan seperti itu dapat dianalogikan sebagai hasrat dari seorang perempuan hamil muda yang tengah mengidam. Bermuka tebal ia akan marah-marah kalau tak dibagi. Sudah barang tentu, hal ini mempermalukan penghuni lain dalam lokap. Bak primata di taman margasatwa. Mereka teriak-teriak dan secara demonstatif mengulurkan dan menadahkan tangan kepada setiap primata lain yang berlalu lalang mencangking bekalan makanan; merendahkan diri untuk dikasihani.

Meski demikian, usaha mereka kerap membuahkan hasil. Dari dalam kantong keresek warna kuning pucat, banduan yang mendapat lawatan memberi makanan, terutama mie instan, dan barang-barang keperluan lain. Karena kasihan. Maklum, lokap Dewan-B adalah sel khusus yang diperuntukkan bagi orang sakit dan banyak orang cacat di dalamnya; kondisi fisik yang tampak tidak berdaya diharapkan dapat menerbitkan kemurahan hati dan perasaan suka memberi pertolongan dari orang-orang budiman. Atau boleh jadi mereka memberi lebih karena merasa risih dan gentar terus menerus diteriaki, “Bang … Bang … Bang” atau tegur sapa khas Bangladesh “Baya … Baya … Baya.”

Demikian pula terhadap orang kerja yang usai menunaikan tugas membagi-bagi catu makanan. Patah sayap, bertongkat paruh; tidak putus-putusnya mereka berusaha menyampaikan maksud. Setiap yang lewat dicegat sepencapai tangan menjulur. Mereka secara agresif teriak-teriak minta teh tarik, remah roti dan biskuit remuk yang masih menempel pada plastik bekas pembungkus, nasi, tengkorak ikan dan lauk pauk sisa lainnya.

Adalah seorang tahanan etnis Cina usia empat puluh lima dan bertubuh – maaf – bungkuk dengan punuk di punggung bilang kepadaku bahwa dalam pekerjaan apa pun selalu ada resiko masuk ke kandang besi; tidaklah perlu aku bersedih hati. Jika takut dirimbas ombak, jangan berumah di tepi pantai. Tiada henti bapak ayam – mucikari – tengah baya itu memberiku petuah untuk rela dijadikan tumbal oleh perusahaan dengan syarat, “Bilang sama orang kantor dan boss untuk memperhatikan keperluan makanmu selama dalam penjara.” Ia mengusulkan persediaan susu dan mie harus diutamakan dan kalau boleh tiada pernah terhenti. Saran seperti itu justru membuat perasaanku jengkel dan perih tiada tara; karena dia mengutarakannya ketika belum ada seseorang juga dari perusahaan kami yang datang membesuk sejak hari pertama aku masuk meringkuk di penjara Sungai Buloh.

* * *

Walaupun berada pada posisi terdepan, lokap Dewan-B merupakan sel terakhir yang mendapat pelayanan catu makan. Alhasil, penghuninya pun menyantap makanan paling akhir. Karena terakhir itulah, makanan biasanya tersedia dalam jumlah cukup berlimpah, meski dengan kualitas terendah. Orang kerja pun berbaik hati bersedekah memberi lebih. Sebagai contoh, di saat penghuni sel-sel lain di Blok Ehsan mendapat dua ekor ikan goreng, penghuni lokap Dewan-B mendapat lebih dari itu; empat sampai tujuh ekor! Daripada dibuang sayang, sisa-sisa makanan diedarkan sampai habis begitu saja kepada penghuni lokap Dewan-B. Begitu berlimpahnya rangsum ikan sehingga kerap para penghuni tidak dapat menghabiskannya sekaligus di waktu makan senja. Secara berkelompok sebagian penghuni lantas menambul sisa-sisa ikan sebagai teman minum di malam hari.

Begitu juga, kualitas kuah sayur untuk penghuni Dewan-B yang merupakan kuah sisa; sangat buruk dan tidak layak untuk dikonsumsi karena berpasir. Bak balam penikmat biji-bijian, aku kerap harus menelan pasir dan bebatuan kecil dari kuah sayur yang telah bercampur aduk dalam nasi. Makanan itu sangat membebani sistem pencernaan karena aku memang bukan burung pemakan padi-padian utuh. Sebetulnya, kejadian serupa bisa saja dihindari dengan mudah asalkan aku berhati-hati. Sewaktu orang kerja membagikan kuah, banduan dapat meminta orang kerja untuk tidak menuangkannya ke atas nasi, tapi pada cekukan yang ada di sebelahnya. Toh aku sering lupa. Akhirnya kejadian serupa selalu berulang. Tanpa siraman kuah sebagai biang rasa, semua masakan tak berbumbu itu selain seret di leher juga akan terasa teramat cemplang di lidah.

Nasi rangsum yang dibagikan seringkali masih berupa nasi detus (nasi yang belum tanak betul). Demikian juga halnya dengan ikan goreng dengan mutunya yang inferior. Ikan gembung basah yang sudah tidak lagi segar, tidak dicuci bersih. Digoreng setengah matang lalu diangkat dari kuali dengan penanganan yang kurang hati-hati sehingga banyak kepala terlepas dari badan dengan duri berserabutan. Jika dikonsumsi, gatal di tenggorokan; kurang lebih seperti tertelan miang jelatang kurasa selagi berulam daun kemangi dan pucuk sintrong. Kadang-kadang aku juga pancingan dibuatnya. Dapat dipastikan, selepas makan ikan goreng petang hari, tiada lagi keheningan sepanjang malam. Ledakan-ledakan suara batuk kambing dan bersin kuda memberondong sahut menyahut seumpama letupan-letupan mercon menjetis yang mengiringi kirab barongsai pada perayaan hari besar Cheng Beng (Bersih Terang) di bulan ketiga tarikh Imlek. Karena alergi, beberapa jam setelah ikan gembung goreng aku séntap, belahan kiri bibir atasku jeding bak disengat lebah. Kejadian itu beberapa kali kualami. Karena makan ikan pula suaraku terkadang jadi serak dan kerongkongan perih dan sakit ketika berbicara.

Berita baiknya: semua makanan tersaji dalam keadaan bebas rambut. Tak sekali pun aku mendapati helai rambut pada nasi, sayur, maupun lauk pauk. Itu dikarenakan setiap juru masak dan pendistribusi makanan semuanya lelaki berambut cepak.

Secara umum, menu memenuhi standar gizi untuk survive; terbukti orang kerja yang mayoritas terdiri dari orang lama memiliki tubuh yang berisi dan sehat. Tapi tak mengindahkan kaidah kesehatan dan tentu pula tak ada tempat bagi estetika. Tepuk dada, tahan selera. Mayoritas banduan juga tidak peduli dengan norma-norma kesehatan. Makanan dan kudapan yang sewaktu dibagikan terjatuh ke lantai kotor berkuman pun dilélés – dipungut. Dalam pada itu, lama aku merenung. Ada apa denganku? Pasti ada yang salah. Mengapa kian hari kian lahap dan nikmat rasanya aku makan di penjara. Bahkan lauk pauk jatah Raja namun tak disentuhnya pun ditanggung ludes; kubabat, kugiling, kulumat, dan kutelan habis tak bersisa. Aku tak tahu apa yang telah merasukiku. Makan aku sampai penuh sehingga berasa sesak di perut. Ya Allah! Inikah yang disebut sebagai adaptasi sempurna terhadap lingkungan baru?

* * *

“Satu, makanan. Dua, tembakau. Dua perkara ini dapat memicu perkelahian dan pertumpahan darah. Salah-salah, nyawa bisa melayang. Berhati-hatilah,” ujar Jaya Raj lelaki India bergoreskan rajah Liza & Kaml pada pangkal lengan kanannya. Pesan Jaya Raj lugas menjelaskan betapa tembakau telah menjadi semacam komoditas yang diminati dalam penjara, selain karbohidrat dan protein tentunya. Kecakapan Anda sangat tergantung pada sejauh mana Anda mampu untuk menguasai tembakau. Tembakau adalah besi berani yang memikat. Pesonanya tak tertandingi. Bagai dalam permainan ceki, tembakau adalah wild card – kartu joker – yang dapat digunakan untuk tujuan apa saja. Memiliki tembakau berarti raja. Penghuni lainnya menghamba. Tak sedikit yang menjilat. Karenanya, Anda terpaksa melakukan apa saja; termasuk mengesampingkan suara nurani Anda. Pada umumnya, jalan masuk tembakau ke dalam penjara Sungai Buloh adalah melalui lambung para banduan yang baru pulang dari naik mahkamah. Ada juga tahanan yang menempuh jalan lain.

Seorang tahanan cacat kaki, misalnya, menyelundupkan tembakau dalam jumlah yang sangat signifikan disela-sela lipatan perban pembalut pekung – luka kudis – di kaki yang membebat rapat dari ujung-ujung jari kaki sampai lutut. Keberaniannya yang luar biasa nekat itu sangat mencengangkan. Membawa tembakau masuk serta ke dalam penjara itu sama bahayanya dengan membawa sesuatu pesan rahasia melintasi wilayah dan garis pertahanan musuh dalam keadaan perang. Menyelundupkan tembakau dan obat-obatan terlarang ke dalam penjara adalah sebuah pelanggaran berat yang diatur dalam udang-undang penjara; berat hukumannya. Berkah bagi dia, ada penghianat musuh dalam lokap mahkamah yang agresif berniaga tembakau. Beruntung pula nasibnya karena dua orang petugas pemeriksa barang-barang bawaan menjadi lengah dan terkecoh oleh penampilan wajah sendunya ketika berpura-pura menahan rasa sakit tak terperikan.

Karena faham bahwa sakit dan sedih secara alamiah bersifat menular, maka tahanan itu secara profesional mampu mendatangkan keuntungan yang lebih besar bagi dirinya – menggunakan penyakit sebagai jalan untuk membuat cikgu percaya dan merasa iba kepadanya. Itulah salah satu dari sekian banyak keunggulan seseorang yang punya pengetahuan secara mencukupi dan keberanian secara memadai untuk mengambil resiko dalam banyak situasi sekalipun di masa-masa paling rentan dalam kehidupannya. Seandainya petugas pemeriksa barang bawaan memerintahkan penjahat berkudis tersebut untuk membuka perban pembalut kakinya, niscaya mereka akan menemukan berketul-ketul tembakau terselip di tengah-tengahnya.

Dalam beberapa kesempatan, tahanan membarter tembakau dengan roti, gula, susu, kopi, vitamin dan obat-obatan medis. Sekali masa ada juga cikgu berbaik hati memberi puntung atau bahkan sigaret utuh kepada banduan yang dikenalnya dengan baik; secara sembunyi-sembunyi. Jika Anda punya tembakau, apapun yang Anda butuhkan dan inginkan dalam penjara akan segera terpenuhi; karena banyak orang bersedia berbakti untuk Anda. Jika tak punya tembakau tapi menginginkannya, Anda masih punya peluang untuk mendapatkannya. Salah satu cara yang juga lazim dilakoni adalah mengumpulkan obat-obatan medis. Caranya? Ikut rawatan medis. Pulang dari rawatan, sisihkan beberapa tablet dan kaplet, kumpulkan bersama beberapa rekan satu nasib dan satu kepentingan. Kemudian, mintalah bantuan orang kerja untuk menjadi perantara dalam negosiasi barter obat-obatan medis dengan tembakau antar sel dan lokap. Bila tak ada orang kerja tetapi Anda tetap ingin melakukan transaksi dengan sel-sel tetangga, gunakanlah bandring (pengumban tali). Sebagai talinya, nyunyut (tarik-tarik) dan pilinlah plastik bekas pembungkus roti dan sambung-sambunglah sepanjang yang diperlukan. Kemudian, ikatkan seketul batu pada ujungnya sebagai pemberat agar bandring lebih mudah dikendalikan. Di sebuah lokap lantai tiga Blok Damai, batu untuk pemberat mereka dapat dengan mencongkel muka lantai yang rusak. Gunakanlah bandring tersebut sebagai alat bantu yang menghubungkan ketika Anda bertransaksi tembakau dan obat-obatan dengan tahanan-tahanan yang berada di sel-sel tetangga.

Kulit kayu manis bekas bumbu kuah sayur termasuk salah satu pusaka bermutu yang dicari dan diserbu oleh pecandu; dikerik atau dicincang tipis kecil-kecil selagi masih basah, dijemur, dan dijadikan bahan rokok pengganti tembakau. Bila ada, daun salam dan batang serai pun oke; rimpang lengkuas, jahe dan kunyit juga berguna sebagai substitusi daun tembakau. Apalagi buah pala dan bunga cengkeh; terlalu seksi untuk diabaikan. Tiada rotan, akar pun jadi. Dari orang kerja, Combat menerima sepotong kulit kayu manis sepanjang dua buku jari telunjuk. Ditimang-timang untuk menaksir bobotnya. Diciumi bak kekasih. Dielus-elus. Setiap sudut dan lekuk diamati.

* * *

Kebutuhan penghuni akan air selalu terpenuhi lebih dari sekedar kata cukup; karena di kamar mandi air pipa menggelontor deras dan siap digunakan untuk berbagai keperluan. Akan tetapi ada juga masanya ketika pasokan air terhenti selama dua hari berturut. Akibatnya kami mengalami keterbatasan air yang kronis. Agar air tidak kosong sama sekali, pihak pengurusan penjara memberi jatah dua ember @ empat puluh liter sehari untuk satu lokap dan penghuni harus mengambilnya sendiri dari bak besar penampungan air. Untuk Blok Ehsan, bak besar air itu berada di dekat sayap utara. Buruknya persediaan air memaksa penghuni memberlakukan aturan yang sangat ketat dalam penggunaannya. Waktu itu adalah waktu pertama kali dalam hidupku aku belajar bersuci mengambil air sembahyang dengan hanya menghabiskan air kurang dari satu kole; ternyata cukup dan aku berhasil. Selama dua hari itu tak ada penghuni yang mandi. Ketiadaan air dalam kurun sesingkat itu telah menyebabkan kualitas sanitasi jatuh. Air seni di toilet tidak disiram sebagaimana mestinya sehingga pesing menusuk. Sengatan tinja dan urin yang menguap tercium tajam membuat sulit bagi kami penghuni sel untuk bernapas.

* * *