Selasa, 31 Maret 2009

Nasib, takdir, keberuntungan – spiritual orang tahanan

Nasib, takdir, keberuntungan – spiritual orang tahanan

Ketika berbicara tentang tindak kejahatan, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara orang baru dan orang lama. Orang baru cenderung merasa diri tidak bersalah dan memperkecil makna perannya dalam perkara yang mengakibatkannya terjerembab dalam penjara. Bahkan, sebagian besar manusia tutupan baru meyakini bahwa adalah fitnah dan orang yang salah di tempat yang salah dan waktu yang salah berperan besar dalam membukakan pintu masuk penjara untuknya. Di ujung spektrum yang lain, orang lama cenderung bangga dan melebih-lebihkan peran yang dilakoninya. Selain itu, penjara bagi residivis adalah kawah candradimuka; tempat kursus pertahanan dan ketahanan diri, mengasah sangkur mempertajam visi, mengevaluasi misi, memperdalam ilmu tentang taktik dan strategi, dan, tak lupa, ajang memperluas jaringan. Mengembangkan sayap, memperluas lingkup pengaruh, mencari kawan sepenanggungan, merekrut pengikut dan hulubalang, menggalang pertemanan melalui brainstorming – curah pandangan, menerawang tujuan dan sasaran ke depan.

Akan tetapi di sisi lain, adalah manusiawi bila insan terungku punya rasa takut. Karena meski berada dalam lingkungan dan situasi luar biasa, toh mereka adalah manusia biasa. Rasa takut itu pula yang menandai bahwa baik itu orang baru maupun orang lama punya banyak persamaan. Sebuah persamaan generik yang cukup mencolok adalah ketika mereka bicara soal kemungkinan berat atau ringan hukuman yang akan diterima. Baik orang baru maupun orang lama (residivis) sama-sama mengakui perannya kecil dalam tindak kejahatan yang dilakukan, sehingga berharap kelak hukuman yang diterimanya ringan. Dalam pada itu, kepercayaan yang kuat akan nasib dan takdir membuat mereka berharap keberuntungan selalu menyertai. Keberuntungan dinanti terutama ketika hakim mengambil keputusan. Mereka selalu berharap agar hakim berbaik hati dengan menjatuhkan hukuman bebas atau hukuman yang seringan-ringannya.

Satu hal yang boleh jadi terdengar konyol adalah bahwa pada hampir setiap kesempatan orang-orang tahanan kerap saling nasehat-menasehati satu dengan yang lainnya untuk mengakui apa pun yang didakwakan oleh jaksa. Dalam banyak kasus, pengalaman menunjukkan bahwa pengakuan seseorang banduan terhadap tuduhan yang dibidikkan oleh jaksa selalu mempermudah proses peradilan terhadapnya; terlepas dari apakah perbuatan itu benar-benar dilakukannya baik secara langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak. “Jika tidak mengaku,” kata mereka, “postponed.” Penundaan sidang bisa berlangsung berkali-kali dalam kurun berbulan-bulan, bahkan boleh jadi menunggu hitungan tahun. Sebaliknya jika banduan mengaku, hakim akan segera mengambil keputusan. Ketika itulah keberuntungan sangat mereka nantikan.

* * *

Countdowns to Freedom; Nasib Menggantung

Countdowns to Freedom; Nasib Menggantung

Sejak pertemuan terakhirku dengan Pinky dan Jane di bilik lawatan Kamis tanggal 31 Mei 2007, aku tak dapat menyembunyikan rasa gelisah. Bimbang hati aku dalam meyakini kebenaran berita yang pernah kudengar dari orang kantor; berharap Pinky tidak salah ketika memberi informasi bahwa boss akan menjamin kami berlima. Kuharap ia serius dengan ucapannya. Mudah-mudahan itu bukan sebuah pujuk empenak; membujuk dengan kata-kata manis sekedar untuk menyenangkan hati.

Dan karena denyut harapan untuk menghirup udara bebas begitu menggebu, sampai-sampai pikiran dan hatiku menjadi linglung; tak pernah mau diam. Taksiran jam demi jam perjalanan waktu menuju gerbang kebebasan pun tak lepas kuhitung dalam hati. Enam hari menjelang 6 Juni, misalnya, aku berucap, “Seratus empat puluh empat.” Senja harinya kembali aku berhitung, “Seratus empat puluh.” Kemudian, “Seratus tigapuluh dua.” Demikianlah seterusnya hitungan mundur kulakukan. Pokoknya, enam hari sampai satu hari menjelang tanggal 6 Juni 2007, tiada henti-hentinya aku berhitung; jari jemari di tangan dan kakiku juga turut dibuat sibuk karena hitungan gaya orang gemblung itu. Betapa semakin rajin aku menghitung semakin berat aku rasa ketika melewati waktu yang seolah-olah berjalan semakin lambat saja. Padahal, sesuai petunjuk seorang rekan dari Blok Damai sebelumnya, manteng memikirkan hanya rangsum makan terbukti sangat membantu meringankan perasaan dalam melewatkan hari-hari dalam kurungan.

Ternyata bukan hanya aku saja yang terus menerus menghitung mundur waktu naik mahkamah itu. Teman-teman di lokap Dewan-B pun diam-diam memperhatikan. Dari lurah, Kancil, Khaerul, Azhar, sampai Combat dan Mamat semuanya menghitung sisa hariku di penjara Sungai Buloh.

“Tiga hari lagi Uwak keluar dari sini,” berkata Combat padaku, membuka pembicaraan. Yang dia maksud uwak adalah aku.

“Empat hari,” kataku membetulkan.

“Tigalah. Tiga hari lagi Uwak keluar dari sini. Kemudian tumpang satu hari.”

“Ya, tapi kan tetap empat hari dari Sungai Buloh,” aku berargumentasi.

“Bebas, Wak?

“Tak tahulah. Orang kantor bilang kami mau dijamin.”

“Berapa uang jaminan?”

“Enggak tahu aku.”

“Aku yakin Uwak pasti bebas,”

“Doakan ya aku bebas.”

“Tentu, Wak. Tapi, jika tak ada Uwak, sunyi rasanya kami di sini. Tak ada orang tua,” berkata Combat seakan tak rela kutinggal. Salah satu perkara yang paling menyedihkan dalam kehidupan anak manusia adalah ketika berpisah dengan seorang sahabat. Kemudian, “Ada satu bulan Uwak di sini?”

“Tigapuluh tiga hari. Empatpuluh hari kalau yang di lokap balai polis ditambahkan,”

“Selama kita di sini, satu hari serasa lama. Tapi setelah Uwak nanti ada di luar,” ia menerawang, “satu bulan dalam penjara akan terasa sangat singkat. Dan Uwak pun akan segera melupakan penjara Sungai Buloh, termasuk kami semua yang ada di dalam sini.”

“Tentu aku tak mau mengingat-ingat Sungai Buloh,” kataku menanggapi komentarnya. “Terlalu pahit untuk diingat. Penjara membuatku letih dan payah lahir batin.”

“Kalau uwak bebas nanti,” berpesan ia kepadaku, “tolong kasih tahu keluargaku di Takengon.”

“Di mana?” aku bertanya.

Bersegera Combat menunjukkan kepadaku secarik karton manila (kertas tebal) ukuran 4 X 15,5 cm dengan satu sisi panjangnya keropes cuil-cuil tidak rata karena bekas sobekan kasar. Kertas itu telah ia persiapkan sebelumnya. Di atasnya tertulis tangan tiga nama dengan dua alamat dan dua buah nomor telepon – satu telepon rumah dan satu lagi telepon jinjing. Dua nama dengan satu alamat dan satu nomor telepon rumah yang dapat dihubungi adalah: Kamaruddin dan Rusudi penduduk Jl. Takengon Sp. Angkop Ds. Uning Kec. Pegasing Kab. Aceh Tengah – Takengon; nomor telepon 0643-221XX. Yang pertama jualan mie dan yang kedua jualan nasik. Mereka berdua adalah saudara tua seibu-sebapak dengan Combat. Sedangkan, “Nomor ini nomor telepon tetangga depan rumah,” imbuh Combat. Di atas manila bergaris itu pun tertulis “Dari Husni alias Combat.”

Nama ketiga yang juga harus kuhubungi sekeluarku dari penjara adalah seorang anak dara asal Langsa, Sely Hidayani; alamatnya tidak begitu jelas bagiku. Sebagaimana tertulis pada kertas, Combat menerangkan kepadaku bahwa perempuan itu mahasiswi sebuah akademi kebidanan di Medan dan tinggal di Binjai; dengan nomor kontak 08136243XXX.

“Khabar apa yang harus kusampaikan? Semuanya dan apa adanya?” kutitir dia dengan dua pertanyaan sekaligus; membuat dia berpikir sejenak sebelum menjawab.

“Ada rencana Uwak ke Aceh, enggak?” balik ia bertanya.

“Insya Allah, jika rencana tidak berubah, aku mau ke Takengon. Ada kawanku di sana.”

“Sama abangku Kamarudin dan Rusudi, bolehlah Uwak ceritakan apa adanya tentang aku.”

“Juga kuceritakan kalau Combat patah kaki sebelah?”

“Ya, ceritakan saja keadaanku apa adanya. Tapi jangan sampai ibuku dengar. Ibuku jantungan. Sudah cukup aku menyusahkan orangtua dan keluarga. Aku tak mau ibuku menjadi lebih menderita. Pandai-pandailah Uwak cari masa ketika bercerita tentang aku di sana nanti,” ia berkata dengan mata berkaca-kaca. “Tapi mengenai kasusku ……,” bimbang tergambar pada wajahnya, “katakan saja kalau aku didakwa jual-beli ganja,” berkata dia dengan suara berat. “Jangan katakan aku disyaki telah menculik.” Aku mengangguk. Ternyata ia merasa lebih terhormat disangka sebagai pengedar ganja ketimbang menculik. “Sedangkan untuk Sely di Binjai, katakan aku tengah mengemban misi khusus di Myanmar. Jangan bilang aku di penjara.”

“Tak ada lagi?”

“Oh, ya, sama Sely jangan Uwak bilang aku Combat atau Husni. Tak kenal dia. Bilang saja dari Andry. Salam dari Andry.”

“Andry?”

“Andry. Setahu Sely, aku Andry.”

“Kalau masih mau tinggal di sini, harus bawa uang,” berpesan Mamat kepadaku.

“Siapa yang betah di penjara? Enggak ada yang kerasan,” aku menjawab, dan, “Aku mau bebas. Boss mau jamin. Tergantung nasib lah,” kataku lagi, pasrah. Kalaulah ada untung di badan bolehlah aku bebas beberapa hari lagi.

“Nanti jika Hakim tanya, ‘Mau tetap bekerja di Malaysia atau pulang ke Indonesia?’ jawab saja, ‘Mau kerja.’”

“Kalau dijawab ingin pulang ke Indonesia?”

“Kalau kau jawab kau mau pulang ke Indonesia, nanti paspormu digunting; dan kau tak dapat datang lagi ke Malaysia sampai kapan pun.”

“Kok begitu?” bertanya aku karena penasaran.

“Memang seperti itu. Banyak kawanku yang menjawab “mau pulang” juga paspornya digunting.”

“Paspor digunting?”

“Lembar permit kerja yang digunting Mahkamah.”

“Begitu?”

“He eh”

“Tapi aku mau pulang dulu.”

“Gampang. Kalau sudah di luar mahkamah, kau tinggal bilang sama toke kalau kau mau cuti. Jangan pula bilang kau mau berhenti.”

“Oke,” aku menjawab; hatiku pun mulai meraba-raba jawaban jika hakim kelak betul-betul mengajukan pertanyaan serupa. Sebagai ancang-ancang, jawaban yang kucanangkan adalah, Seandainya Puan Hakim yang arif memperkenankan, saya akan tetap bekerja karena saya punya keluarga yang harus saya cukupkan nafkahnya.

“Kalau nanti kau bebas,” berkata Mamat, “tolong hubungi nomor ini,” sembari menyodorkan secarik kertas bertuliskan nomor 085232720xxx dan tiga nama; sebuah namanya sendiri dan dua lainnya adalah Suhni dan Marnip.

“Apa yang harus aku bilang?” bertanya aku pada Mamat.

“Bilang saja aku masuk penjara lagi di Malaysia. Sekarang ada di penjara Sungai Buloh, Selangor.”

Sementara itu, setamat urusanku dengan Combat dan Mamat, Azhar datang menghampiri. Ia minta secarik kertas dan pinjam pulpen. Kuberi dia sesobek kertas dan kupinjamkan pulpen Combat kepadanya. Lantas, kedua alat tulis itu ia gunakan. Usai menulis, ia serahkan kertas itu padaku. Kubaca isinya 012-62617xx, Azhar/As, No. xxxB Jln SS xA/xx, Sg. Way 473xx, Pl Jaya Selangor.

“Saya mesti kontak nombor ini?” aku bertanya kepada Azhar.

“Tak. Tak sekarang,” menjawab Azhar.

“Jadi, apa maksudnya?”

“Itu nombor talian saye. Nanti Uwak telepon nombor ini sekira bulan Mac tahun depan. Saye percaya Mac 2008 saye sudah bebas.”

“Kalau ini nama siapa?”

“Azhar itu saye. As perempuan saye.

“Oke,” aku menjawab. Tiada dia kutanya apakah perempuan yang dia maksudkan itu istri atau kekasih.

* * *

Kelakar si Pencuri Periuk

Kelakar si Pencuri Periuk

Peter, seorang banduan etnis India, kerap menjadi bahan tertawaan dan olok-olok beberapa banduan. Sebetulnya, aku tak tahu persis mengenai kasus kriminal yang membelitnya. Tapi dengarlah penuturan seorang banduan lain tentang Peter. Alkisah ini didedahkannya justru di depan mata Peter.

“Di sebuah medan selera suatu pagi,” demikian ia memulai ceriteranya, “tersebutlah seorang juru masak tengah sibuk menyiapkan hidangan untuk jualan pagi itu. Sayur, daging, ikan, dan udang telah masak. Beberapa langganan setia telah mulai berdatangan. Semua lauk pauk telah dihidangkan. Akan tetapi, betapa terkejut juru tanak bangsa Cina itu demi mendapatkan periuk nasi berikut isinya telah lenyap dari tempatnya. Dia tanya sana sini, tak ada yang tahu. Hebohlah restoran itu. Periuk hilang! Kehebohan di kedai nasi membuat orang-orang yang berlalu lalang menyempatkan diri untuk merubung. Nah, salah seorang dari mereka, seorang penyapu jalan, memberi tahu khalayak yang ramai berkerumun bahwa belum lama berselang ia melihat seseorang menjinjing sebuah periuk dengan tergesa-gesa ke arah tasik dekat sana. Tanpa buang masa, sang koki – diiringi oleh beberapa orang penduduk dan pelanggan – segera bergegas mengayunkan langkah panjang untuk memburu si pencuri periuk ke arah kawasan air yang dimaksud. Benar saja, sesampai mereka di tepi danau, mereka tercengang demi melihat seseorang berbadan kecil sedang melahap nasi yang disudu langsung dari periuk pusaka. Marahlah mereka; digibal – dihajar – merekalah pencuri periuk itu. Nah, orang itu – si pencuri periuk – adalah Peter,” tutupnya sambil terkekeh.

“Bohong itu!” kata Peter kesal, namun ada garis senyum menghias bibirnya.

“Kalau kalian tak percaya,” potong si penutur cerita membela diri, “tanyalah Mahmud.” Kemudian dia arahkan pandangannya dan bertanya kepada seorang tahanan etnis India umur empatpuluh tiga bertubuh gemuk dengan postur kecebong. “Mahmud, coba kau ceritakan, apa kes Peter?”

“Curi periuk,” jawab Mahmud terkekeh.

“Kau dengarlah, Mahmud pun bilang kau curi periuk, hah! Apa perlu kutanya yang lain?”

“Bohong!”

“Kalian bayangkan lah. Bagaimana tak kesal hati koki Cina itu. Lauk pauk sudah siap, tahu-tahu periuk nasinya hilang. Marahlah orang yang mau makan.”

“Bohong! Jangan kalian dengar dia.”

“Mau bukti yang lain? Lihatlah Peter. Kepalanya jadi besar karena habis dipukul ramai-ramai, hah!”

Sampai di sini Peter tak dapat mematahkan olok-olok terhadap dirinya. Namun tak urung, ia memberi penjelasan. “Kepala saya seperti ini sejak dari lahir,” katanya sambil mengelus-elus kepalanya yang membusung seperti hydrocephalus; nonong berat-ke-depan dan relatif lebih besar secara tidak proporsinal terhadap batang tubuh dan anggota badan lainnya. Bekas-bekas luka meninggalkan pitak tak-berambut di beberapa bagian. Kakinya pun pitut sehingga ia gempor ketika berjalan. Tiada pernah permukaan tanah rata untuknya beredar. Kepala busung makrosefalik dan kaki pitut itu cukup sebagai prasasti yang dapat kubaca untuk menjelaskan betapa keras dan tidak mulus hidup Peter di masa lalunya. “Waktu saya lahir, Ibu Bapa saya menganggap saya tak akan hidup lama,” katanya pula. Serta merta kami semua lebih memilih sikap berdiam diri agar tidak membuat luka di hatinya bertambah parah. Husshhh, ada setan lewat (beberapa waktu berlalu dalam hening tanpa ada satu orang di antara kami berbicara; semua orang diam mematung).

Kemudian, untuk sekedar mengisi kekosongan yang ditinggalkan olok-olok atasnya, Peter bernyanyi. Lagi-lagi kawan Melayu itu berkelakar memberi komentar, “Jangan pula kau menyanyi lagu India. Kami tak faham ertinya. Siapa tahu kau menyindir kami. Kau bilang ‘Satu Melayu duduk-duduk melamun. Dua Indon jahit pakaian,’’” Dan Peter cuma pause sejenak untuk kemudian bersenandung kembali.

* * *

Ceritera dan Cengkerama Orang Tahanan

Ceritera dan Cengkerama Orang Tahanan

Laksana ayam pedaging yang menunggu masa penyembelihan, sepanjang hari kerja kami cuma makan minum, duduk, berbaring tiduran, kongko-kongko berbagi cerita sebagai perintang waktu. Tepos pantatku. Ada cerita bermakna dan ada bualan remeh-temeh kosong semata. Dari diskusi, terkadang aku harus mendengar dengan hati agar lahir solusi. Berdiskusi dan berbagi berita di antara orang tahanan itu juga perlu untuk meluaskan pandangan tentang dunia. Selaku tahanan yang masih punya sedikit semangat, kami memang harus berjuang keras menjaga stabilitas dan stamina batin untuk tidak terlalu tenggelam memikirkan situasi tak nyaman yang kami hadapi selama berada dalam penjara.

Tak jarang, meski bertajuk diskusi, beberapa panelis lebih suka tampil menonjol dan maunya menang sendiri, sehingga mereka kerap saling berbantah ketika terperangkap dalam diskusi yang tiada berujung pangkal. Sementara itu, obrolan-obrolan kosong yang tak bermakna hanyalah salah satu cara kami melewatkan waktu tak berguna. Kadang-kadang aku juga merasa bagai dirintang siamang berbual; asyik memandang dan mendengar sesuatu yang tiada berguna, memboroskan waktu dalam kesia-siaan.

Orang tahanan tahu cara mengasah kemampuan otak. Kadang-kadang terlintas dalam benakku, kesibukan otak orang tahanan melampaui pemikiran apa pun yang lazim direnungkan oleh manusia rata-rata. Orang tutupan melewatkan bagian terpanjang masanya dengan bermenung, berpikir, berdiskusi, curah gagasan, main kartu, main dam, main catur, sampai mengutak-atik teka-teki. Anda yang hidup di alam bebas boleh jadi terkejut ketika membaca berita dari penjara seperti ini: Filsafat Tak Akan Pernah Mati. Ketika berdiskusi, misalnya, tahanan kerap saling mengingatkan. “Kita ambil hikmahnya. Tuhan telah menetapkan jalan terbaik untuk kita. Jika kita di luar dan Polis tak tangkap kita, boleh jadi seseorang yang membenci dan mendendam telah menyerang dan membunuh kita,” ujar si A.

“Bersyukurlah kita mengalami ini. Dengan pengalaman ini, kita menjadi tahu betapa susahnya kehidupan penjara dan kita dapat mencegah anak-anak dan anggota keluarga kita yang lain untuk tidak masuk ke sini. Kehidupan di sini pahit. Jika suatu saat kelak kita melihat anak-anak kita melenceng, kita dapat luruskan,” berkata si B.

“Berbeda halnya dengan orang baik-baik yang tak pernah masuk penjara. Mereka sangat keras terhadap anak-anak mereka. Bila-bila masa salah seorang anak mereka melenceng dan berbuat salah, mereka menghardik, memukul, dan bahkan mengusirnya. Keadaannya akan lebih buruk. Anak itu kelak akan jadi penjahat sebenar,” kata si C.

“Kita tidak. Kita faham seni mendidik, karena kita memang pernah mengalami pahit getir di sini,” kembali si A angkat bicara.

Dalam pada itu, waktu muster acap berguna bagi beberapa orang tahanan untuk berkonsultasi. Salah seorang tahanan yang memanfaatkan kesempatan berbincang-bincang di sela-sela muster adalah seorang etnis Melayu yang biasa duduk di dekat pojok baratdaya. Saat itu terlihat ia berbincang serius minta pandangan lurah terhadap kejadian-kejadian aneh yang menghantui tidurnya. Masa tidur adalah masa yang tak pernah nyaman baginya. Waktu tidur adalah waktu yang sangat tidak disukainya. Dalam tidur ia kerap mengigau dan menjerit dengan suara berat tertahan.

“Saya bermimpi ada suara-suara yang mengatakan bahwa untuk kes saya, saya diganjar dengan hukuman gantung.”

“Lawan suara-suara buruk itu,” memberi saran lurah kepadanya, “Saya bukan Muslim. Tapi saya anjurkan Anda untuk bersembahyang shalat,” berkata lurah melanjutkan ucapannya.

“Insya Allah.”

* * *

Reog Ponorogo, Khasanah Seni Budaya Melayu

Disamping Jawa Indonesia, banyak juga penghuni lokap Dewan-B merupakan Jawa Melayu; yaitu etnis Jawa berkewarganegaraan Malaysia. Mereka masih terhitung lumayan lancar berbahasa Jawa. Beberapa Jawa Melayu kerap merapat denganku. Meski terlahir sebagai generasi baru dengan status kewarganegaraan Malaysia, tetap saja mereka menyimpan sesuatu rasa keingintahuan mereka terhadap Tanah Jawa; asal usul leluhurnya. Ada yang datang menghampiriku hanya untuk sekedar menguji dan mengasah kepiawaian berbicara. Ada yang bertanya tentang bagaimana rupa Tanah Jawa dan kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya. Bahkan ada yang mengutarakan niatnya untuk dapat berkunjung ke pulau Jawa. Beberapa orang tercengang ketika kuberitahu bahwa di pulau Jawa sendiri bahasanya rupa-rupa.

Dalam beberapa hal, Cina dan Jawa punya persamaan. Sebagaimana halnya orang-orang Cina yang bangga akan identitas leluhurnya, demikianlah orang Jawa. Pergi merantau dan bermukim di manapun, masyarakat Jawa selalu membawa serta bahasa dan budaya. Dalam keseharian, masyarakat Jawa berbicara bahasa Jawa dalam komunitasnya. Satu bukti untuk menunjukkan betapa warna Jawa telah menjadi bagian yang melekat pada bangunan Negara Malaysia adalah dimasukkannya Reog Ponorogo sebagai kekayaan khasanah seni budaya dalam ruang hidup bangsa Melayu. Tentu Melayu yang mereka maksudkan adalah Malaysia. Tak urung, pengakuan itu sempat membuat sewot orang Jawa yang tinggal di Indonesia. Yang bukan Jawa pun ikut-ikutan merasa kebakaran jenggot karena alasan nasionalisme.

* * *

Pinky dan Jane Besuk, Engineer Indonesia

Pinky dan Jane Besuk, Engineer Indonesia

Kamis 31 Mei 2007. Orang jaga menyebut nomorku dan mengatakan bahwa ada pelawat untukku hari ini. Aku bergegas.

Kulihat pada papan periksa yang menggantung di tembok sebelah selatan dari check point pertama hanya terdapat dua orang banduan Blok Ehsan yang akan mendapat lawatan pagi itu; yakni, aku dan banduan nomor 3-07-04958. Nomor tersebut tak jauh berselisih dengan nomorku. Pikirku, pastilah dia seseorang yang masuk pertama kali ke penjara Sungai Buloh dalam waktu yang bersamaan denganku, 4 Mei 2007. Orang tersebut tentu pula masih satu rombongan denganku dari Mahkamah Petaling Jaya. Hanya saja aku terlalu tenggelam memikirkan nasibku sendiri sehingga tiada ruang bagi upaya yang cukup dariku untuk mengingat siapa gerangan pemilik nomor itu.

Setelah menunggu beberapa saat, banduan itu pun datang. Ternyata dia adalah Arman. Kami pun sékén shake hand; hangat berjabat tangan. Rupanya hari itu aku dan Arman dijenguk secara bersamaan oleh orang office, Jane dan Pinky. Sebelum meninggalkan blok, kami diperintahkan oleh orang kerja untuk melapor terlebih dahulu kepada dua orang sipir yang sedang bertugas di meja piket. Setelah lapor dan identitas diakurkan dengan yang di buku besar, berdua kami berangkat meninggalkan blok Ehsan.

Paling tidak terdapat 6 check point yang harus dilalui oleh penghuni Blok Ehsan saat ada lawatan. Seorang sipir pada check-point kedua (yang berpiket di gerbang blok) bertanya kepada kami berdua apakah kami sudah mengetahui tempat kunjungan. Kami menganggukkan kepala dan bilang kepadanya bahwa kami telah tahu tempat itu.

Pada check point ketiga, kuperhatikan dua orang sipir memeriksa dan melarang orang kerja membawa serta sepasang sandal karet. Karena tumit sandal tak dapat dilipat, sipir mencurigai di dalamnya terdapat lempengan besi. “Ini tak boleh masuk. Ini besi. Nanti digunakan untuk menikam Tuan,” kata sipir. Lantas, sipir menahan sandal karet tersebut. Selanjutnya orang kerja melanjutkan tugasnya mendorong gerobak tanpa mengenakan alas kaki. Sementara itu, kulihat keadaan Arman kumal. Kucermati T-shirt yang dikenakannya pun terbalik, bagian dalam ada di luar. Kuminta dia untuk membetulkannya. Dia menolak. Setelah kudesak beberapa kali sambil mengatakan bahwa hal itu bisa menimbulkan masalah bagi kami berdua sebagaimana sebuah masalah tengah menimpa orang kerja yang ada di hadapan kami, barulah Arman mau mengalah dan membetulkan kaos yang dikenakannya. Kelar berurusan dengan orang kerja, kedua sipir melambaikan tangannya kepada kami berdua untuk mendekat. “Jumpa?” tanya seorang. “Ya,” berdua kami menjawab. Setelah digeledah, kami diperbolehkan melanjutkan perjalanan.

Pada sebuah check point berikutnya.

“Indonesia?” seorang sipir bertanya kepadaku.

Aku mengangguk.

“Engineer?” dia bertanya lagi, mengernyitkan dahi.

Kujawab dengan gelengen kepala dan kata-kata, “Bukan. Saya bukan engineer. Saya pekerja pembinaan.”

“Ah, engineer Indonesia,” katanya pula; garis alisnya kian melengkung.

Aku tak mendebatnya lagi. Aku tersanjung didudukkan setara dengan insinyur hanya karena mukaku muka pemikir.

Pada check point terakhir, nomor dan nama banduan ditanya. Dicatat pada buku register. Dengan ballpoint, nomor urut lawatan dituliskan pada lengan kiri. Tujuh hari sebelumnya, di tempat ini ketika aku baru akan kembali dari lawatan, ketika rasa lapar telah mulai menjalar, sekujur tubuhku gemetar.

Sewaktu melihat badanku gemetaran, “Gemetar. Mengapa gemetar?” bertanya seorang sipir kepadaku.

Aku menjawab, “Saya diabetik.”

“Kukira karena tertiup angin,” kembali berkomentar sipir menanggapi dengan intonasi suara dan gesture yang dilucu-lucukan seperti karakter Giant dalam film kartun Dora Emon; namun tak seorang pun hadirin terpancing tawa karenanya.

“Yang agak-agak lah,” tegur seorang sipir lainnya menimpali; nasehat kepada sejawatnya yang tak pandai menimbang rasa.

Bagai daun akan gugur, kondisi tubuhku waktu itu lemah dan terus bergetar sekeras goncangan lawn mower – mesin pemotong rumput untuk taman dan pekarangan. Tetapi sesungguhnya bukan karena diabetes. Barangkali lebih karena faktor depresi dan kurang gizi. Jangan-jangan aku pengidap akut hipokondria; ketakutan yang sangat berlebihan dan terus-menerus terhadap gangguan kesehatan tubuh oleh penyakit. Tubuh bergetar adalah sebuah efek dramatis dari rasa takut yang berlebihan.

Combat berpendapat berbeda. Ia, sebagai penganut sekte suluk, mengklaim bahwa getar ragawi yang kualami secara tiba-tiba dan sukar pula dikendalikan bukan merupakan sebuah gejala dari penyakit biasa. Bertanya ia kepadaku apakah di suatu tempo dahulu aku pernah menuntut ilmu gaib atau semacamnya. Kujawab secara apa adanya bahwa aku tak pernah berguru ilmu gaib. Adapula halnya kerap aku berpuasa lebih karena faktor kelangkaan dan putus-putusnya ketersediaan logistik pemakanan dalam kurun lama dari masa laluku, sehingga berpuasa bagiku merupakan kebiasaan diri yang telah menjadi semacam kebutuhan hidup sebagaimana kebutuhan setiap insan akan rekreasi. Combat pun bertafakur. Menurut penglihatan mata batinnya, aku kena gendam. “Rajin sembahyang tidak berarti Uwak tak dapat diguna-guna.”

“Uwak boleh tidak percaya. Tapi marilah Uwak saya obati,” Combat menawarkan diri untuk mengusir roh jahat penebar racun dari dalam tubuhku, terutama di bagian lengan dan tangan. Ia lantas meraih ambal sajadah yang tersampir di sokoguru; membebatkannya di kepala sebagai destar. Di bawah kesaksian banyak orang, disuruhnya aku berbaring telentang. Sebanyak dua kali – satu kali dalam cahaya terang, satu kali di bawah sinar redup – pada dua malam berbeda, ia melakukan ritual magis bermantra bauran bahasa Arab dan Aceh; menawarkan racun yang mengalir dalam segenap pembuluh darah. Dan menjelang berakhirnya masa tahananku di Sungai Buloh, ia membekaliku beberapa amalan ilmu menghidupkan cahaya hati; meninggikan kemaslahatan diri.

Persinggahan terakhir yang harus dilalui oleh orang tutupan sebelum bertemu dengan pelawat adalah sebuah ruang yang berfungsi sebagai panel pengaturan lalu-lintas lawatan. Dalam ruangan tersebut terdapat beberapa orang petugas yang diperlengkapi dengan beberapa unit komputer di hadapannya. Ketika berada di dalam, nomor banduan dikonfirmasi, dan petugas memberi tahu nomor bilik lawatan. Satu bilik lawatan untuk seorang tahanan. Sementara itu, masih menempel lengket di dinding, sebuah pamflet pengumuman. Maklumat untuk segenap pengelola dan seisi penjara. Dalam kurun satu minggu penuh dari tanggal sekian sampai tanggal sekian (lupa aku tanggal pastinya), penjara tertutup bagi pelawat non-etnis Cina. Hanya tahanan etnis Cina yang diperbolehkan mendapat lawatan pada hari-hari tersebut. Pengaturan secara demikian dimaksudkan untuk memberi kesempatan yang seluas-luasnya bagi tahanan etnis Cina untuk merayakan salah satu hari besar mereka (Hari Raya Cheng Beng?) bersama dengan keluarga dalam lingkungan penjara. Perlakuan itu diberlakukan barangkali berdasarkan pada pertimbangan keterbatasan kemampuan pengurus penjara dalam menyediakan pelayanan terbaik kepada tahanan dan para pelawat di hari-hari besar, sementara etnis Cina penghuni Penjara Sungai Buloh jumlahnya tidak sedikit. Pamflet itu seharusnya sudah dicopot karena telah kedaluarsa.

Selanjutnya, tahanan masuk ke bilik lawatan kedap suara untuk bertemu pandang dengan pelawat yang berada di balik kaca. Pertemuan terjadi hanya sebatas kontak mata menembus kaca dan kontak suara lewat perangkat elektronik. Tidak tersedia cara bagi pelayat dan pesakitan untuk dapat saling bersentuh kulit. Dari posisi pembesuk memandang, seorang tahanan tentunya tampak sebagai sebuah barang antik dalam ruang pamer. Pembicaraan antara pembesuk dan narapidana dilakukan melalui bantuan sepasang perangkat – satu untuk yang diluar dan satu untuk yang di dalam – yang bentuknya seperti telepon rumah. Dalam pada itu kulihat ada sebuah tulisan besar dalam ruangan besuk; tempatnya ada pada dinding di atas kepala, WASPADA! ANDA DIAWASI. Layaknya sebuah iklan layanan masyarakat, ia mengingatkan tahanan untuk tidak berbuat macam-macam. Sesekali terlihat di koridor beberapa sipir meronda bersama.

* * *

Pada hari Kamis tanggal 31 Mei 2007, Jane menemui Arman; sedangkan yang menjumpaiku adalah Pinky. Setelah basa-basi say hello, “Boss akan jamin kalian. Tunggulah enam hari lagi,” Pinky menghiburku agar aku bersabar tinggal di dunia tutupan sedikit lebih lama. Informasi penting yang kudapat dari pertemuan itu adalah bahwa masa penahanan kami tidak akan dimintakan diperpanjang oleh pendakwa raya kepada Puan Hakim; karena perusahaan akan menjamin kami. Selain yang satu itu, tak banyak perihal yang kami perbincangkan. Kesulitan komunikasi yang kuhadapi bersama Pinky ditandai dengan lebih banyak waktu berlalu dalam jeda. Pinky berbahasa Melayu dengan aksen Tionghoa yang sangat kental; sementara aku berbahasa Indonesia tulen. Jadilah komunikasi kami komunikasi model ON/OFF – terputus-putus; kadang saling mengerti, kadang tidak; kadang bicara, lebih banyak tempo tidak bercakap. Akhirnya kuputuskan untuk mempersingkat pertemuan. Sebelum berpisah, Pinky mengingatkanku berkali-kali untuk tidak lupa belanja dengan plafon enampuluh ringgit. Pinky lantas meninggalkanku.

Usai jumpa Pinky, kuhampiri bilik pertemuan Jane dan Arman. Ketika melihatku berdiri di koridor ruang pertemuan, antusias Jane melambaikan tangan memintaku untuk mendekat. Hanya lambaian tangan dan lemparan senyum yang kuberi, tanpa aku berusaha menghampiri. Tak lama berselang, kulihat Pinky telah tiba kembali menemani Jane yang bercakap-cakap dengan Arman. Mereka bicara bertiga. Aku hanya menyaksikan dari kejauhan.

* * *

Cek Diabetes: Selasa 15, 22, dan 29 Mei 2007

Cek Diabetes: Selasa 15, 22, dan 29 Mei 2007

Pagi tanggal limabelas haribulan lima tahun duaribu tujuh; dari blok Ehsan, sekitar tigapuluh orang banduan – hampir duapuluh di antaranya adalah penghuni lokap Dewan-B – berjalan beriringan dua-dua menuju hospital penjara. Sama seperti prosedur pengamanan standar yang diberlakukan dalam penjara, pemeriksaan medis juga berada di bawah pengawasan ketat sipir. Banduan diperiksa per gelombang; satu gelombang pemeriksaan tidak boleh lebih dari tigapuluh orang; dan banduan diharuskan duduk dan jongkok teratur dalam barisan. Agar sipir tak lengah, setiap pintu ditulisi PINTU SELALU BERKUNCI di atasnya. Tembok timur ruang periksa ditempel dengan setidaknya dua keping whiteboard yang memuat data nama-nama pasien yang rawat-inap di blok hospital. Sedangkan tembok sisi barat ada pamflet bertuliskan PELANGGARAN RINGAN UNDANG-UNDANG PENJARA dan PELANGGARAN BERAT UNDANG-UNDANG PENJARA; memuat rincian perkara-perkara yang tidak boleh dilakukan oleh pengisi penjara.

Mengingat banyaknya pasien dan terbatasnya waktu, pemeriksaan medis dilakukan sesingkat mungkin dengan mengandalkan verbal exam; paramedis menanyakan keluhan pasien. Kuamati, yang dominan pada waktu itu adalah penderita batuk dan gatal-gatal pada sekujur tubuh. Pasien-pasien dengan keluhan gangguan kesehatan ringan langsung ditangani oleh paramedis seketika itu juga. Sementara itu, yang memerlukan perlakuan lanjutan dipisahkan dari barisan; membentuk barisan baru untuk kemudian diperiksa secara lebih teliti oleh dokter penjara dan dibuatkan rekam medisnya.

Untuk penderita dengan keluhan ringan seperti batuk misalnya, paramedis membagikan seperlima sampai seperempat sloki obat batuk hitam yang langsung diminum di tempat oleh pasien. Penderita demam mendapatkan vitamin dan paracetamol untuk tiga hari. Pasien yang menderita gatal-gatal ringan mendapat sejumput salep putih; diterima langsung dengan telapak tangan. Sedangkan penderita gatal-gatal parah di sekujur tubuh mendapat pembagian lebih banyak salep.

Pada tanggal limabelas haribulan lima, aku turut dalam antrian rawatan kesehatan untuk mengecek kadar gula darahku. Seperti biasa, aku juga harus mengikuti prosedur pemeriksaan verbal. Pertanyaan paramedis dan dokter tentu kujawab sebisaku. Lain ladang lain belalang. Menakar paras gula dalam darah pun dokter dan kader perawatan kesehatan Malaysia menggunakan alat ukur yang tidak sama seperti yang lazim dipakai oleh koleganya di Indonesia. Semua tergelak saat kubilang kadar gula darahku pernah mencapai 376. Aku harus memberi penjelasan singkat kepada dokter dan paramedis tentang keadaan kesehatanku dan pemeriksaan medis yang pernah kujalani. Kukatakan kepada mereka bahwa bilangan tersebut bukan hasil karanganku; aku mengetahuinya ketika diperiksa di Indonesia. Tiga ratus enam puluh tujuh sebelum dan tiga ratus tujuh puluh enam setelah perlakuan; naik sembilan poin setelah minum gula dan diperiksa ulang satu jam kemudian. Meski berpolemik dengan keterangan yang kuberikan, tak urung pemeriksaan tetap dilanjutkan. Dokter meminta seorang pembantunya untuk mengambil contoh darah dariku.

Seorang paramedis tercengang demi mendapatkan fakta bahwa mengambil sampel darahku ternyata jauh lebih sulit dari pengalamannya yang sudah-sudah dalam menangani pasien. Meski telah dilubangi dan dipijit keras-keras, ujung ruas jariku masih susah mengeluarkan contoh darah; hanya sebuah noktah merah terlihat pada bekas tusukan jarum. Bahkan sampai dua kali menusuk ujung jariku, paramedis tidak mendapatkan darah sejumlah yang ia inginkan. “Ini kalau dalam rupiah harga satunya adalah lima ribu,” berkata paramedis yang mengambil sampel darahku tentang harga satu set jarum pengetip ujung jari. Aku tahu dia bercanda; akan tetapi tetap saja aku merasakannya sebagai cemoohan terhadap rendahnya nilai rupiah Indonesia di matanya. Ya, limaribu rupiah kita senilai tidak lebih dari dua ringgit Malaysia. Kuteringat, waktu aku kecil dulu, orang-orang biasa bilang seringgit untuk dua setengah rupiah. Kini, empat puluh tahun kemudian, rasionya telah menjadi seribu kali lipat. Tengoklah, betapa kita gandrung berhitung dengan ukuran bilangan – ketimbang nilai – melembung super jumbo.

Pada tusukan ketiga dengan jarum ketiga, barulah ujung jariku memancarkan satu titik darah yang cukup untuk sekedar dapat digunakan mengecek kandungan glukosanya. Setelah itu darah ditempelkan pada alat pembaca kadar gula. Dokter bilang kadar glukosa darahku ok. Cuma agak tinggi. Tapi dia tidak bilang jika aku terindikasi kena atau tidak kena diabetes. Sayangnya waktu itu aku tak lihat – karena tidak diperlihatkan – seberapa tinggi kadarnya. Paramedis tidak memberitahuku; demikian pula halnya dokter yang bertugas memeriksaku tidak memberiku tahu tentang hal itu. Hanya saja dokter Melayu itu bilang kepadaku, untuk mengetahui bahwa seseorang menderita diabetes memerlukan tiga kali pemeriksaan. Berpedoman pada keterangan tersebut, aku ikut rawatan lagi tanggal 22 dan 29 hari bulan Mei (Karena jatah rawatan untuk penghuni Blok Ehsan adalah pada hari Selasa). Lantas ia memberiku resep untuk ditukarkan kepada dua orang apoteker yang berdiri di sebelah kanannya. Setelah resep kuserahkan, paramedis (apoteker) memberiku beberapa kaplet vitamin warna merah dan tablet paracetamol warna putih untuk dikonsumsi selama dua hari. Orang Malaysia umumnya menyebutnya sebagai Panadol.

22/5 Aku memeriksakan diri. Karena alat cek darah tidak ada di tempat, hari ini darahku tidak dicek. Dokter India yang bertugas hari itu memberiku pil kecil empat belas kaplet untuk dikonsumsi 2 X 1 selama tujuh hari ke depan.

29/5 Dicek, kadar gula darahku 4.2 dan Dokter Melayu bilang ok. Tak ada indikasi aku terkena penyakit diabetes yang menyeramkan itu. Betapa senang hatiku. Mungkin inilah satu-satunya berita gembira yang kuperoleh selama dalam tahanan. Namun rekan-rekan satu sel menuduh aku telah berdusta hanya sekedar untuk mendapatkan perlakuan istimewa di penjara. Terlebih “lurah” Dewan-B. Tiada henti dia merepet sepanjang koridor dari hospital sampai ke Blok Ehsan. Akan tetapi, banduan yang mendukungku pun tak kalah jumlah.

Akibatnya, nyaris pecah perseteruan antara Combat (rekan yang getol membelaku) di satu pihak dengan “lurah” di pihak lain. Bahkan Combat melihatnya dari kacamata sentimen religi. Emosinya tak gampang surut.

“Orang kapir memang tak suka sama orang Muslim yang sembahyang,” katanya geram. Kukatakan padanya bahwa perkara ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan issue agama. Kubujuk dia agar kemarahannya tidak meledak-ledak.

“Uwak duduk saja di sini. Jangan naik bilik,” berkata Combat kepadaku, memintaku untuk membangkang; membangkang tanpa sepengetahuan sipir tentunya.

“Tak apa-apa. Saya sudah tak ada sakit. Saya musti naik bilik.”

“Jangan, Wak. Kalau naik bilik, Uwak akan payah lagi. Di sana Uwak akan dianggap sebagai orang baru dan banyak kerja. Lagipula, sebentar lagi Uwak kan naik mahkamah. Saya yakin Uwak akan bebas.”

Khairul, salah seorang anggota klan Melayu yang juga bersimpati kepadaku, menghampiri Kancil. “Bilang sama orang itu, biarkan Uwak duduk di sini. Kerana, jika Uwak naik bilik, tak akan ada imam sembahyang di sini,” demikian saran Khairul kepada Kancil.

Kancil adalah seorang banduan yang diserahi tugas sebagai penanggung jawab kebersihan dan ketertiban lokap Dewan-B. Dan “petisi” tersebut disampaikan oleh Kancil kepada “Lurah”. Atas perjuangan Combat, Khairul, dan Kancil, aku diperkenankan – bahkan diminta – untuk tinggal lebih lama di lokap Dewan-B sampai usai masa tahananku. Malahan, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diharapkan, disusunlah sebuah skenario penyelamatan. Adalah lurah sendiri yang menyusun skenario tanya-jawab antara Tuan dan aku.

“Nanti kalau Tuan tanya,’Apa sakit?’ Jawab, ‘Sudah tak ada sakit.’ Dan bila Tuan tanya lagi ‘Tak ada sakit. Mengapa masih di Dewan-B, tidak naik bilik?’ Jawab saja, ‘Waktu saya mau naik bilik, Tuan bilang tunggu, maka saya tunggu. Lagipula, dalam dua tiga hari ini saya akan naik mahkamah. Jadi saya pikir, nanti saja sepulang saya dari mahkamah, saya akan naik bilik.’”

Demikian skenario sesi tanya-jawab yang disarankan oleh “lurah” kepadaku seandainya sipir melakukan inspeksi pembersihan orang-orang sehat dari Dewan-B. Dia jabarkan skenario itu sampai empat kali agar aku tidak lupa. Secara berkala namun dalam interval yang tidak ditentukan dan tak pula dapat ditebak, jajaran pengelola penjara – dibantu oleh orang kerja – melakukan operasi pembersihan. Terakhir, razia serupa dilakukan pagi hari tanggal 24 Mei 2007. Namun, sampai habis waktuku di Sungai Buloh, tak ada lagi operasi penertiban orang-orang sehat yang dilakukan di Dewan-B.

Sebetulnya, sepulang rawatan medis aku bersiap-siap untuk naik bilik. Sementara menunggu sipir membukakan pintu lokap, aku shalat dzuhur karena waktunya sudah masuk. Di sini, di penjara Sungai Buloh, waktu sipir sangatlah berharga. Segala sesuatu yang melibatkan waktu sipir harus dilakukan segera dan secepat mungkin. Tak ada toleransi untuk mengulur waktu. Dan ketika aku sedang bersembahyang itulah, pintu lokap dibuka agar tahanan-tahanan yang telah sembuh dari sakit segera naik bilik; kembali ke biliknya semula. Sehingga tak sempat pula aku naik bilik saat itu.

Berselang dua jam, Tuan etnis Cina membuka pintu lokap Dewan-B untuk sesuatu keperluan. Aku bergegas keluar, tapi Tuan mencegatku.

“Mau kemana?” bertanya Tuan kepadaku.

“Naik bilik, Tuan. Bilik Sebelas,” aku menjawab dengan jantung berdebar.

“Nanti saja. Tunggu.”

Penjara punya aturan: Tuan adalah pawang. TitahTuan sabda bertuah. Pada mata angin mana pun jari Tuan menunjuk, ke arah sana setiap tahanan harus bertiup. Karena norma lembaga tak boleh dipertanyakan, maka tak jadi aku pindah ke sel nomor sebelas yang terletak di sayap timur Blok Ehsan.

* * *

Akhirnya Bantuan Datang Juga; Pinky dan Freddy Melawat

Akhirnya Bantuan Datang Juga

Senin 21 Mei 2007. Ali ada jumpa (dilawat). Lawatan yang diterima Ali merupakan berita baik yang mencerahkan bagi kami berlima. Itu menunjukkan bahwa Boss tidak berpangku tangan. Itu tandanya pihak manajemen perusahaan mulai memperhatikan nasib kami. Dengan adanya orang yang melawat, kebutuhan fisik tahanan – seperti pakaian bersih, sikat dan pasta gigi, sabun, susu, gula – lebih dapat terpenuhi. Yang lebih penting lagi, kedatangan pelawat meniupkan nafas baru. Mereka datang membawa harapan. Perasaan diperhatikan membuat kesehatan psikis kami kian membaik. Tiada kata terlambat. Lawatan oleh pihak manajemen perusahaan mengindikasikan mereka masih memiliki keinginan untuk menyelamatkan orang-orang terakhir – pegawai yang sempat mereka jadikan tumbal. Kini kami berpengharapan untuk dapat menghirup udara bebas dalam waktu yang tidak lama lagi; karena perusahaan bertanggungjawab. Harapan bebas ini tentunya berdampak positif terhadap kesehatan fisik.

Usai lawatan, Ali memberiku seporsi nasi goreng dan sebungkus biskuit tawar; kubagi habis untuk teman-teman satu sel.

* * *

Praktis selama duapuluh enam hari – terhitung sejak masuknya aku dalam tutupan Balai Polis Puchong – tak pernah sekalipun aku bersikat gigi dengan stannous fluoride. Di sepanjang lintasan masa tersebut aku hanya dapat bersugi dengan menggunakan ujung jari telunjuk. Hasilnya, rongga mulutku menjadi tak nyaman. Tiap hari berganti, remah makanan kian tebal menempel dan memenuhi segenap relung geligi. Kondisi ini memudahkan oral lactobacilli menggandakan diri dan membentuk koloni, dan kian bebas mereka berkreasi mengkoversi karbohidrat menjadi asam dalam mana garam mineral gigi mudah larut. Akibatnya, gigi-gigiku kian rapuh dan terasa linu. Sedangkan karang gigi lebih cepat tumbuh berkembang. Semakin lama air liurku semakin terasa basi, mulut kian kecut, bibir lengket mengatup bak tersaput lem. Geligi dalam mulutku kini telah menjadi tempat akumulasi bakteri dan serpih makanan membusuk.

Karena tidak dibersihkan sebagaimana mestinya, geligiku juga tidak lagi berfungsi secara optimal. Mengunyah – fungsi aktif gigiku – masih bisa kujalankan, tapi serasa kurang sempurna karena kunyahan sepertinya tak mau lumat. Demikian juga, dua fungsi pasifnya – (1) membantu dalam produksi suara dan bicara dan (2) menambah harmoni estetika mulut – terganggu. Bicara kini aku tidak lepas, lantaran khawatir dengan bau yang mengganggu lawan bicara, sehingga tak lepas bersuara. Harmoni estetika mulutku pun kurang ideal, lantaran di ambang sadar aku harus sering menyugi gigi dengan lidah; sehingga kerap mulutku mérat-mérot seperti sedang mengulum gula-gula.

Barulah pada Rabu 23 Mei 2007 setelah Arman menerima lawatan dari orang office, keadaan menunjukkan tanda-tanda membaik. Ketika pulang lawatan dan melintas di depan selku, Arman memberiku sebatang sikat gigi. Ia dapat memberiku sebatang lantaran, dia bilang, dia beli dua. Padahal, menurut aturan baku yang berlaku di penjara Sungai Buloh, banduan tidak diperkenankan berbelanja lebih dari satu unit untuk sesuatu item barang yang sama. Aku pun meminta odol darinya, tapi tidak diberi; lantaran dia cuma beli satu tube. Sementara itu, rekan-rekan satu sel denganku meminta biskuit darinya. Setelah Arman berlalu dan lenyap dari pandanganku, bersegera aku masuk kamar mandi menggosok gigi.

Inilah pertama kali aku menggosok gigi dengan sikat gigi semenjak aku masuk tahanan 27 April 2007. Kali ini pun aku masih melakukannya tanpa pasta. Ihhh, ketika gigi kugosok dan dikumur, remah makanan yang telah bermukim pada lapisan gigi menyatu dengan air berwarna merah.

Pucuk dicinta ulam tiba. Dua tiga jam berikutnya, Mamat memberiku sejumput ubat gigi yang kuminta. Sekali lagi kusikat gigiku. Kali ini dengan pasta. Berbaur dengan buih odol, cairan kental kotor merah bata masih keluar dari mulutku. Selepas berkumur sampai bersih, barulah dunia segar kurasa.

* * *

Pinky dan Freddy Melawat

Kamis 24 Mei 2007. Perhatian segenap penghuni terfokus ketika orang kerja menyebut sebuah nomor tahanan. Pagi itu nomor yang ia sebut adalah nomorku; ada pelawat yang akan menjengukku. Demi mengetahui aku ada jumpa, bersegeralah tahanan-tahanan lain mengerubutiku dan meminta aku untuk membeli barang-barang kebutuhan untuk kelak kami berbagi. Macam-macamlah permintaan mereka. Ada yang minta dibelikan odol, sabun mandi, sabun cuci, susu, gula, mentega, mie instan bahkan sampai handuk segala. Tak ketinggalan, orang kerja berpesan agar aku membeli nasi goreng dan kacang polong. “Untuk Tuan,” katanya.

Cukup banyak tahanan Blok Ehsan yang mendapat lawatan keluarga dan kerabat waktu itu. Aku lupa berapa jumlah semuanya; sekitar limabelas sampai duapuluh orang. Setelah melewati lima atau enam check-point, sampai jugalah rombongan kami di tempat pengurusan lawatan. Karena ini merupakan pengalaman pertama bagiku, aku hanya memperhatikan dan meniru tahapan-tahapan yang dilalui oleh tahanan lain.

Setelah menunggu tak begitu lama, aku tersenyum dan melambaikan tangan; menyambut kedatangan dua orang di balik kaca tebal – pemisah dunia bebas dan dunia tutupan – yang juga tersenyum dan melambaikan tangan. Kedua orang itu adalah Pinky dan Freddy. Dari kami berlima satu kasus, aku yang mereka tandang paling belakang. Ali dibesuk tanggal 21/5; Arman 23/5. Sementara itu, Listia dan Dio di Penjara Kajang dilawat tanggal 21/5.

Melalui sepasang phone-set, kami berbicara. Pinky yang memulai.

“Halo, apa kabar?” tanya Pinky. Aku hanya tersenyum getir. “Oke?” kejarnya lagi.

“Di penjara, tak okelah,” jawabku.

Ada yang pukul?”

“Oh, tidak,” aku menjawab. Dalam pada itu, Pinky bertutur bahwa Dio di Penjara Kajang mengalami tekanan dan kerap berkelahi. Maklumlah, rekan-rekan satu selnya di Kajang semuanya pemuda belia. Stabilitas emosional mereka rata-rata sangat rendah. Di penjara anak-anak, perkara-perkara sepele sangat berpotensi memicu perkelahian.

“Tenang saja lah. Lawyer bilang kita tak ada kes,” berkata Pinky, menyampaikan berita terbaru padaku bahwa kasus kami telah gugur. Tapi, kupikir, kalaulah kasus yang didakwakan itu gugur, mengapa sampai detik ini kami masih dikurung?

Pinky kemudian menyerahkan mouth-piece di tangannya kepada Freddy, seorang kawan Indonesiaku. Dia orang Jawa, aku pun orang Jawa. Tapi dalam Bahasa Sunda kami berkomunikasi, karena saat ini kami lebih faham Bahasa Sunda ketimbang Bahasa Jawa.

“Bang, kumaha? Damang?” bertanya Freddy tentang keadaanku.

“Mana ada orang sehat di penjara,” jawabku; tertawa kami berdua jadinya. Ini adalah kali pertama aku dapat tertawa selama dalam kurungan.

“Eh, abang kan sudah tidak ada kerja,” bertanya Freddy untuk mendapatkan konfirmasi dariku. Ketika polisi mencidukku, aku sudah tidak lagi bekerja untuk Ray.

“Ya iya lah. Aku udah enggak kerja. Memang enggak ada kerjaan. Tapi aku kan ada di situ,” kataku; “Makanya aku ketangkap juga,” aku menambahkan. Kujelaskan kepadanya bahwa tempat kerjaku sejatinya sudah di kantor baru; di tempat Alex.

“Tapi enggak ada yang mukul atau ngajak berantem kan?” tanya Freddy.

“Enggak lah. Malu mereka kalo mukul orang tua,” kataku; lagi-lagi Freddy tertawa. Kini aku dalam usia yang telah lama melampaui masa-masa dalam mana nafsu berkelahi merupakan sesuatu keniscayaan.

“Aku yakin kok, Bang Iman pasti tabah,” berkata Freddy mencoba memuji. Aku tidak langsung menanggapi karena emosiku menjadi tidak stabil karena pujian itu.

Freddy lantas bercerita tentang betapa ia dan rekan-rekan lainnya kebingungan karena kehilangan kontak dengan kami berlima selama beberapa minggu. Kemudian ia memutuskan untuk mengunjungi tempat kerja kami yang ternyata telah centang perenang. Hanya sekali-sekali aku menyela. Tapi secara umum dia yang pegang kendali dalam pembicaraan kami. Sesekali ia bercanda; canda yang membuatku terhibur. Gaya kocak Freddy dalam berbicara membuatku senang. Tak lupa Freddy memberi tahu bahwa Dio telah ditransfer ke penjara ibu pejabat Kajang; karena di bawah umur. Uniknya, di lokap Dewan-B Blok Ehsan penjara Sungai Buloh tempatku ditahan, ada Raja, seorang anak ingusan bau kencur WN Myanmar. Taksiranku usianya jauh lebih muda dari Dio; tak lebih dari 12 tahun almanak. Kelak ketika kami berjumpa di lokap Mahkamah PJ pada tanggal 6 hari bulan Juni 2007, Dio memberi tahu kami bahwa dia sempat menginap satu minggu di penjara Sungai Buloh sebelum dipindahkan ke Kajang.

Kemudian Freddy bicara serius yang membuat raut mukaku mengerut. Topik yang membuat garis di jidatku melengkung agak menyerupai kumpulan huruf omega besar kecil berlapis-lapis adalah berita tentang kami berlima yang disampaikan kepada keluarga masing-masing di Tanah Air. Disampaikan kepada mereka bahwa kami saat ini berada di Cina untuk kurun waktu yang belum ditetapkan. (Kelak berita ini menjadi bahan gurauan rekan-rekan satu selku – terutama Mamat dan Combat – di lokap Dewan-B, Blok Ehsan). Kukatakan kepada Freddy sebaiknya berita yang disampaikan kepada keluargaku adalah kejadian sesungguhnya yaitu aku ada di penjara. Tetapi ketika kubaca raut wajahnya yang tidak sependapat denganku, aku pun mengalah. Kubilang padanya aku pasrah saja dan menyerahkan perkara itu sepenuhnya di tangan mereka-mereka yang ada di alam bebas. Ia lantas mengusulkan sebuah skenario bahwa kini kami masih berada di Cina dan baru akan kembali setelah tanggal enam bulan Juni 2007; karena boss tengah mengusahakan kami bebas dengan jaminan. Aku menyetujui usul itu meski kubilang, “Di jaman sekarang, dari ujung dunia manapun orang dapat berkomunikasi dengan mudah. Telepon ada di mana-mana. Masak ke Cina saja kami enggak bisa mengontak keluarga. Aneh kan?”

Setelah puas berbicara denganku, kembali Freddy menyerahkan gagang telepon itu kepada Pinky. Kali ini Pinky lebih terdengar memberi arahan kepadaku. “Nanti,” berkata ia memulai arahan, “ you belanja. You harus hati-hati. Belanja tak boleh lebih dari enampuluh ringgit. Beli barang-barang yang perlu sahaja. Sabun, ubat gigi, berus, Maggie (mie instan). Ingat, tak boleh lebih enampuluh ringgit.” Aku hanya berkata oke dan manggut-manggut saja, persis seperti perilaku aparat intelijen Balai Polis Puchong yang cuma bisa manggut-manggut dengan tangan gemetar ketika mendapat perintah dari the big boy via telepon untuk melepas bebas tiga perempuan Cina kawan kerja kami pada tanggal 27 April 2007 yang lalu.

Sebelum menutup pertemuan, Pinky memberi tahu bahwa mereka akan besuk lagi satu minggu ke depan. Gagang telepon diletakkan. Kedua pembesukku beranjak pergi setelah terlebih dahulu melambaikan tangan dan tersenyum. Tak lama berselang, kami telah terpisah secara visual.

* * *