Selasa, 31 Maret 2009

Lembu Alas, Abu Guru untuk Penjara

Lembu Alas, Abu Guru untuk Penjara

Dalam lokap mahkamah, seorang tahanan khusyuk mengisap rokok linting. Disedotnya dalam-dalam asap tembakau dari balutan kertas koran yang menempel di sudut bagian kanan bibirnya. Ujung abu itu merah membara; terlihat jelas garis api merambat cepat merapat bibir. Hanya sekali sedot panjang dan rokok dalam jimpitan harus berpindah ke lain tangan seorang rekan di sebelah. Setelah rokok lepas dari bibir, tarikan nafas dalam-dalam masih ia lakukan melalui rongga mulut untuk mendorong asap masuk ke dalam pipa tenggorokan dan relung paru-paru. Ia melakukan itu dengan posisi kepala sedikit miring dan mendongak, bibir terbuka setengah, dan gigi mengatup rapat hingga menonjol rahang pada permukaan kedua bidang pipi; terdengar desis angin yang menembus celah-celah gigi.

Dan andai hidup tak dibebani dengan kewajiban bernafas, tentu tiada hendak ia mengeluarkan sisa asap yang tak terserap habis oleh metabolisme tubuhnya. Dibuang sayang, sisa asap tak segera hendak dikeluarkannya dari perut. Sungguh terpaksa jika lelaki slebor itu pada akhirnya menghembuskan sedikit demi sedikit nafas berasap dari rongga hidungnya dengan sangat perlahan. Terlalu kentara kalau ia tengah menikmati racun nikotin. Kelopak matanya bergelayut merem melek, mempertegas kenikmatan sempurna. Ekspresinya – ditambah kepulan asap tipis dari hidung – mengingatkanku pada sebuah kartun yang menggambarkan karakter seekor lembu alas yang berdarah-darah terluka dan marah dalam duel yang tidak fair dengan seorang matador berpedang panjang. Asap rokok tebal memenuhi ruangan; baunya membuat kepalaku pening dan aku batuk-batuk ketika berusaha menghindarinya.

Semakin tinggi matahari, semakin bertambah penghuni lokap mahkamah hingga akhirnya benar-benar padat. Sebagian besar pesakitan terpaksa berdiri tegak. Sementara itu, beberapa orang tahanan sibuk membuat modul tembakau untuk kelak diselundupkan ke dalam penjara. Tembakau dan obat-obatan terlarang diselundupkan ke dalam penjara lewat perut. Di dekat lapak toilet, seorang tahanan nyaris mati lemas meregang nyawa; bak pipit terkelolong jagung. Tahanan malang tersebut keselaktersedak – ketika berusaha menguntal sebuah modul tembakau seukuran jempol kaki; terlalu besar untuk tenggorokannya. Tembakau selundupan itu sendiri mereka dapat dari sipir lokap Mahkamah. Tembakau telah memberi seorang sipir berpangkat kopral mengeduk keuntungan dari banyak tahanan. Sipir Mahkamah PJ tahu betul bahwa, dalam bisnis tembakau dan obat-obatan terlarang, tahanan adalah pasar abadi yang terlalu naif untuk diabaikan. Pangsa pasar seutuhnya berada dalam genggaman monopoli sipir. Dan karena tahanan tidak punya kekuatan apa pun untuk mempengaruhi harga, maka sipir dengan keleluasaan yang mereka miliki mampu melepas setiap item barang yang mereka jual dengan harga mencekik. Bertambah pula, keuntungan berlipat yang diperoleh dari transaksi jual-beli di lokap Mahkamah sepenuhnya tax-free atawa bebas dari kewajiban membayar pajak.

Lima orang berwajah TKI serempak membuka baju dan kaos yang tengah mereka kenakan. Seorang lelaki lain mengeluarkan kaos tipis sebagai ganti. Semula kupikir mereka adalah teman-teman satu kasus yang membekali diri dengan pakaian ganti. Ternyata itu merupakan salah satu bentuk perampokan yang berlangsung dalam lokap Mahkamah Petaling Jaya, Selangor Darul Ehsan. Setelah itu, komplotan penyamun terus melakukan penggeledahan untuk merampas apa pun yang masih punya harga.

Akhirnya giliranku tiba juga. Seorang tahanan merampas kaus tebal lengan panjang warna coklat kumal yang kukenakan dan menggantikannya dengan sebuah t-shirt putih garis-garis hitam murahan tapi masih baru dan relatif bersih. Walau yang mereka rampas merupakan pakaian terbaik yang kukenakan, aku senang saja dengan pertukaran tersebut karena baju kausku telah sangat dekil berdaki. Namun, sampai maut menjemput, takkan pernah kulupa tampang bangsat biadab berkudis yang coba merampas dan menggeledahku dengan cara memasukkan tangannya ke dalam celana dalamku; lalim dan tak berbudi. Sesungguhnya hal yang satu ini tak patut kuceritakan. Dalam kabut masalah dan ketidakpastian, tak dapat aku mengatakan, “No way! Langkahi dulu mayatku!” ketika ia memaksaku membuka celana. Dengan badan sedikit membungkuk kulepas risluitingku, kuperosotkan celana setakat paha, dan kubiarkan lelaki laknat yang di mukanya tumbuh penuh jerawat batu itu mengobok-obok sempakku; mencari-cari sesuatu barang berharga yang dia kira kurondokkan di kawasan pribadi paling vital itu. Penggeledahan berlangsung tak sampai satu menit dan ia tidak menemukan apa-apa dari dalam celana dalamku. Tetapi dalam hati dendam amarahku menyala karena diri merasa sangat terhina. Jahanam pendosa itu telah menginjak-injak harga diriku. Penyesalanku, aku alpa menjaga martabat – sebuah wilayah yang seharusnya kupertahankan dengan taruhan nyawa hingga hembusan nafas yang penghabisan.

Melawan atau mengadu kepada cikgu? It would be like lighting a match in a room filled with barrels of gasoline. Dengan berat hati, terpaksa kupasung amarah untuk memberontak melakukan perlawanan. Untuk pengalaman yang satu ini, dendam kesumat bersemayam; tak mudah dan tak mungkin padam. Balas dendam suatu saat pasti menjelang; tak terelakkan. Suatu saat nanti, keparat itu harus membayar lebih untuk sakit yang kurasakan saat ini. Tiada maaf bagimu, hatiku mengumpat. Gatal rasanya tangan ini hendak menjajal kemampuan seni tarung perisai diri yang pernah kupelajari secara mandiri dan semula jadi. Meski darah mendidih dan emosi sudah sampai ke ubun-ubun, kukubur nafsu amarahku dalam-dalam. Aku mesti rasional, amarah meledak-ledak tidak akan memberi buah manis untukku. Tak mau aku cari perkara baru.

Beberapa waktu berselang, orang yang sama hendak merampas kacamata Dio, tetapi tak jadi; karena Dio tak mampu melihat normal tanpa spѐk. Sandal Dio juga dirampas oleh komplotannya dan ditukar dengan yang jauh lebih buruk. Sementara jaket tipis yang dikenakannya dirampas begitu saja tanpa mendapat pengganti. Jaket Arman lain lagi riwayatnya; seorang tahanan gaek – mukanya keriput – mengambilnya paksa di pagi hari untuk kemudian dikembalikan ketika semua orang tutupan telah bersiap-siap hendak diberangkatkan ke penjara petang hari. Beruntung kami, barang-barang berharga milik kami tidak ikut terbawa serta karena masih tertinggal di Balai Polis Puchong; sehingga semuanya terselamatkan sampai kelak kami keluar dari penjara Sungai Buloh.

Perampokan atas sesama adalah fakta permanen di lokap Mahkamah Sesyen Petaling Jaya. Ketika merampas baju, misalnya, komplotan penyamun telah mempersiapkan diri. Mereka membawa sekantong plastik besar kaos tipis kodian yang tentu pula murahan. Pasti mereka punya perhitungan. Tiadalah mereka dapat merampas baju maupun celana tanpa mengganti. Karena, jika saja ada seseorang tahanan bertelanjang dada atau paha ketika naik mahkamah maupun ketika naik truk tahanan yang akan membawa ke penjara, tentu itu akan memicu masalah bagi mereka sendiri. Hanya saja ada sesuatu perkara yang tidak sampai ilmuku untuk memahaminya secara jernih; yaitu cara komplotan penyamun mendapatkan kaos kodian yang masih baru. Aku terpaksa berburuk sangka bahwa mereka menjalin kerjasama dengan sipir Mahkamah; karena untuk dapat bertemu muka dan berinteraksi langsung dengan saksi maupun kerabat dan keluarga yang berusaha menjenguk adalah sesuatu yang mustahil dapat berlangsung tanpa bantuan sipir. Profesi sipir tampaknya telah menjanjikan limpahan kemakmuran materi dari fungsinya sebagai pemegang hak monopoli untuk memasok beberapa kebutuhan pokok dan utama para tahanan yang tidak diakomodasi secara legal oleh lembaga peradilan.

Membaca peluang bisnis yang bermanfaat baginya, sipir penjaga lokap Mahkamah PJ ikut bermain dalam penyelundupan tembakau ke penjara. Sipir lokap mahkamah menjual tembakau kepada tahanan. Tahanan menyelundupkannya ke penjara. Di sini terjadi tarik ulur persinggungan antara kebutuhan perut dan tegaknya kedaulatan undang-undang kerajaan. Sipir juga terkesan picing mata terhadap aksi perampasan oleh sesama tahanan.

Ternyata perampokan dan aktivitas pasar gelap tembakau dan obat-obatan terlarang di lokap Mahkamah PJ dan mahkamah-mahkamah lainnya telah menjadi realitas sehari-sehari; realitas mana berada di luar perhatian manajemen mahkamah dan penjara terutama karena sejauh ini mereka anggap belum menimbulkan problematika yang cukup berarti bagi mereka. Begitu maraknya aksi perampokan oleh dan atas sesama tahanan mengantarkanku pada sebuah praduga bahwa Mahkamah PJ telah lengah sehingga terjadi kejahatan kemanusiaan yang memalukan di lingkungannya. Kejahatan dalam alam tutupan itu seakan tumbuh berkembang dengan kebebasan absolut.

Pagi itu, kulihat seseorang bebas keluar masuk lokap mahkamah. Lelaki itu – yang disapa “Boss” oleh sejumlah tahanan – membawakan pesanan nasi bungkus lengkap dengan lauk pauk berikut bertepek-tepek tembakau di dalamnya. Aku sendiri tak faham dengan status yang disandang oleh lelaki misterius itu. Andai dia bukan orang tahanan, mengapa begitu ringan kakinya melangkah masuk ke dalam lokap. Sebaliknya, seandainya dia orang tahanan, mengapa begitu mudah dia keluar lokap tanpa pengawalan dan tiada pula gari di tangannya. Tak ada yang menghalangi jalannya. Sipirkah dia? Tidak mungkin. Lalu siapa? Jangan-jangan dia komandan para samun dalam lokap mahkamah. Akan tetapi, mengapa pula ia berperilaku ramah kepada sesiapa pun juga? Jangan-jangan ia sebagai makhluk bak pepatah: seperti lebah, mulut mengangkut madu, pantat mengangkat sengat. Entahlah. Sesuatu memang tidak selalu seperti yang terlihat di permukaan. Di sini, terlalu banyak misteri yang tak terurai secara serba akal semata.

Ketiadaan CCTV dalam lokap Mahkamah PJ memudahkan aksi-aksi perampasan serta penyelundupan tembakau dan obat-obatan terlarang ke penjara. Walaupun melihat, mendengar, merasakan bahkan mengalami sendiri sesuatu yang tidak pada tempatnya, banduan lain memilih untuk tidak mengatakannya kepada sesiapa pun jua. Campur tangan itu beresiko. Sepanjang tidak menyangkut diri pribadi, mind you, it’s none of my business.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar