Selasa, 31 Maret 2009

Limau Masak Sebelah, Perahu Karam Sekerat

Limau Masak Sebelah, Perahu Karam Sekerat

Mengendus adanya keganjilan, penyidik menyinggung tidak adanya warga Malaysia yang tertangkap basah ketika polisi melakukan penggerebekan. Kecurigaan setajam itu tentu tidak keliru ketika jalan pikiran seseorang masih bergalang rasio. Five of us were victims of selective prosecution due merely to ethnicity and/or nationality. Sesungguhnyalah, pikirku waktu itu, saat ini merupakan saat yang tepat untuk membuka tabir bahwasanya empat polisi kleptokrat telah berlaku culas mengurangi sukatan. Jalan terbaik untuk menunjukkannya adalah dengan mengambil setiap kesempatan untuk mengatakannya secara gamblang. Aku mau bilang jika yang mereka sergap jumlahnya bukan lima, tetapi empat. Empat pasang maksudku; empat laki-laki dan empat perempuan. Hampir separo mereka lepas. Lagi-lagi aku marah. Rasa marah yang luar biasa telah merayapi segenap pembuluh darah dan mengaduk-aduk isi perutku; membuatku mual tiada ampun. Mau kumuntahkan rasa muakku di depan penyidik terhadap perlakuan diskriminatif yang kami – orang-orang Indonesia – terima waktu itu. Aku berniat memberai-beraikan fakta tentang empat polisi korup yang melepaskan tiga pekerja. Tapi aku sangsi.

Polisi telah melepas semua Warga Malaysia tadi malam adalah kalimat yang seharusnya mengalir lancar dari mulutku. Tapi hasrat hati itu hanya sampai di ujung lidah. Lagi-lagi karena aku menghitung untung, bibirku terkunci sehingga tak dapat menyuarakan isi hati. Pertimbangan-pertimbangan yang realistis telah mencancangku untuk tidak mengungkapkan peristiwa yang sesungguhnya berlangsung malam sebelumnya. Pertimbangan-pertimbangan tersebut justru menyasar kemungkinan-kemungkinan logis dan sekaligus tak-logis dari situasi yang kami hadapi. Yang kutakutkan adalah bahwa walau berbicara sampai mulut berbusa sekalipun, tidak ada jaminan suaraku akan didengar. Sekali lagi, batinku harus berjuang keras untuk tidak gegabah; tidak salah dalam menimbang. Bila peluang untuk mendapatkan perlakuan adil itu tipis, buat apa aku teriak-teriak mohon perhatian. Meski kebebasan kami terenggut, sekali-kali aku tidak boleh mengutarakan keinginan yang menurut kalkulasiku waktu itu tak akan terpenuhi.

Tidak semua orang meyakini kearifan hukum manusia yang tidak berat sebelah. Boleh jadi, pikirku, keempat polisi tadi malam telah mendefinisikan diri mereka sebagai nasionalis sejati yang – dengan kewenangan melekat – berusaha seoptimal mungkin menekan paparan angka kejahatan yang dilakukan oleh Warga Malaysia. Mereka tak ingin bilangan mereka yang sampai ke meja mahkamah negeri Tan Sri Dato Musa Hitam itu menjadi terlalu tinggi. Statistik kriminal oleh warga negara yang rendah dalam catatan mahkamah adalah target pencapaian yang tak dapat ditawar-tawar. Itu merupakan ruang kehormatan yang mesti mereka jaga. Nah, jika segenap jajaran pertubuhan penegak keadilan di negara ini berpikir dan bertabiat kompak sebagai kaum chauvinist dengan kewajiban suci serupa itu, tentu masing-masing mereka mengantongi semacam license to single out – otorisasi untuk memilah – mangsa tangkapan; yang mereka bidik hanya orang asing. Menumpas hanya warga asing bermasalah – sebagai persona non-grata – adalah produk unggulan mereka dengan label jaminan mutu. Apa boleh dikata, foreigners are the losers. Alamat celakalah bagi kami kaum musafir. Penahanan hanya orang Indonesia oleh aparat intelijen Balai Polis Puchong atas komando telepon, misalnya, jelas dan terang benar bukan sebuah tindakan acak tanpa sengaja. It was not by accident. It was by design. Itu adalah wujud dari karakteristik kelembagaan terpola dari struktur kekuasaan yang lebih luas.

Tiba-tiba, bak kena radiasi, pita suara dalam piranti lisanku bergetar dan berpendar. “Andai polisi datang lebih awal, pasti Warga Kerajaan Malaysia pun tertangkap,” kataku menipu. Seakan mengamini gejolak hatiku, kalimat palsu itu bergaung begitu saja dalam gelombang medan ambang sadarku. Sekali lagi, beruntunglah polisi Balai Polis Puchong yang telah menangkap kami; karena informasi tentang keculasan mereka tidak bocor tertumpah dari mulutku. Memang ada kalanya keberuntungan menyertai orang-orang tertentu; terlepas dari apa pun yang mereka perbuat. Sejauh ini rahasia itu masih tersimpan rapih di hati kami yang telah koyak-moyak. Tapi ketahuilah bahwa ketaatan adalah perkara hati. Kesetiaan tidak dapat dipaksakan. Paksaan dan tekanan selalu mendapat tentangan dan perlawanan dalam berbagai bentuk. Untuk aku pedomani, biar lambat laga asal jaya. Terkadang aku harus kalah dalam beberapa pertempuran kecil sebelum memenangi sebuah perang besar.

Tiada pernah aku mengumbar janji bahwa rahasia tetap sebagai rahasia yang akan kujaga sampai mati. Tidaklah mereka akan menjadi pemujur abadi. Dengan kata lain, melintah tidak akan jadi bisnis mereka sepanjang waktu dan keberuntungan mereka bukan keberuntungan tanpa ujung. Tak selamanya mereka boleh seronok tertawa-tawa cekikikan dan berfoya-foya melendir di kelab suhian. Hanya masalah waktu kapan keberuntungan itu akan berujung buntung. Bisa hari ini, esok, atau lusa. Only time would tell when. Asal Ki Sanak tahu, tiada terempang peluru oleh lalang. Bila telah sampai hisabnya, sang waktu tak akan pernah mau menunggu.

“Berapa orang yang bekerja di sana?” Sebuah pertanyaan baru; pertanyaan yang tidak terkuak selama pemeriksaan bersama tadi.

Walau itu bukan sebuah pertanyaan inti, tapi aku tak boleh sembarangan dalam menanggapinya. Maka kubuatlah keputusan cepat untuk mengikuti naluriku, menyuguhkan sebuah jawaban mengambang, “Saya tak tahu pasti. Kemungkinan duabelas pekerja.”

“Pernah lihat ada tamu yang datang?”

“Ada,” sumir aku menjawab.

Dalam pemeriksaan yang mengambil bentuk wawancara face-to-face itu, kuperhatikan lebih banyak waktu penyidik didedikasikannya untuk menyalin tangan kalimat-kalimat yang terucap dariku.

“Siapa?” kembali penyidik bertanya kepadaku tentang siapa-siapa saja yang pernah ringan kaki mampir ke tempat kerja kami.

“Saya tak tahu.”

“Cina? India? Melayu?” kejarnya lebih spesifik.

“Cina,” aku menjawab. Sebagian besar tamu yang sempat singgah ke tempat kami rata-rata berwajah Cina. Sekali waktu kulihat ada seorang pria cemani sehitam – dan dengan sorot mata setajam – macan kumbang bertampang penduduk anak-benua Asia Selatan; dan di waktu lain seorang Amerika dari ras Arya Eropa. Kecuali teknisi dari perusahaan air conditioning dan dua orang gadis ayu berjilbab pegawai sebuah badan pemeriksa cukai negara, seingatku tak pernah ada paras Melayu datang bertamu.

“Berapa orang tamu yang selalu datang?”

“Saya tak tahu.”

“Ingat wajah mereka?”

“Saya tak ingat. Saya hanya pandang sesaat. Lagipula sulit bagi saya membedakan mereka. Semuanya mirip. Kulit putih kuning; mata sipit,” kataku; berlagak pilon. Sampai titik ini, sepertinya penyidik kehabisan bekal untuk bertanya.

“Ada permohonan yang hendak diajukan?” bertanya penyidik kepadaku, menandai akhir pemeriksaan. Tumben, ada penyidik yang mau membuka diri menjadi tempat seorang tersangka mencurahkan isi hati. Elok sekali budi penyidik ini. Setahuku sesuatu pertanyaan berlirik serupa pada umumnya diajukan hanya kepada terpidana mati yang hendak dieksekusi; narapidana yang tengah berkemas-kemas hendak berangkat menuju neraka. Sehingga bagiku, uluran tangannya bermakna lebih sebagai kebaikan yang salah alamat.

Walau begitu, biar kata aku tak suka, aku tetap meresponnya, “Tidak ada …. …. …. Maaf, maksudnya?”

“Permintaan apa saja.”

“Misalnya?” tanyaku penasaran karena masih belum seratus persen mengerti. Jika kubilang permintaanku aku mau bebas, tentu ia akan kerepotan menahan tawa.

“Perempuan tadi ingin pulang ke Indonesia,” berkata penyidik kepadaku tentang hasrat Listia yang ingin pulang kampung ke Lampung.

Terinspirasi oleh keterangannya tentang niat Listia, aku pun menjawab senada, “Saya juga demikian. Saya ingin pulang jika kasus ini tuntas. Deportasi pun tak masalah. Tapi, tentu saja, saya ingin pulang baik-baik.”

Juga kusampaikan padanya uneg-uneg tentang tidak adanya tempat untuk beribadah di lokap Balai Polis Puchong; selain tempat yang sesak dan kotor juga tidak diperkenankannya tahanan membawa pakaian atas ke dalam lokap. Hanya saja untuk yang terakhir ini, yakni, sembahyang di lokap, kerangkanya adalah off-the-record. Pssst, rahasia kita berdua. Jangan bilang kepada sesiapapun jua. Kecenderungan selalu dapat dibaca sesuai dengan perkembangan jamannya. Wanprestasi adalah trend masa kini. Sebagaimana polisi yang telah ingkar janji, sebagaimana aku yang tak pernah berjanji untuk tidak membocorkan rahasia, demikian juga aku tak mau mengandalkan janji penyidik yang katanya mau menyimpan rahasia itu untuk dirinya sendiri.

Usai pemeriksaan, aku diminta menandatangani berkas ikhtisar pemeriksaan yang ditulis tangan penyidik. Banyaknya tiga lembar. Meski demikian, dia juga memberi opsi padaku untuk membacanya terlebih dahulu. Aku terima tawaran itu karena berkas perkara yang menyangkut nasibku memang perlu aku baca untuk dengan sungguh-sungguh aku pahami. Kubacalah itu. Kuajukan pertanyaan seputar seringnya kata “Cina” tertera pada lembar pemeriksaan. Kusampaikan padanya jika di Indonesia hal seperti itu dianggap SARA (rasis). Di Indonesia, tidak ada orang atau pihak yang secara sadar mau menyinggung perkara serupa jika tidak ingin tersandung masalah. Setelah tercenung sejenak, penyidik bilang OK. Tak ada masalah. Kupikir juga, di AS, sebagaimana sering kutonton dalam film-film Hollywood bergalur crime scene investigations, identifikasi berdasar ras dan warna kulit – seperti White, Black, Hispanic, Semite, Asia, Caucasian – lazim diterapkan. Tak sungkan mereka mengumumkannya secara terang-terangan.

“Sudah benar yang saya tulis, bukan?” tegasnya dengan question tag. “Saya tidak menipu,” imbuhnya pula.

“OK,” jawabku enteng; tanpa ekspresi. Akhirul kalam, kuteken. No problema. Usai sudah acara pemeriksaan individual terhadap diriku.

Ketika aku kembali ke ruang periksa utama, kulihat Listia telah ada. Kami ngobrol ngalor-ngidul terutama tentang butir-butir pemeriksaan. Ternyata pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan kepadaku juga sama persis dengan yang disodorkan kepadanya. Ketika itu Listia bercerita, “Aku ditanya, ‘Tahukah Anda mengapa Polis menangkap Anda?’ Takjawab, ‘Tak tahu.’ Orang itu tanya lagi, ‘Mengapa tak tahu?’ Kujawab, ‘Jelas dong saya tidak tahu. Saya bekerja baik-baik, permit saya punya, saya tidak mencuri, saya tidak menyamun,’” menerangkan Listia kepadaku mengenai satu butir pertanyaan dari penyidik yang sangat membekas dalam memorinya. Berikutnya muncul Arman; kemudian datang Ali. Sedangkan Dio tak muncul-muncul. Pemeriksaan terhadapnya memakan waktu paling lama. Akhirnya Dio muncul juga ketika hari telah petang; menandai berakhirnya pemeriksaan hari itu terhadap kami berlima. Setelah semua berkumpul, kembali gari di gelang tangan kami kenakan.

Rupanya ada seorang petugas yang masih ingat tadi aku sudah kebelet ingin buang air. Mangkanya, sebelum meninggalkan gedung KPDN kami diantar ke toilet. Dengan sebelah tangan terborgol, Dio dan aku menguyuh di dua unit urinals yang berbeda sebelah-menyebelah secara bebarengan; tangan kananku dan tangan kiri Dio diborgol berpautan. Phuhhh, plong rasanya setelah berjam-jam kebat-kebit menahan linu di seputar wilayah kunci paha. Berpasangan, Arman dan Ali melepas hajat serupa dengan cara serupa pula di tempat kencing berdiri serupa yang menempel pada tembok di belakang kami dalam kamar yang sama dengan yang Dio dan aku kencingi. Sedangkan Listia tak turut serta; ia bersama para penjaga menunggu di luar toilet. Selanjutnya, kami yang lelaki diantar kembali ke Balai Polis Puchong. Sedangkan Listia, satu-satunya perempuan, dikirim balik ke Balai Polis Subang.

Ketika kami baru saja masuk balai polis dan belum masuk lokap, seorang penyidik menyampaikan berita yang tidak terlalu menyenangkan.

“Tidak ada yang mau menjamin kalian,” kata seorang dari mereka.

“Berarti kami tidak bisa bebas?” aku bertanya.

“Tidak.”

“Banyak perangkat komputer yang disita. Itu kan bisa dijual dan hasilnya dapat digunakan untuk menebus kami,” usulku.

Tampaknya para penyidik KPDN tidak pernah menduga pernyataan menohok seperti itu. Setelah beberapa saat, “Boleh, tetapi butuh waktu lama,” salah seorang memberi tanggapan sekenanya. Jawapan yang salah! Karena, jaminan – bail bukan semata masalah uang; tetapi juga orang yang mau menjamin. Calon penjamin – guarantor – harus berkewarganegaraan Malaysia. Kecuali dia sendiri yang bersedia untuk jadi penjamin, pikirku.

“Jika sampai tanggal empat haribulan tidak ada yang mau menjamin kalian,” tambahnya pula, “kalian akan dipindahkan ke penjara.”

“Penjara mana?” bertanya Ali.

“Penjara Sungai Buloh,” menjawab penyidik.

“Sungai Bambu,” aku menimpali, untuk sekedar mengurangi tekanan yang membebani hati.

“Ya, Sungai Bambu,” menjawab penyidik sembari tersenyum.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar