Selasa, 31 Maret 2009

Abu, Payung, Muster

Abu, Payung, Muster

Duduk bersila dengan sebagian punggung bersandar di dinding. Kertas majalah disobek seukuran 3.5 X 28 cm; dilipat dua memanjang seperti talang atau helai daun lalang. Tembakau ditabur tipis memanjang di atas lantai; dijimpit-jimpit. Talang kertas ditelungkupkan pada tembakau; ditekan dengan dua jari telunjuk dan dua ibu jari; dibalik, sehingga tembakau berada di atas kertas. Dengan ibu jari dan telunjuk, remah tembakau yang tak terangkat dan masih tersisa di lantai dipungut dan diletakkan ke atas kertas menyertai bagian lainnya yang telah terlebih dahulu ada. Ilmu meracik sepertinya tidak berguna; karena memang tidak ada racikan.

Dengan hati-hati dan penuh perasaan, tembakau beralas kertas dilinting mengerucut – seperti terompet janur – dari ujung ke ujung; balutan makin ke pangkal makin mengecil. Perlahan kedua ujung balutan direntang, sambil terus dipilin sampai tercipta balutan bentuk silinder bulat panjang dengan keliling balutan sekira 1.5 cm dan panjang mencapai 20 cm; super light dan extra long. Sentuhan akhir menjadikan balutan menjadi sebesar dan sepanjang jerami batang padi siap panen. Dan tembakau kini siap untuk disulut dan dinikmati bersama.

Tidak ada korek api. Yang tersedia hanya kepala lighter berbentuk gurinda dan batu pemantik belaka. Satu orang mempersiapkan sumbu – serabut benang yang dicabut dari kain buruk. Dibutuhkan paling tidak tiga orang bekerja secara bersamaan untuk memulai isap abu – istilah untuk tembakau balutan di penjara. Siap-siap, seorang memantikkan api dan seorang lainnya menempelkan sumbu padanya. Dan ketika busur api memercik dan membakar sumbu, yang seorang lagi – pemeran utama – menyambutnya dengan aksi isap abu.

Berkumpul dalam formasi tapal kuda, sebagian berdiri, jongkok, dan duduk; tahanan santing – bergilir menghisap abu. Kongsi dan berbagi; sebalut tembakau diisap bergantian secara beramai-ramai. Yang sudah isap, undur diri. Asap tebal mengepul. Aroma? Bayangkan kretek Indonesia – Djie Sam Soe, Gudang Garam Surya, Djarum, Sigarilos, atau Taman Sriwedari. Tidak. Alih-alih cengkeh Zanzibar dan tembakau Deli, bau kertas terbakar menyengat penciuman. Apalagi kerap kuperhatikan perokok terakhir hanya menghisap pangkal lintingan kertas kosong yang telah basah terendam air ludah tanpa ada seberkas tembakau jua di dalamnya. Basah terendam air ludah? Ya, karena diisap secara bergantian dari mulut yang satu ke mulut lainnya. Bahkan, karena hasrat yang memuncak dan tak tertahankan, air liur itu telah meleleh terlebih dahulu sebelum lintingan tembakau menempel di bibir. Anak muda di zamanku bilang salome – satu lobang rame-rame. Rasa? Aku bukan perokok lagi. Aku tak dapat membayangkan rasa tembakau dengan aroma yang membakar tenggorokan perokok pasif sepertiku. Aku sudah lupa. Di sini aku merenung, tidak merokok adalah pilihan gaya hidup yang benar.

Petang-petang selepas makan, aku dan sejumlah banduan mengisi waktu hilir mudik gerak jalan dalam lokap. Dari jendela, satu orang kerja etnis Melayu – mugkin juga orang Indonesia – bertubuh kekar meneriakiku.

“Hey!”

Kuperlambat langkah; sekalian aku menoleh.

“Hey, ke sini!” katanya lagi menyeruku. Ia katakan itu dengan tangan melambai.

Sesaat kuhentikan langkah. Lalu kuhampiri dia.

“Kau Indon?”

“Ya,” jawabku bimbang.

“Minta bajumu.”

Aku diam. Tak bergeming. Apa pula kawan ini? pikirku. Sementara itu, kian bertambah pasang mata dengan pandangan penasaran mengamati kami. Namun sebaliknya, berkorelasi negatif dengan itu, kebisingan suara-suara percakapan kian surut reda kedengaran. Saat itu, pandangan dan perhatian lokap bertumpu pada kami berdua.

“Minta bajumu. Nanti diganti.” Kali ini nada suaranya sudah agak bersahabat.

“Tapi saya tak punya baju lagi,” jawabku.

Karena aku masih saja ragu-ragu, dia minta bantuan seorang etnis India penghuni lama untuk membujukku. “Berikan saja pada dia,” pinta rekan satu sel tersebut kepadaku. Akhirnya, meski tak faham untuk apa, kulepas dan kuberikan juga kaos tipis tersebut kepada orang kerja itu. Aku sendiri kini bertelanjang dada. Seseorang dalam lokap menghampiri dan membisikiku. Dia bilang kaosku mau dipakai untuk menyelundupkan tembakau antar sel atau antar blok. Dia bilang pasti ada imbalannya. Benar saja. Untuk peran tersebut, aku mendapat bagian sejumput tembakau. Kuberikan tembakau itu pada rekan-rekan perokok, karena kini aku bukan perokok. Aku berhenti merokok sejak belasan tahun terakhir, ketika putri sulungku masih duduk di bangku tadika; taman kanak-kanak. Aku juga mendapat pengganti; sebuah kaos belel berkerah warna oranye yang lebih tebal. Tentu lebih hangat dan lebih nyaman dipakai.

Karena tembakau merupakan barang langka yang sangat bernilai, maka tidak sedikit yang tidak kebagian. Mereka yang tidak mendapat bagian cukup tahu diri dan secara tertib balik badan meski dengan sorot mata dan desah kecewa. Namun ada juga yang ngotot dan merengek-rengek laksana bayi yang mau menetek; hidungnya kembang-kempis. Sementara itu, beberapa orang yang tidak turut menghisap, berjaga-jaga di belakang pintu dan jendela untuk melakukan perlindungan dengan sesekali meneriakkan kata “Payung!” bila terdapat tanda-tanda kedatangan sipir; ketukan-ketukan sol sepatu di lantai berfungsi sebagai panduan bagi banduan dalam mengendus kedatangan sipir. Solidaritas? Tidak selalu. Langkah tersebut adalah cermin dari upaya penyelamatan diri. Karena jika ada asap rokok mengepul, sipir akan masuk ke dalam lokap dan menanyakan asal-usulnya kepada sesiapa saja sesuka dia mau tanya. Dalam hal ini, tentu tak ada satu jua orang tutupan yang berani menunjuk hidung pelakunya secara terang-terangan. Dan jika pula tiada yang secara kesatria mau mengaku, maka hukuman lazim ditimpakan secara kolektif kepada seisi sel tahanan. Dengan kata lain, pelanggaran oleh satu atau segelintir banduan dapat berbuah hukuman bagi seisi lokap. Seekor berlumpur, semua berlabur. Laksana kebocoran yang diakibatkan oleh ulah seorang penumpang dapat berakibat pada karamnya sebuah kapal dan menewaskan seluruh muatan.

Seringnya kata “payung” kudengar membuatku berpikir keras untuk memahami makna yang sesungguhnya terkandung di dalamnya. Sebagai noun, secara harfiah payung berarti benda berbentuk parabola terbuat dari material ringan kedap air dengan sebuah tongkat penyangga di tengah yang biasanya melengkung di bagian bawah untuk memberi kemudahan pegangan bagi pengguna, dipakai telungkup untuk melindungi diri dari curah hujan atau sengatan terik matahari. Dalam beberapa beradaban, payung juga menjadi semacam simbol kebesaran sebagaimana tercermin dari penampilan payung berhias pada ritual perhelatan perkawinan dan penobatan kaisar. Dan payung adalah sebuah simbol penghormatan yang turut menaungi perjalanan jasad seorang anak Adam menuju tempat peristirahatan terakhir ketika ruhnya menghadap Sang Khalik.

Disamping itu, di sini, di penjara ini, payung juga berfungsi sebagai verb, adjective, dan adverb. Sebagai verb, payung berarti menolong atau membantu. Misalnya, bila ada seseorang banduan membagi-bagi barang atau makanan kepada banduan lain secara berlebihan, selalu saja ada yang menyentil, “Coba kau perhatikan orang itu. Semua orang mau dipayungnya. Nanti habis barang dia. Setelah habis, tak satu pun orang mau payung dia.” Agih-agih kungkang, terlampau murah hati sehingga menderita kesusahan sendiri.

Sebagai adjective, payung berarti hati-hati, waspada, atau berjaga-jaga. Contohnya, di saat sebagian banduan melakukan “pelanggaran” seperti merokok, dan pada waktu yang nyaris bersamaan sekonyong-konyong seorang sipir melintas; banduan lain yang mengetahui kedatangan sipir serta merta berteriak nyaring “Payung!” Seketika itu juga kepulan asap rokok dikibas-kibas agar buyar tidak mecolok mata, rokok dimatikan, dan kumpulan pun bubar.

Sebagai adverb, kosakata payung berarti tolong. Misalnya, pada waktu-waktu ketika seseorang atau beberapa banduan sedang bersembahyang. Di tengah hiruk-pikuk lokap, beberapa banduan lain berteriak “Hey, ada orang sembahyang! Suara … payung!” Maknanya “Tolonglah suara direndahkan.”

Yang juga menarik perhatianku adalah pelarangan payung untuk dibawa serta masuk ke penjara. Terdapat dua kemungkinan alasan pelarangannya. Pertama, rongga pipa penyangganya dapat digunakan untuk menyelendupkan barang-barang terlarang, termasuk tembakau dan dadah, ke dalam penjara. Kedua, gagang dan tongkat penyangga serta tulang bingkai payung biasanya terdiri dari logam keras, seperti besi dan aluminium. Logam keras dapat dijadikan senjata untuk melukai sesama tahanan, bahkan untuk menyerang, menyakiti, sekaligus membunuh sipir dan pegawai penjara lainnya. Serta, logam dapat dijadikan alat untuk membantu upaya pelarian diri banduan; misalnya dipakai untuk memotong jeruji atau menggangsir lantai.

Muster – apel hitungan kepala – adalah sebuah ritual yang dilakukan secara teratur empat sampai delapan kali sehari untuk memastikan:

1. akurasi jumlah tahanan (tiada tahanan kabur atau salah tempat);

2. tiada tahanan yang sakit parah atau terluka karena disiksa oleh sesama. Untuk membuktikannya, pada setiap muster pagi, tahanan diwajibkan membuka baju, duduk dan jongkok dengan kepala tegak. Jika melihat ada kepala menunduk atau terkulai, sipir dengan tongkatnya segera mendongakkannya; barangkali jika banduan sudah tak sanggup mengangkat kepalanya sendiri, sipir akan membawanya berobat. Atau juga kepala mendongak dan bertelanjang dada di pagi hari dimaksudkan untuk meyakinkan tidak adanya memar dan luka karena penyiksaan, baik oleh sipir maupun oleh sesama tahanan;

3. kecukupan catu makanan yang diberikan.

Untuk kemudahan kiraan, tahanan berbaris duduk/jongkok lima (atau sepuluh) rapih. Bila jajaran paling belakang tidak mencukupi bilangan lima (atau sepuluh), mereka diharuskan berdiri. Meski demikian, ada juga Tuan yang lebih suka jika semua banduan jongkok dan duduk; tidak terkecuali bilangan marjinal yang menyempal pada saf paling belakang.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar