Selasa, 31 Maret 2009

Cek Diabetes: Selasa 15, 22, dan 29 Mei 2007

Cek Diabetes: Selasa 15, 22, dan 29 Mei 2007

Pagi tanggal limabelas haribulan lima tahun duaribu tujuh; dari blok Ehsan, sekitar tigapuluh orang banduan – hampir duapuluh di antaranya adalah penghuni lokap Dewan-B – berjalan beriringan dua-dua menuju hospital penjara. Sama seperti prosedur pengamanan standar yang diberlakukan dalam penjara, pemeriksaan medis juga berada di bawah pengawasan ketat sipir. Banduan diperiksa per gelombang; satu gelombang pemeriksaan tidak boleh lebih dari tigapuluh orang; dan banduan diharuskan duduk dan jongkok teratur dalam barisan. Agar sipir tak lengah, setiap pintu ditulisi PINTU SELALU BERKUNCI di atasnya. Tembok timur ruang periksa ditempel dengan setidaknya dua keping whiteboard yang memuat data nama-nama pasien yang rawat-inap di blok hospital. Sedangkan tembok sisi barat ada pamflet bertuliskan PELANGGARAN RINGAN UNDANG-UNDANG PENJARA dan PELANGGARAN BERAT UNDANG-UNDANG PENJARA; memuat rincian perkara-perkara yang tidak boleh dilakukan oleh pengisi penjara.

Mengingat banyaknya pasien dan terbatasnya waktu, pemeriksaan medis dilakukan sesingkat mungkin dengan mengandalkan verbal exam; paramedis menanyakan keluhan pasien. Kuamati, yang dominan pada waktu itu adalah penderita batuk dan gatal-gatal pada sekujur tubuh. Pasien-pasien dengan keluhan gangguan kesehatan ringan langsung ditangani oleh paramedis seketika itu juga. Sementara itu, yang memerlukan perlakuan lanjutan dipisahkan dari barisan; membentuk barisan baru untuk kemudian diperiksa secara lebih teliti oleh dokter penjara dan dibuatkan rekam medisnya.

Untuk penderita dengan keluhan ringan seperti batuk misalnya, paramedis membagikan seperlima sampai seperempat sloki obat batuk hitam yang langsung diminum di tempat oleh pasien. Penderita demam mendapatkan vitamin dan paracetamol untuk tiga hari. Pasien yang menderita gatal-gatal ringan mendapat sejumput salep putih; diterima langsung dengan telapak tangan. Sedangkan penderita gatal-gatal parah di sekujur tubuh mendapat pembagian lebih banyak salep.

Pada tanggal limabelas haribulan lima, aku turut dalam antrian rawatan kesehatan untuk mengecek kadar gula darahku. Seperti biasa, aku juga harus mengikuti prosedur pemeriksaan verbal. Pertanyaan paramedis dan dokter tentu kujawab sebisaku. Lain ladang lain belalang. Menakar paras gula dalam darah pun dokter dan kader perawatan kesehatan Malaysia menggunakan alat ukur yang tidak sama seperti yang lazim dipakai oleh koleganya di Indonesia. Semua tergelak saat kubilang kadar gula darahku pernah mencapai 376. Aku harus memberi penjelasan singkat kepada dokter dan paramedis tentang keadaan kesehatanku dan pemeriksaan medis yang pernah kujalani. Kukatakan kepada mereka bahwa bilangan tersebut bukan hasil karanganku; aku mengetahuinya ketika diperiksa di Indonesia. Tiga ratus enam puluh tujuh sebelum dan tiga ratus tujuh puluh enam setelah perlakuan; naik sembilan poin setelah minum gula dan diperiksa ulang satu jam kemudian. Meski berpolemik dengan keterangan yang kuberikan, tak urung pemeriksaan tetap dilanjutkan. Dokter meminta seorang pembantunya untuk mengambil contoh darah dariku.

Seorang paramedis tercengang demi mendapatkan fakta bahwa mengambil sampel darahku ternyata jauh lebih sulit dari pengalamannya yang sudah-sudah dalam menangani pasien. Meski telah dilubangi dan dipijit keras-keras, ujung ruas jariku masih susah mengeluarkan contoh darah; hanya sebuah noktah merah terlihat pada bekas tusukan jarum. Bahkan sampai dua kali menusuk ujung jariku, paramedis tidak mendapatkan darah sejumlah yang ia inginkan. “Ini kalau dalam rupiah harga satunya adalah lima ribu,” berkata paramedis yang mengambil sampel darahku tentang harga satu set jarum pengetip ujung jari. Aku tahu dia bercanda; akan tetapi tetap saja aku merasakannya sebagai cemoohan terhadap rendahnya nilai rupiah Indonesia di matanya. Ya, limaribu rupiah kita senilai tidak lebih dari dua ringgit Malaysia. Kuteringat, waktu aku kecil dulu, orang-orang biasa bilang seringgit untuk dua setengah rupiah. Kini, empat puluh tahun kemudian, rasionya telah menjadi seribu kali lipat. Tengoklah, betapa kita gandrung berhitung dengan ukuran bilangan – ketimbang nilai – melembung super jumbo.

Pada tusukan ketiga dengan jarum ketiga, barulah ujung jariku memancarkan satu titik darah yang cukup untuk sekedar dapat digunakan mengecek kandungan glukosanya. Setelah itu darah ditempelkan pada alat pembaca kadar gula. Dokter bilang kadar glukosa darahku ok. Cuma agak tinggi. Tapi dia tidak bilang jika aku terindikasi kena atau tidak kena diabetes. Sayangnya waktu itu aku tak lihat – karena tidak diperlihatkan – seberapa tinggi kadarnya. Paramedis tidak memberitahuku; demikian pula halnya dokter yang bertugas memeriksaku tidak memberiku tahu tentang hal itu. Hanya saja dokter Melayu itu bilang kepadaku, untuk mengetahui bahwa seseorang menderita diabetes memerlukan tiga kali pemeriksaan. Berpedoman pada keterangan tersebut, aku ikut rawatan lagi tanggal 22 dan 29 hari bulan Mei (Karena jatah rawatan untuk penghuni Blok Ehsan adalah pada hari Selasa). Lantas ia memberiku resep untuk ditukarkan kepada dua orang apoteker yang berdiri di sebelah kanannya. Setelah resep kuserahkan, paramedis (apoteker) memberiku beberapa kaplet vitamin warna merah dan tablet paracetamol warna putih untuk dikonsumsi selama dua hari. Orang Malaysia umumnya menyebutnya sebagai Panadol.

22/5 Aku memeriksakan diri. Karena alat cek darah tidak ada di tempat, hari ini darahku tidak dicek. Dokter India yang bertugas hari itu memberiku pil kecil empat belas kaplet untuk dikonsumsi 2 X 1 selama tujuh hari ke depan.

29/5 Dicek, kadar gula darahku 4.2 dan Dokter Melayu bilang ok. Tak ada indikasi aku terkena penyakit diabetes yang menyeramkan itu. Betapa senang hatiku. Mungkin inilah satu-satunya berita gembira yang kuperoleh selama dalam tahanan. Namun rekan-rekan satu sel menuduh aku telah berdusta hanya sekedar untuk mendapatkan perlakuan istimewa di penjara. Terlebih “lurah” Dewan-B. Tiada henti dia merepet sepanjang koridor dari hospital sampai ke Blok Ehsan. Akan tetapi, banduan yang mendukungku pun tak kalah jumlah.

Akibatnya, nyaris pecah perseteruan antara Combat (rekan yang getol membelaku) di satu pihak dengan “lurah” di pihak lain. Bahkan Combat melihatnya dari kacamata sentimen religi. Emosinya tak gampang surut.

“Orang kapir memang tak suka sama orang Muslim yang sembahyang,” katanya geram. Kukatakan padanya bahwa perkara ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan issue agama. Kubujuk dia agar kemarahannya tidak meledak-ledak.

“Uwak duduk saja di sini. Jangan naik bilik,” berkata Combat kepadaku, memintaku untuk membangkang; membangkang tanpa sepengetahuan sipir tentunya.

“Tak apa-apa. Saya sudah tak ada sakit. Saya musti naik bilik.”

“Jangan, Wak. Kalau naik bilik, Uwak akan payah lagi. Di sana Uwak akan dianggap sebagai orang baru dan banyak kerja. Lagipula, sebentar lagi Uwak kan naik mahkamah. Saya yakin Uwak akan bebas.”

Khairul, salah seorang anggota klan Melayu yang juga bersimpati kepadaku, menghampiri Kancil. “Bilang sama orang itu, biarkan Uwak duduk di sini. Kerana, jika Uwak naik bilik, tak akan ada imam sembahyang di sini,” demikian saran Khairul kepada Kancil.

Kancil adalah seorang banduan yang diserahi tugas sebagai penanggung jawab kebersihan dan ketertiban lokap Dewan-B. Dan “petisi” tersebut disampaikan oleh Kancil kepada “Lurah”. Atas perjuangan Combat, Khairul, dan Kancil, aku diperkenankan – bahkan diminta – untuk tinggal lebih lama di lokap Dewan-B sampai usai masa tahananku. Malahan, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diharapkan, disusunlah sebuah skenario penyelamatan. Adalah lurah sendiri yang menyusun skenario tanya-jawab antara Tuan dan aku.

“Nanti kalau Tuan tanya,’Apa sakit?’ Jawab, ‘Sudah tak ada sakit.’ Dan bila Tuan tanya lagi ‘Tak ada sakit. Mengapa masih di Dewan-B, tidak naik bilik?’ Jawab saja, ‘Waktu saya mau naik bilik, Tuan bilang tunggu, maka saya tunggu. Lagipula, dalam dua tiga hari ini saya akan naik mahkamah. Jadi saya pikir, nanti saja sepulang saya dari mahkamah, saya akan naik bilik.’”

Demikian skenario sesi tanya-jawab yang disarankan oleh “lurah” kepadaku seandainya sipir melakukan inspeksi pembersihan orang-orang sehat dari Dewan-B. Dia jabarkan skenario itu sampai empat kali agar aku tidak lupa. Secara berkala namun dalam interval yang tidak ditentukan dan tak pula dapat ditebak, jajaran pengelola penjara – dibantu oleh orang kerja – melakukan operasi pembersihan. Terakhir, razia serupa dilakukan pagi hari tanggal 24 Mei 2007. Namun, sampai habis waktuku di Sungai Buloh, tak ada lagi operasi penertiban orang-orang sehat yang dilakukan di Dewan-B.

Sebetulnya, sepulang rawatan medis aku bersiap-siap untuk naik bilik. Sementara menunggu sipir membukakan pintu lokap, aku shalat dzuhur karena waktunya sudah masuk. Di sini, di penjara Sungai Buloh, waktu sipir sangatlah berharga. Segala sesuatu yang melibatkan waktu sipir harus dilakukan segera dan secepat mungkin. Tak ada toleransi untuk mengulur waktu. Dan ketika aku sedang bersembahyang itulah, pintu lokap dibuka agar tahanan-tahanan yang telah sembuh dari sakit segera naik bilik; kembali ke biliknya semula. Sehingga tak sempat pula aku naik bilik saat itu.

Berselang dua jam, Tuan etnis Cina membuka pintu lokap Dewan-B untuk sesuatu keperluan. Aku bergegas keluar, tapi Tuan mencegatku.

“Mau kemana?” bertanya Tuan kepadaku.

“Naik bilik, Tuan. Bilik Sebelas,” aku menjawab dengan jantung berdebar.

“Nanti saja. Tunggu.”

Penjara punya aturan: Tuan adalah pawang. TitahTuan sabda bertuah. Pada mata angin mana pun jari Tuan menunjuk, ke arah sana setiap tahanan harus bertiup. Karena norma lembaga tak boleh dipertanyakan, maka tak jadi aku pindah ke sel nomor sebelas yang terletak di sayap timur Blok Ehsan.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar