Selasa, 31 Maret 2009

Lembur Menumpur Umur

Lembur Menumpur Umur

Walau mungkin tidak disengaja, keluhan Ali menyadarkan kami tentang betapa berat pekerjaan dan tanggungjawab yang mesti kami pikul. Ali, yang loyalitasnya terhadap perusahaan tidak diragukan dan yang mudah patuh pada apapun perintah atasan, kini – di depan para penyidik – goyah; mempertanyakan kesetiaan perusahaan terhadap pegawai; menuntut perlakuan yang lebih adil.

Disamping jam kerja berjangka masa panjang, bekerja pada sebuah perusahaan IT tipikal sangat time-sensitive. Semua pekerjaan harus selesai pada saat atau sebelum tenggat. Supervisor senantiasa komat-kamit menjampi mantra “speed” bilamana target kerja tidak terpenuhi. Peringatan keras agar kami bekerja lebih gesit dan cepat seperti itu mengingatkanku pada sebuah tayangan the National Geographic© tentang ucapan Speedo! yang kerap diteriakkan oleh bala tentara Jepang dengan bayonet terhunus memandori tentara sekutu tawanan perang selaku romusha sewaktu bekerja membangun jaringan rel kereta api di kawasan Burma semasa Perang Dunia Kedua.

Padahal, tidak tercapainya target atau tidak lancarnya proses produksi seringkali bukan merupakan akibat dari kelambanan kami dalam bekerja. Biang keladi molornya waktu penyelesaian tugas adalah software dan source; dua variabel yang memainkan peran kunci pada pekerjaan IT. Lagipula, target pekerjaan terlalu tinggi. Persoalannya, tiada sesuatu bagian kegiatan yang boleh tercecer atau terbengkalai; dan tidak ada ruang untuk kami dapat menggeser persyaratan kualitatif produk. Malahan, sebagai perusahaan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, tim quality control terus-menerus berusaha mencapai kesempurnaan. Sehingga, meski jungkir balik kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala, seseorang pekerja tidak mungkin dapat mencapai target dengan jam kerja normal. Nota bene, pekerjaan tak akan pernah rampung. Selihai apapun, selalu saja aku keboler. Belum lagi, deliniasi tugas pokok dan tugas-tugas penunjang yang tidak jelas selalu membuat otak – yang tidak pernah mau mengerti tentang rentang toleransi keuletan dan keluwesannya sendiri –ngoyo berpikir tanpa rehat. Kerja otak diforsir di hampir seluruh waktu adalah bukti bentuk subordinasi ekstrim kepentingan pribadi terhadap kepentingan perusahaan.

Lain dari itu, lepas pukul sebelas malam perangkat komputer tidak segera kami matikan. Sementara kami berjuang untuk dapat sedikit beristirahat dengan tenang, piranti elektronik pintar berkecepatan tinggi dan patuh sepenuh waktu tersebut masih harus kami buat sibuk terjaga memproses pekerjaan-pekerjaan tertentu secara simultan hingga pukul enam pagi ketika subuh terlewati. Penugasan seperti itu lazim kami lakukan untuk mengejar tenggat target teristimewa ketika pesanan kerja menumpuk, karena tak boleh ada kata “nanti” dalam penuntasan materi garapan. Kesibukan pikiran yang berselirat tentang pekerjaan around the clock (ditambah kekhawatiran yang terus-menerus menghantui tentang kemungkinan terjangkit insomnia) sekali masa membuatku merasa seakan kepala mau pecah. Supaya enggak kerinan (bangun kesiangan) untuk shalat Shubuh, aku rutin menyetel alarm clock pada ponselku. Oleh sebab berharganya waktu tidur, rata-rata kami – pegawai Indonesia – mengatur waktu bangun lewat peringatan beker telepon seluler jam setengah sembilan (pukul delapan setengah menurut logat Malaysia) agar tidak telat untuk mulai menjamah pekerjaan pada pukul sembilan.

Jika waktu makan dan shalat dengan tempo sekejap dianggap immaterial (tidak diperhitungan sebagai variabel pengurang), kami bekerja selama setidaknya empatbelas jam sehari; dan pada setiap komputer pekerjaan terdistribusi secara merata selama duapuluh jam setiap harinya. Dalam pada itu, bank data – yang kami sebut Terrabase – dikembangkan. Tujuannya adalah untuk memangkas duplikasi pekerjaan sehingga diharapkan dapat menggenjot produktivitas pekerja secara signifikan. Dua unit Terrabase dengan kapasitas masing-masing di atas 1024 gigabyte dan accessible to all eligible users dipasang.[1]

Sialnya, neraca manfaatnya séngét; tak berimbang. Hanya satu pihak yang diuntungkan dari upaya peningkatan produktivitas tersebut; yakni, perusahaan. Tidak demikian halnya dengan pekerja. Secara berkala, target pekerjaan justru ditingkatkan. Peningkatan target pekerjaan yang tidak diimbangi dengan perbaikan tingkat kesejahteraan jelas kian membelenggu dan membuat susah pekerja. Disamping itu, atmosfer kerja tidak kondusif. Juga ada masalah kultural yang membuat kerja makin tak nyaman; mental kita mental jongos. Ketika boss ada di tempat, semua pegawai memperlihatkan diri sebagai manusia paling sibuk di dunia. Semua berlaku lagak sebagai perajin. Padahal, tidaklah harus demikian. We didn’t have to suffer all that anxiety and tension. Tanpa kehadiran boss, kami sudah sibuk dan repot. Mengapa musti tampil super sibuk ketika boss ada? Jadilah kami mesin produksi yang terus-menerus bersilaju dengan waktu.

“Hari Raya pun kerja,” kataku melengkapi. Kujelaskan kepada mereka, tidak ada hari libur untuk kami. Akhir pekan dan cuti awam – hari libur nasional – kami tetap bekerja; unrewarding overtime. Lembur yang tidak dibayar dan dihukumkan wajib. Order pekerjaan mengalir deras; melebihi kapasitas produksi.There was literally more to do than could possibly be done. Belum lagi jika ada rush-order yang selalu diberi label “URGENT.” Kami harus membiasakan diri bekerja kejar-kejaran dengan waktu. Dengan pola kerja yang tak jelas model begitu, kemampuan perusahaan untuk menggaji tentu kian hari kian melesat jauh meninggalkan kemauan perusahaan ketika menetapkan variabel dan besaran gaji yang mereka cantumkan pada skim sistem pengupahan pekerja asal Indonesia. Bahkan bagi sebagian dari kami, upah tidak terkait langsung dengan prestasi kerja.

Pernah juga kudengar bekerja di akhir pekan akan diperhitungkan sebagai ganti cuti ke Tanah Air. Akan tetapi, ternyata aturan lisan itu tidak berlaku ajeg. Buktinya, ketika aku mengambil cuti selama satu minggu penuh dari Jumat tanggal 5 sampai dengan Jumat tanggal 12 Januari 2007 yang baru lalu, ongkos tiket pesawat aku yang tanggung sendiri. Terus, upah kerjaku pun dipotong oleh pihak manajemen. Karena merasa jengkel, ketika itu – awal Februari 2007 – aku berniat kabur. Namun Arman mencegahku, khawatir jika kepergianku akan berbuah tindak balas buruk terhadap pekerja Indonesia lainnya.

Semua terperanjat demi mendengar pengakuan kami perihal ketidakwajaran pekerjaan yang kami lakoni. Mereka terperangah geleng-geleng kepala ketika mengetahui betapa buruknya perlakuan perusahaan yang telah mengeksploitasi pekerja asing. Extended days and extra weekend work had been unbearably rigorous and demanding. Itu belum seberapa. Aku yakin mereka akan jauh lebih terperanjat sampai kelereng mata mencelat dan mulut termonyong-monyong bila saja kami dapat memberi tahu mereka tentang sebuah ketidakwajaran lainnya: bahwa kami mendapat perlakuan diskriminatif oleh rekan polisi mereka yang seingatku memang tidak menyematkan bros – pun tidak punya semangat – “Saya Anti Rasuah” di dada.

Entah mengapa tiba-tiba aku mempunyai perasaan yang meyakinkan setidaknya satu dari mereka – pasukan KPDN – tahu tentang kesepakatan yang diambil antara Xeng dan polisi. Keyakinanku kian menebal manakala dua orang dari mereka bicara berbisik-bisik dengan mata berkisar-kisar, bibir bergetar, dan suara mulut berdecak bak cecak menanti mangsa. Volume suara mereka rendah ketika berbicara tentang perkara yang mereka pantangkan untuk kami ikut dengar. Sebaliknya jika kami yang begitu, jika kami bersuara sangat rendah tanpa menoleh, mereka pasti curiga.

Namun, hanya berselang satu jam setelah kami semua mulai nyinyir membangkit-bangkit tambo lama, “Tapi bukan boss yang suruh kami kerja sampai larut malam,” berkata Ali meralat. “Itu kemauan kami sendiri. Kami mau pekerjaan cepat selesai,” imbuhnya pula.

Workaholics? Entahlah. Aku tidak merasa keranjingan kerja. Lagian aku bukan tipe manusia yang gemar menindas diri sendiri. Yang jelas, aku heran. Jam kerja yang panjang, muatan kerja yang padat, dan tenggat yang ketat itu sebetulnya kemauan siapa? Aku tak tahu siapa sesungguhnya yang menggariskan kebijakan itu. Sebagai pembanding, pegawai warga Malaysia bekerja dari pukul sembilan pagi sampai jam lima di waktu petang. Sabtu dan Ahad serta hari-hari cuti awam, mereka libur. Juga tak pernah sekalipun aku mendengar kalau mereka dikejar target. Bukan kebetulan jika kami secara mencolok berada pada dua tingkat kenyamanan yang berbeda. Jauh panggang dari api. Penghasilan mereka pun jauh di atas upah yang kami terima. Eceknya, pada skala kenyamanan 0-9, kami pekerja Indonesia berada pada level 2 – sangat tidak nyaman; sedangkan mereka pegawai Malaysia bertengger pada level 7 – cukup selesa. Ada kepuasan kerja untuk mereka.

Walau dalam surat lamaran pekerjaan secara sadar kutulis “I am accustomed to working long hours under pressure,” tetap saja fizik dan mentalku di usia yang sudah tidak muda – empat puluh tiga, empat puluh empat jalan – tak cukup tangguh dan lincah untuk berkolaborasi dalam ritme pekerjaan ini. Andai saja aku masih muda tatkala staminaku masih dalam kategori tahan banting, tentu beban pekerjaan akan terasa lebih ringan kupikul. Apa hendak dikata, waktu mudaku telah lama berlalu. Padatnya pekerjaan dan panjangnya jam kerja membuat hari-hariku menjemukan – kerja dan tidur. Siang malam kami hanya berkurung diri di tempat kerja. Bagaimana pun, aku tetap harus bersyukur karena, di Indonesia sendiri, mencari uang bukan perkara yang mudah sehingga tidak semua orang dapat melakukannya.

Untuk sekedar menghalau kejenuhan, disela-sela kesibukan aku curi-curi waktu nonton tv dan melayari secara acak sejumlah situs Internet. Dan hari Jumat merupakan hari rayaku. Pada hari-hari tersebut, aku berada di luar kantor sejak pukul sebelas pagi sampai pukul tiga petang untuk menunaikan shalat Jumat di sebuah mesjid besar di kawasan Batu Enam, Petaling. Boss tak pernah menegur apalagi melarang. Hanya sekali-sekali rekan menggerutu; bilang bahwa pukul sebelas masih terlalu pagi untuk pergi shalat. Dia benar. Zuhur masuk sekira pukul satu lewat suku. Tapi aku gurat batu. Aku tak peduli. Jumat adalah hariku untuk bertafakur. Ahad agak istimewa karena kami biasa kerja setengah hari. Separonya bolehlah aku berleha-leha dan kelayapan kemana saja sesuka hati mengayun kaki. Selain itu, selama enam atau lima bulan terakhir sebelum kami tertangkap, aku selalu memaksakan diri gerak badan di luar gedung dari pukul delapan sampai sembilan pagi setiap hari tanpa kecuali.



[1] Kelak, Terrabase kami tidak termasuk dalam daftar barang bukti yang disita oleh KPDN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar