Selasa, 31 Maret 2009

Seminggu Jeput Tak Bersalin Sandang

Seminggu Jeput Tak Bersalin Sandang

Di sel sebelah, sel lokap mahkamah untuk wanita, Listia membujuk sipir untuk diperkenankan menemui kami. Permintaannya dikabulkan. Di bawah kawalan dan diborgol, kini ia berada tepat di depan jeruji pintu sel kami. Ali disambat untuk mendekat. Ali menghampirinya. Dio, Arman, dan aku mem-backup Ali, tapi tak merapat.

“Kak, aku nggak punya baju bersih. Pakaianku kotor semua,” memberi tahu Listia kepada Ali mengenai satu-satunya pakaian di badan yang belum pernah diganti maupun dicuci sejak masuk tahanan polisi tujuh hari sebelumnya.

“Sama. Kami pun tak punya,” Ali menjawab. Ada nada keprihatinan di sana.

“Tapi kok Bang Iman sudah salin,” kembali Listia bersuara, seakan protes terhadap keadaanku yang telah mengenakan kaos baru.

Sehari-hari Listia biasa memanggil aku “Bang atau Abang.” Ali dipanggilnya “Kak.” Sedangkan untuk Arman dan Dio, Listia hanya menjangkar; langsung menyapa mereka dengan nama depan atau nama kecil.

“Bajunya dirampas. Ditukar sama yang jelek,” hati-hati Ali menjawab dalam nada rendah; khawatir terdengar oleh anggota komplotan tahanan penyamun. Listia memandangiku. Aku mengangguk sebagai tanda setuju tanpa syarat terhadap keterangan Ali.

“Bagaimana ini, Kak?” Listia mendesak jawaban dari Ali. Ali bungkam untuk sesaat; mencari-cari jawaban yang terjangkau akal.

Keterlaluan sekali. Selama satu minggu dalam tutupan, tiada sekali jua kami bersalin sandang. Pakaian yang kami kenakan ketika polisi menangkap kami menjadi satu-satunya yang melekat di badan tanpa pernah dicuci, konon pula diganti. Bersikat gigi pun aku tidak. Entah apa yang ada dalam benak manajemen perusahaan sehingga kebutuhan kami akan pakaian bersih minim kuman menjadi terabaikan. Tiada mereka tahu betapa buruknya keadaan kami saat ini. Bagai siamang kurang kayu, satu minggu kami bersedih hati karena kekurangan. Dan sekarang telah membayang di pelupuk mata masa satu bulan ke hadapan yang akan kami lewatkan dalam penjara, kondisi kami boleh jadi lebih teruk.

“Ya, nanti kalau orang kantor datang melawat, akan kubilang sama mereka untuk beli baju dan keperluan lain untuk kita,” jawab Ali menghibur; menipu diri. Bagai mendulang angin, ia sendiri tak pernah yakin bilakah waktunya sesuatu bantuan akan benar-benar tiba.

Setelah tiada lagi hal yang perlu disampaikan, kembali Listia digiring masuk ke lokapnya semula. Dari ruang lokap yang sama, seorang perempuan mulai terdengar berpantun dan berdangdut. Seorang diri dia bernyanyi-nyanyi sebagai perintang hati nan sedih. Dari logat bicaranya, aku yakin dia perempuan Indonesia meski dialeknya dimelayu-melayukan. She was acting too Malaysian. Nakal dan binal, sejumlah tahanan lelaki dari lokap kami menanggapi. Lama kelamaan, mereka – perempuan sundel itu dan beberapa buaya tak-berekor dari pihak kami – saling berbalas rayu dan cumbu dalam kata yang melanggar perasaan kesopanan. Mereka tidak mengindahkan kaidah dan norma pergaulan ala timur.

Lewat tengah hari ketika – menurut perkiraanku – orang-orang yang bersembahyang Jumat mulai meninggalkan mesjid-mesjid usai shalat, berkelentang lokap perempuan dibuka. Terdengar gemerincing gari dikenakan menghias pergelangan kaum hawa. Sebuah suara lantang datang dari lokap wanita menjambangi kami. Itu adalah Listia. “Bang, aku ke Kajang!” berteriak nyaring Listia dari selnya dua atau tiga kali. Aku hanya tertegun, mengelus dada dan menitikkan air mata ketika hati terasa pilu membayangkan betapa sempit hidup perempuan muda teman sekerja kami yang harus menjalani hari-harinya sendirian dalam kesepian tiada berteman di penjara. Kami saja lelaki empat sekawan yang disekap dalam satu lokap masih selalu dirundung kesusahan.

Kemudian, hanya berselisih sepuluh menit atau kurang dari itu, datang tiga orang sipir ke depan pintu lokap lelaki; berbekal untaian rantai gari. Mereka dengan suara lantang menyortir tahanan. Yang namanya disebut dikeluarkan dari lokap dan digari. Seuntai gari menggandeng renteng tiga sampai enam orang sekaligus. Mereka yang terpilih adalah pesakitan yang telah jatuh hukum; yaitu kriminal yang telah mendapat ketetapan hukum badan dari hakim. Status mereka kini bukan lagi tahanan reman. Mereka selanjutnya digiring naik ke dalam truk tahanan.

Limabelas menit kemudian, kudengar meraung serunai meninggalkan halaman mahkamah. Kini Listia tengah melaju menuju Penjara Wanita Kajang; komunitas pesakitan wanita ada di sana. Dari Mahkamah PJ, narapidana lelaki juga dikirim ke kawasan yang sama – Penjara Kajang – untuk menjalani sisa masa hukuman.

Sementara aktivitas usaha penyelundupan tembakau ke dalam penjara masih terus berlangsung di lokap pesakitan lelaki, di perut kurasa sakit pertanda hasrat untuk buang air besar mulai menjalar. Tetapi tiada waktu dan kuasaku untuk memenuhinya lantaran lokap telah penuh sesak; termasuk di lapak kakus berhimpitan tahanan tegak berdiri. Akibatnya kurasakan beberapa jam kemudian ketika semua tahanan lelaki reman – tahanan yang belum jatuh hukum – diboyong ke Penjara Sungai Buloh. Selama perjalanan dari Mahkamah Sesyen PJ ke penjara Sungai Buloh itu, aku merasakan sakit perut yang luar biasa mules karena menahan keinginan untuk buang hajat. Penderitaanku bertambah gawat ketika tungkaiku ikut-ikutan kebas dan kesemutan.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar