Selasa, 31 Maret 2009

Ulul si Lebai Malang; Duka Kuda Beban

Ulul si Lebai Malang; Duka Kuda Beban

Adalah Muhammad Azmi dan Ulul Ulema dua dari tiga warga negara Bangladesh merupakan orang yang paling sibuk di antara seluruh penjenayah penghuni lokap Balai Polis Puchong. Anggota geng menugasinya untuk menjaga lokap tetap bersih dan kering; kecuali Bilik 3 yang saluran pembuangannya mampat. Sementara itu, tapal WC berukuran lebar panjang 70 x 80 cm, dengan ketinggian 30 cm dari lantai sel, dan tinggi dinding penghalang mencapai 60 cm. Di tempat vital ini penghuni buang air seni, buang hajat, dan mandi. Berdiri tegak, para anggota geng bersiram air di tempat ini. Akibatnya, setiap kali ada seseorang penghuni yang mandi berdiri, lokap menjadi basah kecipratan air. Sonder menunggu perintah, seketika itu juga, berlekas-lekas Azmi dan Ulul bekerja keras mengeringkannya. Tidak boleh kedua ketiplak (kuda beban) lalai atau bernanti-nanti. Karena, jika itu sempat terjadi, geng murka; menganggap mereka berani membangkang. Tanpa ba bi bu anggota geng akan mengeplak, menumbuk, dan menendang mereka. Pokoknya, permak habis. Tidak ada belas kasihan bagi tahanan warga asing yang tidak menurut.

Di sisi lain, padatnya penghuni lokap membuat aktivitas mandi berlangsung terus menerus, tidak mengenal waktu; 24/7 twenty-four seven, duapuluh empat jam dalam sehari sepanjang tujuh hari dalam seminggu. Sehingga siang malam praktis kedua insan nan nestapa itu bekerja tiada henti. Tak ada masa untuk rehat. Tiada kelonggaran bagi mereka.

Ulul adalah sebuah noktah kecil yang tak memiliki arti dalam cerita sedih tentang buruh migran dari dunia ketiga yang terpinggirkan dan inferior dalam peradaban. Lantaran tak pernah istirahat dan juga karena acap mengalami penyiksaan, Ulul depresi. Soket matanya membiru dan celong dengan sorot pandangan kosong pertanda kelam ingatan. Sekujur badan lebam dan melar di sana-sini. Muka bonyok, kepala benjol, pinggul memar, punggung bengkak. Sebelah persendian lutut calus, sehingga ia pengkor sewaktu berjalan. Disamping itu, kulitnya melepuh di beberapa bagian tubuh; seumpama savana terkelupas dari kulit bumi meninggalkan padang tandus. Kerap dia pertontonkan kepada kami memar dan luka yang menghias tak elok sekujur badannya. Sambil bersendawa, berulang ia tampel lambungnya yang kembung keras mangkas; ia bilang rasanya sengal. Kasihan Ulul si lebai malang. Neraka dunia tak sudi melepaskannya dari nestapa. Nasib Ulul memang pahit. Ia adalah bangkai dengan separo nyawa.

Meski demikian, tidak semua yang dilaluinya selalu buruk. Masih ada sisi kemanusiaan tumbuh di sini. Ketika Ulul membutuhkan perhatian medis, sipir memberinya beberapa butir tablet paracetamol. Geng India memaksanya makan tatkala ia sulit menelan sebutir nasi jua. Dalam bayangan takut, Ulul makan. Ada bagusnya ia dipaksa makan di bawah ancaman. Dengan demikian, tidak ada peluangnya untuk melancarkan hungry strike. Hasilnya cukup menggembirakan. Kondisi Ulul tidak menurun drastis. Disamping itu, ada juga pembela kepentingan Ulul dari geng India sendiri. Ia adalah Bob; bertubuh paling besar dan kekar. Adalah Bob dengan garang mempersoalkan penyiksaan atas Ulul yang dilakukan oleh rekan-rekannya. Bob tidak berkeberatan dengan pemandangan yang berlatar Ulul bekerja untuk mereka, asalkan tidak disertai dengan pemukulan. Tak urung, rekan-rekan Bob menuduh Ulul mengadu kepadanya. “Tak ada yang mengadu. Lihatlah badannya memar karena pukulan,” berkata Bob dalam nada tinggi yang marah. Riuh rendah sesi tanya-jawab antara Bob dan rekan-rekannya menyedot perhatian seisi lokap dan mengundang sipir untuk turun tangan.

Satu malam buta di saat sebagian besar penghuni terlelap tidur, kulihat Muhammad Azmi hanyut dalam mimpi buruknya; mengepel Bilik 4 yang tergenang air. Rupanya ada seorang anggota geng yang baru saja mandi. Aku berinisiatif membantu. Baru saja kuletakkan kain lap pel di lantai, Azmi melarangku. Tak kusangka, mengiba dia katakan padaku bahwa geng murka jika ada tahanan lain yang membantunya. Apalagi dia tahu bahwa aku adalah salah seorang tahanan yang mendapat perlindungan mereka. Kutangkap rasa sakit dalam suaranya sangat kentara. Kulihat dia lelah; penat jiwa dan raga. Kecapaian psikis dan fisiknya lebih dikarenakan oleh beban perasaan takut yang teramat berat. Tak kuasa ia melepaskan diri dari beban perasaan yang – menurutku – tak perlu didramatisasi seperti itu. Tiada sesuatu hal yang dapat kuperbuat untuk sekedar meringankannya. Akhirnya, walau tak sesuai dengan irama sukma, aku beringsut; undur diri. Tabik, baya.

Suatu ketika; lantaran mengeluh kelelahan, seorang juru kipas Nepal ditampar bertubi oleh seorang anggota Geng Cina berbadan tipis. Size zero. Ucapannya “Kipas boleh saja tapi tidak terus menerus hingga larut malam. Saya perlu rehat. Saya kan manusia” menyinggung perasaan geng Cina. Anggota geng menafsirkannya sebagai “Kalian bukan manusia.” Bagaimana pun mereka masih manusia. Hanya saja sudah tidak utuh, karena kepalanya kopong – kosong melompong; tidak punya otak.

Di waktu yang lain, masuk seorang tahanan bertampang Timur Tengah; dia, yang sama sekali tak faham Bahasa Melayu, menjadi bulan-bulanan Geng Melayu. Orang tutupan bernasib buruk tersebut dipaksa mengipasi sekelompok geng Melayu dalam Bilik 5. Lebih sial lagi, meski menurut, tetap saja dia mendapat perlakuan kasar dan ganas. Bergantian anggota geng Melayu menekek, menampar, dan memukulnya dengan intensitas yang kian meningkat. Berlelehan air mata di pipi ketika dia tunaikan tugas wajib itu. Aku hanya miris membayangkan betapa nyeri pukulan-pukulan menitir muka, kepala, punggung, perut, dan kaki ia rasakan. Berucap “Aduh!” saja tiada dia berani.

* * *

Ada masanya ketika kelompok-kelompok banduan menghibur diri untuk menghilangkan rasa kesal yang menggumpal di hati. Di sayap timur, misalnya, beberapa banduan etnis India bernyanyi-nyanyi dengan latar depan dua warga Nepal dan satu orang warga Myanmar menari-nari; meliuk-liuk bak penari ular dalam sebuah karnaval. Yang menarik adalah satu sesi ketika ketiga penari diharuskan turut melantunkan lagu-lagu Hindustan yang tentu saja artikulasi yang mereka ucapkan tidak pas. Ketidakpasan pengucapan yang menggelikan hati itulah yang mereka suka karena mampu mengocok perut banyak penghuni lokap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar