Selasa, 31 Maret 2009

Ali Jadi Raja

Ali Jadi Raja

Setibanya dalam lokap, kami berbagi kebahagiaan. Nyaris tak ada yang mengucapkan selamat. Kecuali satu orang; tahanan warga Kamboja, pesakitan kasus pelanggaran undang-undang keimigrasian. Dia telah diputus hukuman kurungan badan empat bulan. Padahal masa tahanannya telah mencapai enam bulan. Otomatis dia bebas. Hanya saja, sebagaimana halnya dengan banduan berkewarga-negaraan asing yang terbabit kasus pelanggaran keimigrasian, dia harus menjalani tahanan di camp selama beberapa masa sebelum akhirnya dihukum buang ke negara asalnya. Aku mafhum ketika tidak semua yang ada di sana senang mendengar kami bebas atas jaminan. Seorang tahanan bahkan langsung bermuka masam dan memberi tanggapan sinis dan sewot. Dia adalah tahanan yang memesan nasi bungkus – plus bonus tembakau – dari Kopral Jamil. Merepet manusia tadi tiada henti kepada Ali. Padahal sewaktu kami masih sama-sama tumpang di blok Tawekal Penjara Sungai Buloh, dia termasuk satu dari sedikit orang yang pembawaannya terbilang tenang. Juga kulihat lelaki Cina – yang tadi dalam ruang sidang mendapat putusan ganjaran denda RM 52.000 atau kurungan badan enam bulan – duduk di sudut lokap dekat kakus, tenggelam dalam kesedihan. Kepada kami ia bertutur tiada peluang seseorang akan membantunya menyediakan uang denda sebesar itu.

Sementara itu, datang Kopral Jamil membawa sebungkus rokok. Dan rokok itu dia serahkan kepada Ali. Tentu saja rokok putih berpenapis itu pemberian dari Pinky di luar tadi. Selanjutnya Ali membagi-bagikannya kepada seisi lokap. Mereka bersuka cita dengan pemberian itu. Adalah suatu kemewahan yang luar biasa bagi tahanan yang dapat merasakan kembali kenikmatan sigaret keluaran tamadun moden; peradaban modern. Telah lama mereka tidak menikmati cita rasa serupa. Bagi mereka, pemberian langka tersebut adalah ibarat bulan jatuh ke riba.

Di tengah-tengah pesta rokok putih, tiba-tiba saja Ali mengejutkanku. Aku kaget karena ia marah. Inilah kali pertama Ali marah dengan suara keras sepanjang yang kutahu. Ia menghardik seorang warga Bangladesh bertubuh kecil usia setengah baya kawan satu sel ketika kami masih di blok Damai empat sampai tiga minggu ke belakang. Ali marah kepadanya lantaran tiada ia bersegera mengisap rokok putih pemberian itu. Orang itu malah menaruh rokok itu terselip gagah di atas cuping telinga.

“Isaplah,” memohon Ali kepada warga Bangladesh yang diberinya sebatang rokok.

“ Nanti.”

“Isaplah sekarang! Nanti diminta orang pula.”

Dan lelaki hitam manis berjenggot kambing dengan kepala setengah botak di bagian depan dan pipi bercambang ikal itu akhirnya menurut pada perintahnya.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar