Selasa, 31 Maret 2009

Penjara Sungai Buloh, Prosesi Penyambutan

Penjara Sungai Buloh, Prosesi Penyambutan

Aku terkesima. Di hadapan kami berdiri angker komplek penjara. Mencangkung di latar depan perkebunan kelapa sawit usia delapan sembilan tahunan yang rimbun, kompleks ini bak sebuah emplasmen tertutup. Konon, ini penjara terbesar di Asia. Sepuluh ribu banduan dapat tertampung sekaligus dalam penjara Sungai Buloh yang kokoh ini. Konon, ini penjara terbesar kedua di dunia setelah Guantanamo di Kuba yang dikelola Paman Sam. Bedanya, sebagian besar penghuni penjara Sungai Buloh adalah warga asing pendatang haram pelanggar undang-undang keimigrasian; sedangkan Guantanamo merupakan kamp konsentrasi untuk menyekap tersangka teroris dari kawasan-kawasan binaan dan mengunci tawanan perang dari negeri-negeri taklukan. Bedanya pula, sebagian besar penghuni penjara Sungai Buloh merupakan tahanan remand pesakitan titipan pengadilan yang belum jatuh hukum; sebaliknya, Guantanamo merupakan kandang besi bagi sebagian besar pesakitan yang ditahan tanpa proses hukum.

Tak ada peluang untuk kabur, pikirku, bahkan bagi jagoan jenius panjang akal sekaliber McGyver sekalipun. Untuk sekedar membayangkan cara-cara untuk lari saja aku tak berani; saking kokohnya. Selain kokoh, gulungan-gulungan kawat berduri dengan diameter sebesar perut gajah bunting yang menghias seluruh bagian atas tembok pembatas antar blok memancarkan citranya yang unbreakable.

* * *

Tidak berlama-lama kami menikmati saat-saat terakhir menghirup udara di alam bebas karena bersegera sipir menggiring segenap tahanan menuju pintu masuk ruangan pertama. Begitu masuk ruangan pertama, kami berjajar jongkok – dengan tangan bertumpu pada lutut, atau duduk di atas tumit dengan lutut terbuka dan jari menyentuh lantai – membentuk formasi lima barisan. Ruangan ini bukan ruangan biasa menurut kadar pikiran orang bebas di mana tuan rumah lazim menerima tamu dengan rasa senang, hangat, dan akrab. Ruangan ini lebih mirip sebuah gerbong besar karena yang terlihat hanya besi dan tembok belaka. Jumlah kami dihitung; tiga puluh tujuh – tujuh saf jongkok plus dua berdiri di belakang. Gari masih menghias pergelangan tangan. Satu per satu nama disebut dan cukup kuteriakkan kata, “Ada!” waktu namaku dipanggil.

Pintu gerbang kedua dibuka. Berjalan lurus ke hadapan (utara) belasan meter, belok kiri (barat), belok lagi ke kanan (utara), berhenti, borgol dibuka, jongkok. Sebelum kami, tepatnya di depan kami, hadir sejumlah tahanan. Tentu saja mereka bukan tahanan dari Mahkamah Petaling Jaya.

Satu per satu pesakitan dipanggil nama. Tahanan lama cukup menyebutkan nama dan nombor banduan, dan lewat. Tapi untuk lewat, ada syaratnya. Tahanan harus menyebutkan identitas diri masing-masing dengan suara nyaring dan dalam posisi berdiri tegak, tangan mengepal jatuh ke bawah, dada membusung, pandangan lurus ke depan menghadap petugas pendaftar. Ada juga tahanan yang melangkah maju dengan sangat hormat; membungkuk-bungkukkan badan ala hormat Jepang. Tapi sipir memang lebih suka jika semua tahanan tegak tegap berdiri dan bicara dengan suara lantang dan jelas. Sedangkan tahanan baru, aku termasuk, semuanya menjalani prosedur pemeriksaan seragam. Semua ditanya nama dan warga Negara. Setelah diambil sidik jari, masing-masing mendapat secarik kertas seukuran enam kali tujuh sentimeter bertuliskan sebuah angka. Angka keramat yang kami tak boleh alpa untuk mengingatnya. Semacam nomor antrian pendaftaran.

Tepat di sebelahku berlangsung dialog kaku antara petugas dan seorang tahanan yang sempat membuatku miris.

“Apa nama?”

“Husein.”

“Warga asing?”

“Ya, Tuan. Aceh.”

Indonesia?”

“Bukan.”

Petugas mengernyitkan dahi. Urat-urat di wajahnya menegang dengan geraham mengatup. Sinar matanya nyalang. Dan dua pukulan tongkat mendarat di atas ubun-ubun Husein. Cukup telak. Meringis tahanan menahan sakit. Meski menyimak, aku tak arahkan pandangan langsung kepada mereka. Jangan ada kesalahan sekecil apapun! nasehatku dalam hati kepada diri sendiri.

“Pandai kalian bicara. Aceh kan masih wilayah Negara Indonesia. Betul, tidak?” tanya sipir. Senyap, tak ada jawaban. Husein hanya tegak terpaku. “Betul tidak?!” kembali sang petugas mencecar pertanyaan yang mau tidak mau harus dijawab.

“Benar, Tuan.” Husein menjawab; matanya terbeliak tegang.

“Begitulah. Jalan!” sipir membentak; memerintahkan banduan untuk segera enyah dari pandangannya.

Giliranku tiba. Cap lima jari kububuhkan. Tapi aku lupa apakah itu jari-jemari tangan kanan atau tangan kiri. Entahlah. Kemudian secarik kertas kuterima – tujuh satu nomor antrian pendaftaranku. Tergopoh aku melangkah menjauh. Kuhampiri loket penitipan barang. Di loket ini, barang-barang berharga milik tahanan – dari ponsel, uang dan perhiasan, sampai gesper dan sabuk – harus dititipkan, untuk kelak diambil ketika banduan keluar dari penjara. Ada juga tahanan yang menitipkan amulet atau azimat.

Petugas memandangiku; dahinya mengkerut. Walau tak sepatah kata pun ia ucapkan padaku, cukup sudah cara dia memandang dengan sepasang mata bola terdingin sebagai tanda bagiku untuk segera menyerahkan barang-barang yang hendak aku titipkan – atau “Be somewhere else!” Sialan! Depresi telah membuat kecerdasanku tak berguna. Dalam bingung, aku kesulitan mengingat sepenggal informasi yang sebetulnya telah ada dalam memoriku. Tau-tau aku lupa apa yang harus kuingat dan otakku tumpul begitu saja. Namun perasaanku bilang bahwa ada sesuatu yang terlewat. Oh ya, kini aku mulai ingat. Selain yang kusandang, aku tak bawa apa-apa. Dengan kata lain, tak satu pun barang yang melekat pada tubuhku pantas untuk dititipkan. Yang kukenakan hanya t-shirt hasil tukar guling dari lokap mahkamah, celana dalam berdaki dan seluar panjang yang sudah kumal, serta sandal plastik. Tidak lebih. Sedangkan tali pinggang yang kupakai ketika polisi mencidukku raib dari loker lokap Balai Polis Puchong. Lekas aku melengos; beringsut berbalik arah sebelum sang petugas menghardikku. Atas arahan seorang penghuni lama yang tak bosan-bosannya berteriak menertibkan di tengah hiruk pikuk banduan yang berdengung membahana bak kawanan lebah pindah, aku masuk ke lokap yang terletak di sayap timur. Di sini kami – segenap tahanan baru – duduk dan jongkok berbaris menunggu giliran foto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar