Selasa, 31 Maret 2009

Penguam Pompakan Pengakuan “Tidak Bersalah”

Penguam Pompakan Pengakuan “Tidak Bersalah”

Melangkah naik kami masuk ke dalam boks pesakitan; sebidang kayu warna jati dipelitur mengkilap, berbentuk baby crib besar seukuran panjang kali lebar kali tinggi masing-masing sekira 2.2 m x 1.2 m x 1.2 m dengan satu pintu masuk di sebelah kanan banduan atau sebelah kiri dari pandangan Puan Hakim. Berjajar kami duduk di bangku panjang yang ada dalam boks. Dalam ruang sidang, kulihat hadir Puan Hakim (Melayu, 50an), seorang Panitera (India, 30an, perempuan), seorang Pendakwa Raya (Melayu, 30an, perempuan), seorang Penguam (India, 30an, lelaki, dahi berpilis), dua orang aparat keamanan (Melayu, 40an, lelaki), dan dua orang petugas KPDN (Melayu, 30an dan 40an tahun, lelaki) yang tadi mengiringi kami; sedangkan petugas KPDN pendamping Listia tidak turut serta. Juga di bangku belakang ada Pinky (Cina, 30an, lelaki), orang kantor kami yang turut menyaksikan jalannya persidangan.

Sementara itu, persis di depan dan masih dalam boks yang sama dengan kami, seorang pesakitan berdiri. Dengan khidmat dia mendengarkan keputusan Puan Hakim dalam sidang hari itu yang menetapkan bahwa sidang untuknya postponed – diundur – sampai dengan pertengahan Juli 2007; dua bulan lebih ke depan. Setelah Puan Hakim menutup sidang untuknya, banduan itu digelandang turun keluar.

Kini giliran sidang untuk kami dibuka. Kami diminta untuk berdiri dan melangkah sedikit ke depan. Tak lama kemudian, panitera sidang mengecek kebenaran data yang ada di tangannya. Berlima kami secara bergantian mengacungkan sebelah tangan – yang tak digelang gari – dan mengucap, “Saya” manakala panitera menyebutkan nama kami satu per satu. Sementara itu, Puan Hakim memandangi wajah kami. Tidak demikian halnya dengan Pendakwa Raya. Perempuan yang juga berkerudung itu terkesan cuek acuh tak acuh.

Setelah berunding dengan Puan Hakim, pendakwa raya dan pengacara, panitera menghampiri boks pesakitan di mana kami berdiri di dalamnya. Ia membacakan dakwaan. Kami disangka melakukan tidak satu tetapi dua tindak pelanggaran sehingga jaksa mendakwa kami dengan pasal berlapis. Kepada kami, panitera mengajukan dua pertanyaan tertutup; karena masing-masing pertanyaan telah dilengkapi dengan dua opsi jawaban yang harus kami pilih untuk diucapkan, yaitu “Bersalah” atau “Tidak Bersalah.”

Sebagai terdakwa nomor urut satu, aku diberi kehormatan untuk selalu berada di posisi terdepan. Di muka sidang pun, giliranku yang pertama dilkasih tahu dan ditanya. “Pada hari Jumaat tanggal 27 April 2007, Anda berlima di 5-2 Jalan Bandar Enambelas, Pusat Bandar Puchong, Selangor Darul Ehsan secara bersama-sama memiliki secara tidak sah dua keping VCD cetak rompak. Anda dituduh melanggar Seksyen 41 (1)(d) Akta Hak Cipta. Untuk tuduhan tersebut, Anda mengaku bersalah atau tidak?”

Nun di depan, pengacara kami menoleh ke belakang, mengarahkan pandangannya kepadaku dan menggelengkan kepala pertanda arahan kepadaku untuk tidak mengaku. Sedikit kuangkat bahu, kukernyit kening, kugeleng kepala, dan kudesis bibir, “Tidak bersalah.” Parau. Empat kali panitera mengulang pertanyaan, “Anda mengaku bersalah atau tidak?” yang masing-masing ditujukan untuk Ali, Dio, Arman, dan Listia. Satu per satu mereka menggeleng sepertiku dan memberikan kunci jawaban serupa, “Tidak bersalah.”

Sesaat kemudian, setelah menghela nafas, panitera melanjutkan tugasnya membacakan dakwaan kedua. “Jumat tanggal 27 hari bulan April 2007, Anda secara bersama-sama memiliki secara tidak sah program-program dalam empat belas unit komputer. Anda didakwa melanggar Seksyen 41 (1)(g) Akta Hak Cipta. Untuk tuduhan tersebut, Anda mengaku bersalah atau tidak?” Sekali lagi pengacara mengarahkan kami untuk berkata “Tidak.”

* * *

Sayup kudengar. “Dua keping tak boleh dituntut,” terang Puan Hakim kepada Pendakwa Raya. “Tiga keping baru dapat dituntut,” sambungnya pula; kata-katanya lugas dan tidak bias. Sebetulnya pendakwa raya tahu aturan itu; sehingga ucapan Puan Hakim tentang yang dua keping itu seakan mengumumkan sesuatu perkara yang telah diketahui oleh khalayak. Ibarat memasang pelita tengah hari, Puan Hakim menerangi hal yang tak perlu diterangi. Setelah itu, Puan Hakim bertanya kepada pendakwa raya apakah tuntutan tetap akan dilanjutkan. Tanpa ragu, puan pendakwa raya mengatakan, “Dilanjutkan.” Oalah, lemas aku.

Atas permintaan pihak pendakwa (KPDN), Puan Hakim menetapkan sidang berikutnya satu bulan ke depan dengan agenda memeriksa keabsahan paspor kami. Tiba-tiba hidup jadi jauh lebih berat. Keputusan mahkamah tidak dapat kami perhitungkan dengan tingkat akurasi yang tinggi.

Tak sekali waktu jua penguam jelaskan atau diskusikan perkara secara gamblang dengan kami. Lawyer tidak memberi kesempatan kepada kami untuk memahami unsur resiko yang terkandung dalam tindakan mengaku atau tidak. Semestinya pengacara beberkan kepada kami tentang konsekuensi dari pengakuan bersalah atau tidak bersalah yang secara sadar kami pilih. Bukan dia yang pilihkan. Ia tidak meminta pendapat kami. Seharusnya dia tidak pompakan jawaban “Tidak bersalah” itu kepada kami. Inilah ruginya jika seorang terdakwa tidak mampu menghadirkan dan membayar lawyer sendiri. Penguam yang lebih mewakili kepentingan perusahaan itu tidak mau ambil pusing tentang hak-hak kami sebagai terdakwa untuk mengambil tanggungjawab atas kehidupan kami sendiri. Jelas sekali bahwa ia dengan sengaja mengeliminir peluang kami untuk dapat mengambil keputusan sendiri.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar