Selasa, 31 Maret 2009

Kiamat Kian Dekat

Kiamat Kian Dekat

Dari dekat pojok timurlaut bilik mandi, tiada henti keran rusak menyemburkan air; sebagian jatuh memercik ke atas tong yang telah luber, menimbulkan suara desis dan rincik memecah malam. Banyak air bersih terbuang percuma; lampias ke selokan belakang. Dan ketika rasa kantukku mulai menyerang, tiba-tiba angin Sungai Buloh tengah malam itu bertiup sangat kencang; membuat engsel-engsel jendela berderik, pakaian yang terikat pada gantungan-gantungan tali menghempas berkibar bak untaian kain perca penghalau burung di tengah pematang sawah, baju dan celana yang tak ditambat melayang jatuh ke serambi dan parit belakang, sebuah gayung jatuh menimpa kepala seorang pesakitan. Beberapa penghuni terbangun, tetapi tiada seorang pun jua yang mau mengalah sedikit bersusah keluarkan tenaga untuk menutup daun-daun jendela. Tidak ada yang bersedia mengerjakan tugas kecil menutup jendela-jendela yang selalu terbuka sepanjang masa, baik siang maupun malam. Angin kencang pula yang membuat hawa malam ini menjadi jauh lebih dingin dari biasanya; sejuk haba membekukan tulang. Alih-alih bangkit, hampir semua yang terjaga malah membetulkan letak selimut, menutup dan membebatkannya dari ujung kuku jari kaki sampai ujung rambut yang ada di kepala; khawatir terjebak hipotermia.

Dalam pada itu, di dekatku, Alamsyah Rozak – Wiwin panggilannya – terus-menerus menyeringai mengelus-eluskan jari-jemari tangan kanan pada tangan kiri yang bengkak karena patah pangkal lengan selama tiga minggu lebih cuma dibebat perban. Kain kasa pembalut itu kini telah sangat kumal dan gatal berbau serta benang-benang pakan di ujung dan benang-benang lungsin di pinggirnya banyak yang telah berlepasan. Baju yang dikenakannya disodet pada bagian kiri – dari dada sampai ujung lengan – untuk disesuaikan dengan penampilannya. Menggetap geraham, ia penuh kesakitan dan kemarahan. Kurasa bromocorah itu memerlukan perawatan yang lebih dari sekedar secarik perban pembalut dan beberapa butir paracetamol. Combat meringis menahan sensasi linu dan dingin pelat logam antikarat yang tertanam dalam tubuhnya dari pinggul sampai ke lutut. Azhar, penduduk Jalan SS Sungai Way, Petaling Jaya, Selangor berjuang keras mempertahankan nyawa melawan asma. Tarikan nafasnya yang berat menghasilkan suara ngiiik … ngiiik bak dawai biola digesek-gesek pemain pemula yang malas berlatih. Sebelumnya, senja hari pertama ketika pertama kali ia masuk bergabung dengan kami di lokap Dewan-B, Azhar sempat dibopong tangan oleh beberapa orang; dilarikan ke pos pelayanan kesehatan terdekat yang terletak di gerbang pintu masuk Blok Ehsan untuk mendapatkan perawatan pertolongan pertama karena asmanya kambuh.

Di dekat sisi tembok tenggara, seorang penderita kronis sinusitis – tahanan etnis India yang bertatokan “I © Jameela” pada dada dan bila dipandang sepintas lalu punya potongan wajah berdaki si tampan Amitabh Bachan – tengah berjuang habis-habisan melawan mampat di hidung yang tiada henti dialaminya; untuk bernafas, mulutnya kembang kincup. Dari sana sini sesekali batuk menyalak; suaranya meletup-letup bak balon-balon kecil di keramaian pecah tersulut puntung rokok. Juga sempat terdengar seseorang melepas angin sekuat daya dari dekat kunci paha; semburan angin itu mengeluarkan suara bulat menggema bagai kuak kang-kung bangkong berketur dari balong. Tapi angin kencang itu membuat dengkuran-dengkuran dari beberapa penghuni yang tengah lelap-lelapnya tidur terhenti seketika karena mereka terbangun untuk kemudian pulas kembali merajut bulu mata setelah bergeser posisi baring.

Di sisi selatan agak menjorok ke pojok baratdaya, seorang banduan Melayu mengeja suara-suara berat meracau dalam mimpi buruk yang mengancamnya dengan bayang-bayang laso tali di tiang gantungan dan rajam rotan sehingga nyawa lepas dari raga. Suara-suara dalam mimpi itu tiada henti berbicara tentang kematian yang menyakitkan pikiran, perasaan, dan angan-angannya. Meski itu mimpi imajiner, ia yang malang menganggap dan menanggapinya seakan itu nyata. Juga tepat di sebelahnya, seorang tahanan morfinis tunatenaga etnis Melayu perawakan tipis dengan sekujur tubuh penuh keropes bekas luka kudis bergugus jejak jarum suntik obat bius, mengerang kedinginan dan ketakutan. Pita suara di rongga mulutnya bergetar kencang. Lelaki tua itu berbaring meringkuk sebagai ayam sakit. Sama halnya dengan Azhar dan Raja yang kering mering, lunglit – tinggal balung dan kulit (bersisa tulang dan cangkang) – adalah ciri menonjol yang mudah dikenali dari diri Melayu si penyendiri tua yang mahal senyum dan sukar bicara ini. Ia menjalani hidup yang terpisah dari tetangga. Tiada pernah walau sekali waktu aku memergokinya melibatkan diri dalam diskusi-diskusi. Ia si tua pemalu segan bertanya dan segan pula ditanya. Boleh jadi telah terlalu panjang masa-masa sunyi yang terpaksa ia lalui dalam kurungan keluli di sepanjang rentang hidupnya tanpa keluarga mau peduli.

Malam-malam begini, pencahayaan lokap cenderung gelap. Lampu penerangan di dalam telah padam sedari pukul duapuluh dua tadi. Pada penampang kaca, udara mengembun. Di bawah latarbelakang langit alam nan gelita dan tampak kosong, tabung-tabung lampu besar yang bertengger di atas tiang tinggi dekat benteng antar blok – Blok Ehsan dan Blok Cekal (?) – sisi selatan menyorotkan cahaya redup; sebagian pancaran sinarnya menjulur masuk ke dalam lokap dalam keadaan belah-belah tersayat jeruji dan terpenggal pakaian-pakaian basah yang bergelantungan. Dan aku berbicara tidak kepada sesiapa pun juga. Sebagai penggila ilmu pasti ketika dulu bersekolah, aku tahu struktur penjara ini sangat kokoh yang, jikapun langit runtuh, ia akan berdiri sendiri. Tapi kini – ketika hatiku ciut, ketika segalanya serba tak pasti – aku tak yakin jika lokap Dewan-B akan tetap tegak berdiri dan tidak tercerabut dari bumi manakala dihempas angin dahsyat berputing yang berpuput secara berpusing seligat gasing silang-menyilang.

Aku bertutur lebih pada diri sendiri; sepertinya kiamat akan tiba dan aku belum siap menghadapinya. Andai aku dapat berkawan dengan seisi alam, akan kuminta bayu yang mengelana sepanjang waktu untuk mengarah tenggara sampai ke sebuah rumah tak jauh dari kebun bambu di pinggiran sebuah ibu negeri yang mencangkung dekat kaki Gunung Tampomas yang mengakar di kawasan barat Tanah Jawa. Kuminta tolong dia sampaikan pesanku kepada keluargaku nun jauh di sana yang berminggu-minggu tiada mengetahui keberadaanku dan tiada pula punya keyakinan apakah aku akan pernah pulang. Ada semacam kerinduan di hati terhadap negeri tempat kembali. Kepada angin aku berbisik, aku masih hidup dan utuh; tapi aku cemas. Cemasku amat sangat.

Kecemasan paling tajam yang mencincang kalbuku adalah ketika membayangkan satu per satu anggota keluargaku yang justru merindukan dan mencemaskanku. Sedang apa mereka di sana? tertanya-tanya aku di hati. Membayang di pelupuk mata nan sembab, orang rumahku – dengan rasa pegal yang telah menjalari sekujur tubuh – berjuang sekuat daya menahan air mata, menimang-nimang putri bungsuku yang rewel lantaran lama tak mendapat telepon dariku; anak keduaku – satu-satunya lelaki di rumah – tengkurap dan telentang saling-silang sebab mata tiada dapat memejam; putri sulungku dengan buku-buku sekolah berselirak terbuka di depan mata tapi tak satu anasir pelajaran pun yang masuk kepala; dan satu lagi anak dara – kemenakan anak mertua yang juga tinggal serumah – berbaring telungkup dengan muka menangkup di atas bantal kapuk tak-bersarung di pinggir ranjang; sementara itu pesawat televisi lama dibiarkan hidup menayang acara tanpa pemirsa.

Ahhh, angin deras itu belum juga beranjak pergi. Masih saja ia recok di sini. Selalu begitukah sikapnya saban mampir kemari? Dalam kerinduan yang dingin, suaraku hilang ditelan malam. Kukuatkan hati, kuteguhkan iman. Sementara sinar-sinar dengan denyut malas dari atas benteng batas blok yang menembusi celah-celah jeruji keluli gilig itu masih saja mengesankan bayang-bayang yang suram, kubebaskan emosi batinku mencurah air mata kepedihan tanpa rintih dan ratap.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar