Selasa, 31 Maret 2009

Pendaftaran Kasus di Mahkamah PJ

Pendaftaran Kasus di Mahkamah PJ

Sabtu 28 April 2007. Aparat dari Kementerian Perdagangan Dalam Negeri (KPDN) membawa kami ke Mahkamah Sesyen Petaling Jaya, Selangor Darul Ehsan untuk mendaftarkan kasus kami. Walaupun sebelah pergelangan tangan kami diborgol, petugas KPDN memperlakukan kami cukup baik, seakan kami bukan tahanan mereka. Banyak percakapan ringan muncul sepanjang perjalanan.

“Katanya ada yang perempuan, ya?” tanya seorang petugas.

“Ada,” kami menjawab.

“Sudah kawin, belum?” bertanya lagi dia.

“Siapa?” balik aku bertanya.

“Perempuan itu.”

“Belum. Masih gadis. Ada apa?”

“Siapa namanya? Kirim salam, ya?”

“Abang ini bagaimana? Kami bukan orang bebas. Tangan kami pun digari. Kalaulah memang Abang mahukan dia, bilang saja sendiri secara langsung kepada dia.”

“Pandai kali Abang ini,” berkata ia memujiku.

Hari masih terlalu pagi ketika kami sampai. Kulihat Listia telah ada; ia berdiri di luar sebuah mobil SUV tahanan. Seorang perempuan penyidik mendampinginya. “Perempuan itu kawan kalian?” bertanya petugas KPDN yang tadi sewaktu di jalan bilang naksir Listia. “Ya,” jawab kami berdua atau bertiga serempak. Tidak kutanya apakah ia masih merasa kepincut dan tetap berkeinginan mengetrek Listia setelah melihat penampilan kusat-mesat anak dara yang pikirannya serba kacau itu. Setelah turun dari mobil, tidak berlama-lama kami berada di halaman karena petugas KPDN bersegera menggiring kami masuk ke lokap Mahkamah. Akan tetapi, di lokap Mahkamah pun kami tidak lama. Disertai oleh seorang sipir Mahkamah, petugas KPDN kembali menjemput kami. Pintu lokap dibuka dan kami diborgol kembali. Mereka bilang, sidang cepat untuk kami akan segera dibuka. Sementara menunggu panggilan, kami disuruh duduk di ruang tunggu saksi.

Sebenarnya bukan sebuah ruangan dalam pengertian konvensional. Menempel di sebelah bangunan utama, tempat ini adalah sebuah ruangan terbuka yang dilengkapi dengan beberapa bangku panjang dan dilindungi atap. Tepat berseberangan dengan ruang tunggu, terdapat tiga buah tong sampah yang resik merapat pada tembok gedung di sebelahnya. Tong tersebut masing-masing untuk sampah organik, sampah plastik, dan sampah aluminum dan barang-barang logam lain.

Sambil menunggu giliran sidang, aku sempat bercanda dengan seorang petugas KPDN yang méntél – centil – lagaknya; seorang wanita usia duapuluh tiga duapuluh empat tahun. Kepadatan tubuhnya kurang lebih sama sintalnya dengan betino bangkok bungkuk udang pembonceng sepeda motor yang saling menyalip dengan kendaraan kami di lebuh raya tiga hari setelah itu, Selasa 1 Mei 2007. Sok akrab, berjinak-jinaklah perempuan pipi tembem itu terhadap kami. Dia mengaku masih berdarah Banjarmasin. Entah kalau dia mengibuliku. Selain dia, ada satu lagi petugas KPDN yang mengaku-ngaku trah Banjarmasin. Orang yang kumaksud adalah seorang lelaki berperawakan sedang, usia sekitar awal empatpuluhan. Disamping berfungsi sebagai penyidik, dia juga selalu pegang stir mobil SUV tahanan kami. Dibandingkan dengan penyidik lainnya, kawan satu ini lebih faham bahasa kita. Pengetahuannya tentang Bahasa Indonesia terbilang cukup lumayan. Ketika penyidik lain bingung dengan beberapa kata dan frasa yang kuucapkan dalam dialog-dialog santai, ia lalu menerjemahkannya ke dalam Bahasa Malaysia.

* * *

Pikiranku tak mau diam mempertanyakan alasan mengapa tak seorang dari perusahaan yang turut hadir. Kalau mereka tak punya nyali, mengapa tiada terlintas dalam pikiran mereka untuk mengutus seorang lawyer mendampingi kami. Otakku terus berputar mengalir mengitari flowchart sebuah peristiwa dalam jangkamasa kurang dari duapuluh jam ke belakang, terutama pada bagian perilaku tebang pilih dari polisi “Saya Anti Rasuah” Melayu yang patgulipat membiarkan hidup bebas tiga kembang setangkai yang sempat mereka genggam hingga lunglai dan nyaris mereka petik semalam.

Setelah menunggu beberapa saat, kami digiring masuk ke ruang registrasi perkara. Identitas dikonfirmasi. Selanjutnya, “Adakah keluhan Anda tentang perlakuan Polis terhadap Anda?” tanya Puan Hakim (Pendaftar) Mahkamah Sesyen Petaling Jaya, Selangor Darul Ehsan.

“Tidak ada,” jawab kami berlima serempak. Seolah telah bermufakat sebelumnya, kami berlima lakukan aksi irit bicara; sebuah perilaku khas dari kaum teraniaya yang tiada berpengharapan.

Sebetulnya nuraniku berontak, tapi akal sehatku memutuskan untuk tetap diam. Meski darah mendidih, kukunci mulut rapat-rapat. Tak dapat kubayangkan bagaimana reaksi dari semua yang ada di sana jika saja aku nekat mempertanyakan keabsahan keputusan empat orang aparat intelijen Balai Polis Puchong yang melepas sebagian tersangka dan mengambil secara diam-diam barang-barang berharga milik tersangka lain yang kini dihadapkan di depan Puan Hakim pendaftar. Kukawal emosi amarahku agar tidak meletup. Saat ini kebenaran masih belum menjadi panglima. Tunggulah saat yang tepat untuk angkat bicara. Bukan pesimis tapi ini strategi. Aku mesti ekstra hati-hati. Pendek kata, timing-nya tidak tepat untuk mengungkapkan perlakuan diskriminatif yang kami terima.

Bagaimana andai teman-teman tak berkenan? Pembeberan perlakuan diskriminatif berpeluang memperburuk keadaan, sehingga dapat mengacaukan segalanya. Apa jadinya bila kami berselisih? Jika keempat rekanku menyangkal, bisa-bisa aku didakwa memfitnah korps kepolisian. Disamping itu, kami masih ditahan di balai Polis Puchong. Tentu mereka tidak tinggal diam. Bisa saja mereka menyerang balik dan membuat nasib kami tertampi-tampi tak menentu dan runyam dengan selikur masalah. Kekecewaan dan penderitaan yang berkepanjangan dan tidak berkesudahan yang akan kami tuai. Kupasung hasrat untuk memanfaatkan hak bicara. Walau begitu, tekadku teguh. Meski tak akan ada yang mau mendengar, suatu saat nanti akan kuungkap sebuah peristiwa yang menorehkan luka yang cukup dalam dan lama.

“Adakah di antara kalian yang sakit?” lanjut Puan Hakim.

“Tidak ada,” jawabku.

“Ada. Dia diabetesi,” potong Ali, menjelaskan pada Puan Hakim bahwa aku penyandang penyakit diabetes.

“Tapi dia tak cakap,” sergah Puan Hakim.

“Ya, saya kena diabetes,” aku memungkas; cepat-cepat meralat.

“Ada ambil ubat?” bertanya kembali Puan Hakim.

“Ada. Herba Cina,” menjelaskan aku tentang mediaku tetirah.

“Mana ubatnya?”

“Ada, saya tinggal di Balai Polis.”

“Oke, Anda boleh terus ambil ubat.

Sejurus kemudian Puan Hakim memberi penjelasan dan mengajukan pertanyaan seputar kedatangan kami ke Mahkamah.

“KPDN minta masa satu minggu untuk mempelajari dan meyelidiki kasus yang didakwakan kepada kalian,” jelasnya. Lantas, “Bagaimana tanggapan Anda?” tanya Puan Hakim pada kami berlima. Kerana aku berada pada urutan pertama, maka aku lah orang pertama yang menjawab.

“Jika boleh, kami minta waktunya dikurangi,” jawabku.

“Mengapa?”

“Kami ingin agar kasus kami segera selesai.”

“Bagaimana tentang Anda?” tanya Hakim pada Ali.

“Sama,” jawab Ali singkat.

“Sama apa?”

“Kami minta waktunya dikurangi.”

“Kenapa?”

“Agar kes kami cepat selesai.”

Dialog yang kurang lebih serupa juga berlangsung antara Puan Hakim dengan Dio, Arman, dan Listia.

“Oke. Saya beri waktu enam hari. Sekarang tanggal 28 hari bulan April 2007. Dengan demikian, sidang pertama akan dilakukan pada hari Jumaat tanggal empat hari bulan lima,” putusnya.

Lesu aku waktu kudengar sidang baru akan dilaksanakan enam hari kemudian; persisnya satu minggu setelah penangkapan kami. Dalam pada itu, sekeluar kami dari ruang pendaftaran kasus, sempat kudengar pembicaraan perempuan penyidik KPDN kepada Listia, “Setelah tanggal 4 hari bulan Mei nanti tidak berarti kalian bebas. Jika ditemukan petunjuk awal bahwa kalian melanggar undang-undang dan bila tidak ada pihak yang menjamin kalian, kalian akan dipindahkan ke penjara.” Kian nyata bagiku, tiada tempat bagi kami untuk bernaung. Saat itu juga, kembali kami digelandang masuk ke dalam SUV yang langsung membawa kami ke kantor KPDN Petaling Jaya untuk menjalani penyidikan.

Sementara rentang masa satu pekan ke hadapan terasa amat lama dan berat bagi kami, petugas KPDN justru menganggapnya terlalu suntuk (singkat). “Kita tak ada masa. Ahad, Selasa dan Rabu cuti,” demikian kalimat yang selalu mereka ulang-ulang bilamana mereka berbicara untuk kalangan mereka sendiri. Selasa 1 Mei hari buruh internasional. Sedangkan Rabu 2 Mei, jika tak salah, hari jadi Raja Selangor; libur negara bagian Selangor.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar