Selasa, 31 Maret 2009

Ceritera dan Cengkerama Orang Tahanan

Ceritera dan Cengkerama Orang Tahanan

Laksana ayam pedaging yang menunggu masa penyembelihan, sepanjang hari kerja kami cuma makan minum, duduk, berbaring tiduran, kongko-kongko berbagi cerita sebagai perintang waktu. Tepos pantatku. Ada cerita bermakna dan ada bualan remeh-temeh kosong semata. Dari diskusi, terkadang aku harus mendengar dengan hati agar lahir solusi. Berdiskusi dan berbagi berita di antara orang tahanan itu juga perlu untuk meluaskan pandangan tentang dunia. Selaku tahanan yang masih punya sedikit semangat, kami memang harus berjuang keras menjaga stabilitas dan stamina batin untuk tidak terlalu tenggelam memikirkan situasi tak nyaman yang kami hadapi selama berada dalam penjara.

Tak jarang, meski bertajuk diskusi, beberapa panelis lebih suka tampil menonjol dan maunya menang sendiri, sehingga mereka kerap saling berbantah ketika terperangkap dalam diskusi yang tiada berujung pangkal. Sementara itu, obrolan-obrolan kosong yang tak bermakna hanyalah salah satu cara kami melewatkan waktu tak berguna. Kadang-kadang aku juga merasa bagai dirintang siamang berbual; asyik memandang dan mendengar sesuatu yang tiada berguna, memboroskan waktu dalam kesia-siaan.

Orang tahanan tahu cara mengasah kemampuan otak. Kadang-kadang terlintas dalam benakku, kesibukan otak orang tahanan melampaui pemikiran apa pun yang lazim direnungkan oleh manusia rata-rata. Orang tutupan melewatkan bagian terpanjang masanya dengan bermenung, berpikir, berdiskusi, curah gagasan, main kartu, main dam, main catur, sampai mengutak-atik teka-teki. Anda yang hidup di alam bebas boleh jadi terkejut ketika membaca berita dari penjara seperti ini: Filsafat Tak Akan Pernah Mati. Ketika berdiskusi, misalnya, tahanan kerap saling mengingatkan. “Kita ambil hikmahnya. Tuhan telah menetapkan jalan terbaik untuk kita. Jika kita di luar dan Polis tak tangkap kita, boleh jadi seseorang yang membenci dan mendendam telah menyerang dan membunuh kita,” ujar si A.

“Bersyukurlah kita mengalami ini. Dengan pengalaman ini, kita menjadi tahu betapa susahnya kehidupan penjara dan kita dapat mencegah anak-anak dan anggota keluarga kita yang lain untuk tidak masuk ke sini. Kehidupan di sini pahit. Jika suatu saat kelak kita melihat anak-anak kita melenceng, kita dapat luruskan,” berkata si B.

“Berbeda halnya dengan orang baik-baik yang tak pernah masuk penjara. Mereka sangat keras terhadap anak-anak mereka. Bila-bila masa salah seorang anak mereka melenceng dan berbuat salah, mereka menghardik, memukul, dan bahkan mengusirnya. Keadaannya akan lebih buruk. Anak itu kelak akan jadi penjahat sebenar,” kata si C.

“Kita tidak. Kita faham seni mendidik, karena kita memang pernah mengalami pahit getir di sini,” kembali si A angkat bicara.

Dalam pada itu, waktu muster acap berguna bagi beberapa orang tahanan untuk berkonsultasi. Salah seorang tahanan yang memanfaatkan kesempatan berbincang-bincang di sela-sela muster adalah seorang etnis Melayu yang biasa duduk di dekat pojok baratdaya. Saat itu terlihat ia berbincang serius minta pandangan lurah terhadap kejadian-kejadian aneh yang menghantui tidurnya. Masa tidur adalah masa yang tak pernah nyaman baginya. Waktu tidur adalah waktu yang sangat tidak disukainya. Dalam tidur ia kerap mengigau dan menjerit dengan suara berat tertahan.

“Saya bermimpi ada suara-suara yang mengatakan bahwa untuk kes saya, saya diganjar dengan hukuman gantung.”

“Lawan suara-suara buruk itu,” memberi saran lurah kepadanya, “Saya bukan Muslim. Tapi saya anjurkan Anda untuk bersembahyang shalat,” berkata lurah melanjutkan ucapannya.

“Insya Allah.”

* * *

Reog Ponorogo, Khasanah Seni Budaya Melayu

Disamping Jawa Indonesia, banyak juga penghuni lokap Dewan-B merupakan Jawa Melayu; yaitu etnis Jawa berkewarganegaraan Malaysia. Mereka masih terhitung lumayan lancar berbahasa Jawa. Beberapa Jawa Melayu kerap merapat denganku. Meski terlahir sebagai generasi baru dengan status kewarganegaraan Malaysia, tetap saja mereka menyimpan sesuatu rasa keingintahuan mereka terhadap Tanah Jawa; asal usul leluhurnya. Ada yang datang menghampiriku hanya untuk sekedar menguji dan mengasah kepiawaian berbicara. Ada yang bertanya tentang bagaimana rupa Tanah Jawa dan kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya. Bahkan ada yang mengutarakan niatnya untuk dapat berkunjung ke pulau Jawa. Beberapa orang tercengang ketika kuberitahu bahwa di pulau Jawa sendiri bahasanya rupa-rupa.

Dalam beberapa hal, Cina dan Jawa punya persamaan. Sebagaimana halnya orang-orang Cina yang bangga akan identitas leluhurnya, demikianlah orang Jawa. Pergi merantau dan bermukim di manapun, masyarakat Jawa selalu membawa serta bahasa dan budaya. Dalam keseharian, masyarakat Jawa berbicara bahasa Jawa dalam komunitasnya. Satu bukti untuk menunjukkan betapa warna Jawa telah menjadi bagian yang melekat pada bangunan Negara Malaysia adalah dimasukkannya Reog Ponorogo sebagai kekayaan khasanah seni budaya dalam ruang hidup bangsa Melayu. Tentu Melayu yang mereka maksudkan adalah Malaysia. Tak urung, pengakuan itu sempat membuat sewot orang Jawa yang tinggal di Indonesia. Yang bukan Jawa pun ikut-ikutan merasa kebakaran jenggot karena alasan nasionalisme.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar