Selasa, 31 Maret 2009

Untung Kerakap di Lempung Pematung

Untung Kerakap di Lempung Pematung

Raja adalah sosok remaja belasan tahun yang tiada berpengharapan. Badan anak berdaun telinga lebar itu kurus kering. Ketika naked to the waist, terlihat bahu naik, tulang-tulang rusuk menonjol di permukaan kulit dada. Warga Myanmar ini segan makan, tak hendak mandi, dan berpantang berak. Sekali-sekala ia berak di celana. Berbicara pun dia tak suka. Diam seribu bahasa. Kalau pun makan, jarang ia mengambil sebanyak yang dijemput dengan jari untuk sekali suap. Ia juga hanya menelan dua tiga suap nasi putih tak berteman; tanpa sayur, tanpa lauk pauk; puasa mutih, orang Jawa bilang. Kadang-kadang Raja mengepal-ngepal nasi dan menyocolnya pada kuah sayur sebelum disuap agar tidak terlalu seret di kerongkongan ketika ditelan. Pada Raja, makanan lebih lama dikemut ketimbang dikunyah sehingga tak lembut-lembut. Berdikit-dikit Raja makan.

Yang juga membuatku tak habis pikir adalah anak ini tak mau diberi blanket lebih dari satu helai. Ketika tiduran, selimut tersebut ia jadikan tilam. Akan tetapi, ketika tidur sungguhan, selimut itu tetap berfungsi sebagai selimut; sedangkan antara badan dan lantai tiada pembatas. Ia ada dalam penjara karena kasus pelanggaran undang-undang keimigrasian. Sedangkan kehadirannya di Dewan-B adalah karena depresi. Telah berbulan ia ada di sini dan konon, menurut yang empunya cerita, hakim selalu menunda-nunda keputusan hukuman terhadapnya karena Raja tak pernah memberi respon ketika ditanya. Ketiadaan lawyer yang dapat menyuarakan kepentingannya membuat kasus Raja berlarut. Dari sudut pandang praktis, pendekatan pada sistem peradilan memerlukan jasa lawyer dan persiapan dana yang mencukupi untuk menutup ongkos perkara; dan Raja tidak sanggup menyediakan itu semua. Jika diberi opsi, sangat mungkin Raja malah lebih memilih hidup tenang di balik jeruji besi ketimbang pulang negara menyaksikan bangsanya sendiri merana sehari-hari tercabik dalam perang saudara.

Seorang rekan berkisah bahwa pada suatu masa persidangan, Raja sempat membuat geger seisi Mahkamah. Ketika dicecar pertanyaan oleh hakim, tak sepatah kata jua ia menjawab. Malahan karena takutnya, Raja terkencing-kencing di kotak terdakwa. Sipir mahkamah jadi sibuk mengepel dan membersihkannya. Setelah menjadi tahanan lama pun, Raja masih sempat mengecap pengalaman dirampok. Baju bagus lengan pendek yang dipakainya dirampas pada hari ketika ia sedang naik mahkamah. Bahkan tali kolor celananya dicopot oleh kawanan penyamun; sehingga ketika ia mengenakan celananya yang komprang di pinggang, dia betot bagian depan celana yang berlebih itu, diputar tiga-perempat lingkaran, untuk kemudian diselipkan ke dalam dan agak ke kanan – sebuah cara yang serupa dengan cara ketika orang mengawang sarung atau mengenakan kain samping. Betapa repot dia kulihat ketika harus membetulkan letak lipatan celananya agar tidak terus-menerus melorot. Sementara celana dalam tiada pula dia berpunya. Sedikit bimbingan dan bantuan tentu bermanfaat bagi Raja.

Adalah Combat – pesakitan asal Takengon, Aceh Tengah – dengan sabar mengopeni Raja. Aku pun akhirnya turut membantu mengurus anak ingusan ini. Kami paksa dia makan. Kami bujuk dia untuk mandi. Kami rajin mengingatkannya untuk berak. Jawabannya selalu sama “Tak mau!” Dan kami pun dengan suka hati mengajak dia untuk mencuci pakaian yang dikenakannya. Kami juga meminjaminya pakaian bila-bila masa pakaian dia basah dicuci. Selain “Tak mau!” satu-satunya kata lain yang kerap diucapkannya adalah “Assalamu ‘alaikum.” Ucapan salam khas Muslim itu hasil pengajaran dari Combat kepadanya.

Suatu saat, 4 malam 5 hb Juni 2007. Hanya karena aku tidak bersih mencuci celana Raja yang diberakinya, Combat memukul Raja. Apa pasal? Lenyap selera makan Combat; padahal dia sengaja menyimpan jatah makan petangnya untuk disantap malam hari. Tiba waktu makan yang telah direncanakan, di hidungnya terhidu bau tak sedap. Dia endus sana sini. Dan ditemukanlah punca aroma tak elok itu: pantat Raja. Kontan saja ia meradang; menuduh Raja tercirit lagi di celana. Combat menjadi begitu kecewa karena merasa bahwa kerja kerasnya selama ini dalam mendidik Raja seakan tidak berbuah; berujung pada kesia-siaan. Tetap saja, sang Raja buang air – besar dan kecil – sembarangan di celana. Klop sudah; bagai daun muda layu kering yang akan gugur, Raja ada dalam tubuh tanpa ruh. Ia hadir bagai kerakap tumbuh di batu; hidup segan mati tak mau. Malam itu juga Raja kumandikan dan kupinjami seluar (celana).

Combat sendiri adalah seorang pesakitan yang benar-benar sakit. Hari-harinya selalu dilewatkan dengan penderitaan. Kerap ia merintih kesakitan dan kedinginan manakala malam menjelang. Sebelah tungkai kakinya cacat permanen karena terjatuh dari lantai lima sebuah gedung bertingkat; ketika itu, ia tengah berusaha melarikan diri dari kejaran polisi yang menjebaknya. Satu lempeng pelat besi putih telah ditanam di dalam tubuhnya untuk menyangga femur – tulang paha – yang hancur-lebur berantakan. Tempurung lututnya remuk dan telah dibuang; dan tempatnya digantikan oleh baut dan mur logam besi. Tidak hanya sekali dua, dia menggamit tanganku dan membimbingku meraba-raba kakinya yang mengecil dan lѐmpѐr. Dengan tongkatnya, tertatih-tatih ia menatah tanah; di lain waktu, ngesot. Sekali dua, dia lompat-lompat seperti kangguru berkaki satu. Bila sedang berada dalam kesendirian, disapunya kaki kecil dan bekas-bekas luka yang menyertainya dengan pandangan sekeras dan sedingin es batu.

Meski demikian ia punya keyakinan bahwa suatu saat nanti kakinya akan pulih kembali seperti sedia kala setelah menjalani perawatan di salah satu dari sekian banyak bengkel patah tulang yang tersebar di antero Aceh dan Sumatera Utara. Tentu setelah ia keluar dari penjara. Keyakinannya begitu kuat hingga tak ada yang mampu mematahkannya. Sambil memijat-mijat pinggul, paha, lutut, betis, sampai ke ujung-ujung jari kaki, dia bilang bahwa kelak di bengkel tulang, tulang belulangnya yang cacat akan dihancurkan terlebih dahulu untuk kemudian dibentuk ulang, bagaikan cara kerja seniman tanah lempung dalam mencipta patung.

Combat adalah pesakitan yang disyaki telah menculik seorang perempuan muda usia. Adalah suami dari perempuan tersebut yang melaporkannya kepada pihak yang berwenang bahwa Combat telah menculik dan menyekap istrinya. Padahal, menurut pengakuan Combat kepada kami-kami, adalah perempuan rupawan bak gadis sampul itu sendiri yang telah datang menghampiri dan bertamu ke kediamannya untuk curhat berbagi cerita duka. Dan yang membuat nasibnya terkatung-katung adalah kenyataan bahwa suami dari perempuan tersebut tidak bersedia datang untuk bersaksi di Mahkamah. Karenanya, dalam setiap masa dia naik mahkamah, kasusnya selalu postponed – ditunda dan ditunda lagi.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar