Selasa, 31 Maret 2009

Pergi Polisi, Terikut Raib Barang-Barang Kami

Pergi Polisi, Terikut Raib Barang-Barang Kami

21.00. Rombongan KPDN tiba. Selang setengah jam, Polisi cabut. Atas saran petugas KPDN, kami bergegas memeriksa barang masing-masing. Kutemukan pakaian di lemariku amburadul. Bah! Dasar kucing celutak kurang asem yang tak pernah pergi mengaji, tujuhpuluh ringgit pun mereka sabit. Geli rasa hatiku.

Duduk di sebelahku, tersedu sedan berurai air mata Listia menangis meratap. Telepon bimbit yang belum lama dia beli dari uang tabungannya lenyap diembat dalam tempo sekejap. Merintih di sela tangis, Listia berharap dengan hormat simcard-nya kembali; karena padanya tersimpan nomor-nomor kontak penting. Juga ia kehilangan uang yang telah dihematnya satu bulan terakhir. Demikian pula halnya dengan Ali. Bersungut dia bilang jika dia kemalingan duit ratusan ringgit. Yang paling sial tentulah boss. Nyaris seluruh barangan hasil sitaan tanpa tanda terima maupun surat sita yang dijejalkan ke dalam dua buah tas hitam dan turut dijarah oleh polisi sudah barang tentu milik dia. Juga mereka bawa laptop tercanggih dan sebuah PC Core 2 Duo dengan kapasitas harddisk 320 GB plus sebuah LCD anyar yang biasa kupakai kerja. Dio dan Arman barangkali cukup beruntung. Tak ada barang kepunyaan mereka yang hilang. Akan tetapi tetap saja air muka mereka tidak bercahaya; bermuram durja.

Polisi mendapat windfall – durian runtuh, pikirku. Uenak tenan. Terlalu banyak yang mereka kutil, titil dan pipil dalam rentang waktu yang begitu singkat. Karena deraan hidup yang serba sulit, ada pencopet dan ada juga babi ngepet nekat beroperasi dalam tempo mepet. Lincah gerakan mereka ketika menggasab serta berbuat sesuka hati atas barang-barang milik orang lain. Lengah, kami kecolongan. Menangguk di air keruh telah menjadi keterampilan hidup mereka yang kelengar secara turun temurun. It was loot they could not live without. Mungkin mereka loyal terhadap hukum dan undang-undang negara, tetapi mereka juga adalah pekerja awam yang lebih tunduk pada hasrat untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup yang tiada bersempadan. Di hati mereka, kewenangan menggunakan kekuasaan undang-undang telah menjadi semacam kutukan hidup dengan akar yang terlalu kokoh untuk dicabut. Sejarah akan mencatat, sindrom harta rampasan adalah magnet yang memikat sepenuh minat mereka untuk tetap giat berkhidmat.

Tak cantik mereka bermain. Larut dan hanyutlah mereka dalam parit limbah moral hazard (budaya mumpungisme). Selagi ada waktu dan kesempatan, kewenangan sebagai pemangku hukum dan undang-undang mereka manfaatkan secara salah dan serong untuk menindas sesama; demi keuntungan pribadi dan kelompok-kelompok kecil pribadi. Mereka pikir mereka telah berjaya mendapatkan cara-cara yang sistematis untuk menggelembungkan pundi-pundi kekayaan mereka. Menyamun ketika berdinas mereka anggap sebagai sebuah perkara biasa yang paling alamiah di dunia. Mereka melakukannya dalam banyak cara sebagai usaha untuk mengungkit kemakmuran pribadi dalam lingkaran sosial mereka. Tanpa perasaan malu mereka kotori ladang mereka sendiri. Tak pernah mereka berpikir bahwa tindakan mereka akan menimbulkan masalah yang jauh lebih besar kelak di kemudian hari. Tiada mereka menyadari bahwa perilaku mereka yang gencar mengincar dan mengejar rampasan akan berbuah reaksi-reaksi tidak langsung dan pula tidak dapat diprediksi. Berani aku bertaruh, belum pernah ada seseorang guru yang menyeru dan memberitahu mereka bahwa merampas dan menjarah – apalagi dari orang-orang teraniaya – bisa bikin sial seumur hidup dan membuat pelakunya menyesal abad alabid; berkekalan. Tiada pula kelompok pelalai itu menyadari sejak dini bahwa bertanam lalang tak akan tumbuh padi. Berpuluh dalil ada dengan nas sahih berkenaan dengan pengertian kebajikan hidup seperti itu.

Tidak mungkin mereka tidak tahu bahwa pekerjaan mereka salah. Lebih mungkin lagi mereka yakin bahwa itu adalah pekerjaan salah yang tidak melanggar hukum menurut kadar pikir mereka yang – tiada bosan aku bilang – tak pernah pergi mengaji. Mereka cukup percaya diri bahwa kami tidak akan pernah melapor, bahkan tidak akan berani bersuara sama sekali walau peluang untuk berbicara itu ada dan terbuka lebar-lebar. Mereka yakin betul bahwa kami takut. Karena mereka adalah bagian dari industri pelayanan pemanfaat rasa takut sehingga wajar jika kubilang mereka mengejar untung dari teror. Ditambah lagi, mindset mereka teguh pada stigma bahwa kami semua adalah penjahat; sehingga, dalam wilayah kesahihan tertentu, boleh jadi telah sampai mereka pada mufakat di persekitaran profesi mereka secara kelembagaan: mencuri dan mengutil itu memang salah, kecuali mencuri dan mengutil dari penjahat.

Ketika kami komplain kepada aparat KPDN hal ihwal raibnya barang-barang kami, cuma respon pasif yang kami dapat; mereka angkat tangan. Sebenarnya mereka dapat memberi pertolongan optimal kepada kami untuk mendapatkan kembali barang-barang kami yang raib dengan tidak membahayakan keselamatan diri dan keluarga mereka; karena mereka punya kewenangan yang dilindungi undang-undang. Akan tetapi, alih-alih mengkonfirmasi atau mengkonfrontir, tiada sesuatu yang mereka perbuat untuk merespon klaim kami. Mereka tak mau berhadapan dengan polisi. Ngeri face to face; tak mau man to man; jengah mereka one on one. Kuncup hati mereka. Karena seguru seilmu tak boleh saling mengganggu, sehingga tiada hendak mereka bersengketa secara terbuka.

Mereka cuma bilang “Begitulah bila Polis mendahului kami.” Silap mata, hilang barang. Kalau begitu, tiadalah berguna orang-orang KPDN itu suruh-suruh kami memeriksa semua barang yang kami miliki jika mereka tak mau menanggung sesuatu konsekuensi dari kata-kata yang masih hangat dan belum juga kering mulut mereka mengucapkannya. Capek deh! Lebih suka mereka menebar gosip; bad-mouthing – mengata-ngatai dan mengorek-ngorek lubang malu – polisi penjarah ketimbang menawarkan solusi. Banyak-banyaklah mereka bercakap mengenai aib daripada kawan-kawan mereka itu. They had plenty to say about it; seolah-olah mau bilang, ”Bukan kami lo yang suka panjang tangan. ‘Twas not we who rummaged and plundered your belongings, Encik. It was they. We’re clean, you see? Tengoklah, Encik, we’re clean!”

Ahhh, sudahlah, Tuan. Jangan diperpanjang sama sampean. Tak masalah. Itung-itung buang sial. Anggap saja itu bagian terkecil dari zakat yang mesti kami sisihkan dan belum sempat kami edarkan untuk fakir miskin mustahik, Encik. Bahagia rasanya dapat menyantuni kaum papa dari golongan pekerja awam berkekurangan yang berkhidmat dengan senyuman untuk Negara di negeri Encik yang konon makmur sejahtera. So they have so much to keep; biar mereka dapat memiliki barang-barang yang lebih bagus untuk dipakai dan dipertontonkan kepada kerabat dan rakan-rakan.

Demikian pula bolehlah mereka sekali-sekala menahan dan melepas sesiapa saja yang mereka suka untuk mendapatkan satu dua sen keuntungan pribadi dalam rangka penguatan daya beli mereka demi menghidupi anak istri selagi sempat. Demikian itu adalah satu-satunya cara termudah yang dapat mereka pikirkan untuk mereka bertahan, berdikari, dan bertumbuh-kembang dalam menggapai begitu banyak bayang-bayang kemewahan duniawi yang siang malam selalu mereka mimpikan di tengah-tengah dahsyatnya hempasan gelombang kehidupan ekonomi global yang semakin sulit.

Meski demikian, kuharap mereka tahu betul apa yang mereka lakukan. Jika hanya karena pertimbangan besaran insentif ekonomi, bolehlah mereka melepas siapa saja yang mereka suka dan menangkap siapa-siapa lainnya yang mereka tidak suka. Namun, menciduk seenak perut berdasar favoritisme suku bangsa – sentimen negatif yang mereka tunjukkan terhadap pekerja Indonesia secara kolektif – itu kontra-produktif karena mengundang masalah. Sangat berbahaya dan mahal ongkosnya, kawan. Betapa dungu mereka. Hanya karena rasa sayang untuk satu dua ringgit duit kopi yang lebih pekat pahit ketimbang manisnya, mereka pertaruhkan masa depan karir mereka. Kusayangkan itu karena mereka masih muda-muda. Tahukah mereka bahwa kekuatan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi Millennium ke-3 dengan Information Superhighway-nya semakin tidak memberi celah bagi sesiapa pun juga – termasuk mereka yang berada pada jajaran penyelenggara negara – untuk lari dan sembunyi dari kungkung karma? Kurang yakinkah mereka bahwa pertanggung-jawaban seseorang terhadap setiap perkara yang ia lakukan itu pasti adanya?

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar