Selasa, 31 Maret 2009

Malaysians First

Malaysians First

Pengurusan warga negara Malaysia dilakukan terlebih dahulu. Sementara itu, kawanku si Pendendang telah akrab kembali denganku. Sewaktu rombongannya hendak diberangkatkan, setengah berteriak ia menyapa dan melambaikan tangannya kepadaku; memintaku untuk mendoakannya agar segera bebas, tradisi yang selalu dilakukan oleh setiap banduan untuk saling mendoakan bagi kebebasan. Sebelumnya, ia mengingatkanku untuk tidak lupa menanggalkan dan membuang semua pakaian yang pernah melekat dan disandang badan selama berada dalam tahanan jika kelak aku bebas. Dia bilang jangan sampai ada yang masuk rumah karena semua itu adalah barang-barang rombengan pembawa sial yang telah menyengsarakan.

Ketika Ali tidak ikut berjalan beriringan dengan warga Malaysia, seorang tahanan etnis India Malaysia meneriakinya. “Hey, kau bukan Malaysia?” bertanya ia kepada Ali. “Bukan, Indo,” menjawab Ali. Kami kadang-kadang menyebut Indo untuk Indonesia; jauh lebih enak di telinga ketimbang Indon yang terkesan menghinakan sehingga terdengar menyakitkan. Wajah khas oriental Ali sering pula menyesatkan banyak tahanan. Logat bicaranya yang kental Melayu menyebabkan banyak orang menduganya sebagai Warga Malaysia. Banyak juga yang menyangka Ali sebagai warga Myanmar, terutama setelah kepalanya dicukur plontos.

Setelah semua Warga Malaysia habis, kini giliran warga asing untuk diberangkatkan. Prosesnya yang melelahkan membuat penat otak ini jadinya. Yang membuat prosesi turun bilik lebih tidak nyaman adalah ulah orang kerja yang sok kuasa. Mereka suka membentak-bentak dan mencaci-maki. Penistaan itu dilakukan terutama sekali ketika tak ada sipir yang mengawasi.

Sesampainya di lokap Dewan-A blok Ehsan, tahanan dibagi dalam dua kelompok dengan posisi duduk yang bertolak belakang; setengah menghadap ke timur dan setengah menghadap ke barat. Kedua kelompok saling memunggungi. Banjar terakhir dari kelompok yang menghadap timur beradu punggung dengan saf belakang dari kawanan penghadap barat. Beberapa sipir secara bersama selama beberapa saat mengedari barisan tahanan. Kemudian, secara maraton dua orang kerja – satu di ujung timur, satu di ujung barat; masing-masing diperlengkapi dengan clipper (ketam elektrik) – dalam waktu yang bersamaan mencukur rambut di kepala satu demi satu tahanan di bawah pengawasan seorang sipir berpangkat kopral. Ketam juga melindas kumis, jenggot, dan cambang. Satu per satu pula manusia berambut gondrong dan gombyok bersalin penampilan menjadi plontos; muka berewok jadi lebih bersih dan licin. Sejumlah tahanan warga Bangladesh, karena alasan religi, menolak ketika orang kerja hendak mencukur cambang mereka yang kucel dan ketel. Mereka pertahankan cambang dan jenggot tumbuh lebat tak terpotong. Barangkali ubur-ubur dengan tentikel berjumbai tampak lebih mendekati perumpamaan untuk penampilan orang-orang berkepala plontos dengan cambang dan jenggot merumbai.

Dalam pada itu, demi menyaksikan semua banduan baru yang masuk saat itu berkewarga-negaraan asing, kopral menggerutu, “Malaysia sesak dibikin warga asing. Kalau saya PM (perdana menteri?), saya tembak semua warga asing yang ada di Malaysia.” Tidak kutahu apakah ia serius dengan ucapannya atau sekedar berkelakar. Meski banyak yang tersinggung dengan ucapan tersebut, tak satu juga dari kami yang menanggapi. Cik kopral tak menyadari, salah-salah dia bisa penyet – gepeng – jika kami bereaksi serempak bak kawanan lebah terusik. Kasihan aku kepadanya karena Xenophobia – ketakutan dan kebencian terhadap orang asing dan apa pun yang asing – telah merasukinya.

Dan sebelum giliran pangkasku tiba, aku menyelinap dan melapor ke meja pelayanan yang ditunggui oleh dua orang sipir untuk mendapatkan fasilitas perawatan. Kedua sipir itu lantas menyuruhku untuk memberi data kepada orang kerja yang duduk di meja pelayanan lain. Setelah itu orang kerja menempatkan aku di sel Dewan B, sel khusus untuk orang sakit di blok Ehsan. Namun sebelumnya, aku dicukur gundul sama seperti tahanan-tahanan lainnya. Karena kurang tajam, clipper serasa menggigit-gigit menyakitkan penampang kulit ketika mengetam rambut, kumis, dan jenggotku. Kepalaku menjadi kepala terakhir yang dipangkas hari itu.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar