Selasa, 31 Maret 2009

Piguran Kacangan; Menyusuri Lintasan Licin di Zona Biru

Piguran Kacangan; Menyusuri Lintasan Licin di Zona Biru

Rabu, 2 Mei 2007. Agak siangan, penyidik KPDN menjemput kami dari lokap. Mengetahui bahwa kami tersangkut kasus VCD bajakan, seorang polisi berkicau.

“Ada yang biru tidak?” bertanya dia dengan tekanan suara yang sengaja ia tinggi-tinggikan agar terdengar oleh seisi lokap. Barangkali ia ingin kelihatan hebat.

”Yang merah juga tak ada,” lugas aku memapas. Alih-alih film porno, film biasa juga tak ada. Tak ada sekeping juga VCD/DVD bajakan di perusahaan kami. Adapun DVD legal yang turut mereka sita semuanya film beradab. Senonoh setiap kepingnya.

“Pandai kau cakap!” polisi itu meradang; suaranya menggeram; merah mukanya seperti udang dipanggang. Ekspresinya bergerak secepat kilat; dari nyinyir menjadi pitam. Aku terdiam. Kalaulah untuk menggambarkan kekesalannya kusaput krayon dan kuas ke atas kanvas, pada leher si perongos itu menggandul onggok beguk sebesar bengkuang. Baru aku sadar jika aku adalah tahanan dan jika hanya dia yang boleh bicara berseloroh dan mencemooh. Tidak boleh tidak, terpaksa aku jaga sikap biar selamat.

Kupikir-pikir lucu juga ketika ia tiba-tiba dan secara tidak terduga nongol dalam cerita ini hanya lantaran responnya yang blingsatan dan reaktif emosional. Padahal ia tampil cuma sebagai seorang piguran kacangan dengan peran yang teramat kecil dalam sebuah kisah yang sebetulnya tidak terlalu besar. Ia adalah pribadi yang berkutat dalam masalah pengendalian diri sehingga karakter yang dimainkannya pun mewakili jiwa yang sakit dalam sebuah perjalanan hidup yang miris. Tidaklah beras sama putih. Barangkali karena ia anggap dirinya lebih bermartabat dari kami, maka ia merasa boleh berlaku lebih. Dalam budaya feodalistis berwatak ego sentris, semua daya selalu bekerja satu arah; tiada boleh ada keseimbangan. Ia yang berasal dari sebuah masyarakat feodal tidak akan pernah mau mengakui kesetaraan derajat dan martabat manusia.

Ia akan sangat marah karena menahan malu ketika ada yang berani tampil menandingi. Menjawab gurauan dengan gurauan, contohnya, dianggap sebagai melecehkan harga diri. Sesuatu tanggapan verbal yang kami sampaikan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan dinilainya sebagai kekurang-ajaran kami yang bermulut lancang. Ia tak siap mendengar jawaban atas pertanyaan tak-mendasar yang ia lempar sendiri secara serampangan. Tiada guna aku mendebat karena memang tidak akan pernah ada di antara kami kata sepakat. There’s no point in debating with people like this. Period.

Berbicara adalah seni menyampaikan pesan. Seni seyogyanya menenteramkan. Jika kemarahan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan komunitas Anda, tarik nafas dalam-dalam dan merenunglah sebelum berucap. Bila kesempitan adalah ciri dalam cara Anda berpikir, hitunglah segala kemungkinan. Jika Anda tidak siap dengan jawaban tak-terduga atas pertanyaan-pertanyaan konyol yang Anda ajukan sendiri, sebaiknya Anda diam. Dalam kondisi serupa itu, diam adalah emas. Akan tetapi bilamana Anda tetap tidak dapat mengawal diri karena terlalu gatal mulut hendak bersuara, alangkah baiknya Anda terlebih dahulu tekun berlatih bicara dengan benda tak bernyawa – asbak misalnya – tiga kali seminggu dengan durasi tiga jam setiap kalinya selama tiga bulan penuh tanpa terpenggal. Jangan tangung-tanggung; karena berguru kepalang ajar ibarat buah kembang tak jadi.

Agar Anda merasa nyaman, lakukanlah itu ketika Anda ténggén – di bawah pengaruh arak. Lalu, mengapa asbak? Karena ia cocok sebagai sarana pelampiasan dalam suasana hati yang lekas marah. Dicaci-maki dan diludahi pun, tiadalah tempat abu rokok akan bereaksi. Asal jangan ditiup, karena abunya akan beterbangan seketika dan membuat mata Anda kelilipan sampai berkedip pun tak akan Anda berkuasa ketika perih terasa. Bagai menepuk air di dulang, terpercik wajah sendiri. What’s the point? Taktik dan strategi to minimize costs and maximize benefits. Dan jika Anda menuntut pengajian dari seorang tutor, carilah widyaiswara bermutu yang dapat memotivasi Anda berbicara halus dengan hati yang lembut.

Sebelumnya, pertanyaan serupa pernah diajukan oleh penyidik KPDN kepada kami di kantor KPDN Petaling Jaya tanggal duapuluh delapan bulan April. Jawaban serupa pun kusampaikan; karena memang semua VCD/DVD koleksi boss yang turut mereka sita berstatus legal dan sejauh ini belum ada pemeriksaan cermat terhadap keping demi kepingnya untuk menemukan sesuatu frame gambar bogel atau adegan esek-esek cabul di atas rosbang. Beruntunglah mereka karena tidak melakukan pemeriksaan maraton terhadap keping-keping VCD/DVD yang makan waktu panjang serta melelahkan. Jika pemeriksaan tetap mereka laksanakan, secuilpun tak ada keyakinanku kalau mereka akan mendapatkan hasil sebagaimana yang mereka sangkakan walau mata mereka sampai lamur sekalipun. Otak mereka saja yang ngeres dengan jalinan syaraf ѐrang-ѐrot.

Usahkan duduk berlama-lama memeriksa tajuk demi tajuk dan memelototi gambar demi gambar pada putaran cakram demi cakram yang terkandung dalam segenap koleksi untuk mengakses dan menyisir lintasan-lintasan sempit nan licin menggelincirkan di zona biru, sebatas membuka lembar demi lembar dari bundel arsip hard copy manajemen yang jumlahnya tak seberapa sebagai basis data bagi panjatan kaki asupan informasi – dan menghadapkannya kepada kami – pun barangkali tidak pernah terkilas dalam benak mereka yang jengah lelah mengurai simpul perkara yang sesungguhnya tidak terlalu rumit atau sulit. Mereka kehilangan banyak hal tentang isi dokumen itu. Bertambah pula, beberapa unit komputer yang berisi fakta kegiatan manajemen jika dibuka tentu akan makin mampu menyingkap lebih terperinci bagian-bagian apa saja yang sejatinya mereka cari; meski ketelitian amat diperlukan.

Tapi saat itu, meski tidak berkenan di hati, petugas KPDN tidak sampai meledak-ledak dalam kemarahan; boleh jadi mereka telah pernah mengikuti dan lulus ujian kursus khusus anger management (tata amarah) dengan judisium cukup memuaskan. Hanya air muka mereka saja yang berubah menjadi keruh seketika. Aku suka reaksi spontan dengan ekspresi wajah dungu dan perubahan tata letak tubuh salah tingkah begitu. Jika garis dan warna muka boleh secara agak pasti mengandungi erti mewakili suasana hati, betapa gerah perasaan mereka terhadap respon nyelekit dariku. Reaksi culun mereka ketika mingkem menggigit bibir bawah lantaran menahan bauran rasa malu dan geram sepertinya telah memberkati dan turut memperbaiki rasa percaya dan harga diri kami. Dalam kejohanan bola sepak, misalnya, poén yang kami dapat dari menewaskan lawan tentu telah bertambah tiga angka karenanya. Aku berjaya memaksa mereka belajar secara benar kapan dan kepada siapa kelakar tak boleh dilontar.

Setelah mengenakan pakaian bagian atas, kami diborgol dan dibawa ke ruang intelijen Balai Polis Puchong yang masih berada di bawah atap yang sama dengan lokap yang mengurung kami. Di dalam kulihat ada seorang perwira polisi dan beberapa unit perangkat komputer. Kupikir, inilah saatnya penyidikan akan dilakukan secara komprehensif; membedah isi komputer. Ternyata tidak. Itu semua bukan komputer kami. Itu adalah komputer polisi atau komputer orang lain dalam perkara lain. Dan ketika kami berada di ruang tersebut, anggota intel kepolisian yang ada di situ mengatakan kepada para penyidik KPDN bahwa dia sama sekali tidak mengetahui kalau ada operasi yang dilakukan oleh rekan di satuannya yang bermuara pada penangkapan kami. Rupanya, itu operasi rahasia segelintir oknum ranger yang punya kepentingan tertentu. Percakapan tersebut jelas kami dengar; wong dia bilangnya di depan hidung kami kok. Mereka memang suka runtang-runtung menjelajah kawasan mencari guyuran uang kopi. Keluyuran menjerat mangsa untuk sokongan program penebalan isi kantong adalah kegemaran mereka yang merasakan nikmatnya cara dan sarana tak-damai dalam bermata-pencaharian.

Selain itu juga terungkap, semula penyidik hendak siasat kami ke luar. Berhubung hari libur, otomatis kantor KPDN tutup hari itu. Polisi menanyakan tempat pemeriksaan. Tergagap aparat KPDN kesulitan memberi jawaban. Akhirnya mereka meminjam tempat di ruang intel Balai Polis Puchong. Akibat buruknya, meminjam tempat orang menimbulkan rasa tidak nyaman. Kehadiran pihak ketiga – aparat intelijen kepolisian – dalam ruangan itu tampaknya membuat penyidik KPDN terpaksa membatasi pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan untuk kami jawab. Lebih banyak mereka berbasa-basi menanyakan keadaan kesehatanku dan obat yang rutin kuminum. Selain itu, mereka menanyakan nomor ponsel seseorang yang dapat dihubungi untuk pengurusan kasus kami; apakah dijamin atau tidak. Ali bilang dia tidak ingat nomor boss atau orang kantor. Nomor ada pada ponsel yang kini tidak dipegangnya. Ada kesan kuat Ali enggan memberi nomor kontak karena bosan dengan pertanyaan yang itu-itu saja. Pertanyaan tunggal itu – jika ditulis dalam setiap pemeriksaan dan dijilid – hanya akan menciptakan satu eksemplar buku berisi lembaran-lembaran halaman yang tampak seperti hasil fotokopi satu warna belaka.

Jika Ali memang mau membantu pihak KPDN untuk mendapatkan nomor kontak boss dan orang-orang penting lain yang diperlukan, dia tinggal mengatakan hal itu kepada penyidik karena ponsel kami waktu itu dititipkan di balai polis yang sama. Tentu aparat KPDN dapat membicarakan perkara tersebut dengan aparat kepolisian. Untuk kepentingan penyidikan, polisi pasti mau membantu. Kendati demikian, Ali bilang dia sudah memberi nomor yang bisa dihubungi kepada petugas KPDN Putra Jaya (Pusat). Selebihnya, tiada sesuatu risalah bermakna yang mereka dapatkan. Dan kami pun diantar masuk sel kembali. Di depan pintu lokap, seorang sipir berkomentar dengan wajah penuh keheranan, “Cepat sekali.” Ya ia lah! Biasanya kan pemeriksaan dilakukan di luar ruangan dan berlangsung dalam hitungan jam. Sedangkan pemeriksaan kali ini cuma formalitas belaka yang dilakukan di kamar sebelah dan menghabiskan waktu tidak lebih dari sepuluh menit.

Keesokan harinya, Kamis 3 Mei, kami nanti kedatangan KPDN lakukan pemeriksaan. Namun mereka tak kunjung datang. Kecuali Sabtu 28 April 2007 di kantor KPDN Petaling Jaya, tiga kali pemeriksaan tambahan terhadap kami yang dilakukan oleh aparat KPDN berlangsung tanpa kehadiran Listia. Hingga detik ini pun aku tidak mengetahui apakah Listia juga pernah menjalani pemeriksaan serupa selama kurun 29 April sampai dengan 3 Mei 2007.

* * *

Tabung cahaya depan Bilik 6 mati permanen. Temaram sel yang hanya mendapat pantulan sinar dari luar dimanfaatkan oleh geng untuk menyiksa tahanan baru yang mereka anggap tidak kooperatif. Dari Bilik 6, sering terdengar suara-suara benturan benda keras pada tembok, caci maki menghardik, tiplak-tipluk pukulan di wajah, serta rintih tangis dan suara memelas mohon ampun yang memilukan. Lantaran kesal dengan ulah penyiksaan yang samar-samar tampil pada layar VCR kamera pengawas, seorang sipir mengosongkan dan menggembok Bilik 6. Akan tetapi, menimbang padatnya penghuni yang membuat lokap nyaris tak muat, pengosongan sel tempat orang menyiksa orang itu tidak berumur panjang. Gembok Bilik 6 dibuka kembali.

Pernah suatu ketika, beberapa sipir mengganjar seorang tahanan nakal yang suka mengganggu tahanan lain. Sipir mengeluarkannya dari lokap. Di bilik jaga, tahanan berperawakan ceking ini dipukul dan ditendang bertubi. Ia juga mendapat peringatan keras untuk tidak pernah mengulangi sesuatu perbuatan sadis terhadap sesama tahanan. Tapi ibarat kata pepatah, biduk lalu kiambang bertaut. Bak mencincang di atas air, tiada jera yang mengesan di hatinya. Tidak lama setelah dihajar, tetap saja manusia tengil itu nekat mulai mengganggu tahanan lain.

* * *

Tiap hari ada saja satu dua tahanan yang keluar menghirup udara bebas atas jaminan. Setiap ada yang keluar karena mendapat jaminan dari majikan pun tak luput dari perhatian kami semua. Dan berhubung tidak ada kerja yang menyibukkan hari-hari kami, hal-hal semacam itu selalu saja kami diskusikan. Ketika itu, Ali kerap menghibur. Ia bertutur bahwa boss memang sengaja tidak menjamin atau menebus kami pada tahap-tahap awal penahanan yang dilakukan oleh kantor KPDN (daerah) Petaling Jaya. Boss, katanya lagi, hanya mau berhubungan dengan KPDN (pusat) Putra Jaya. Boss akan mempelajari kasus kami secara cermat terlebih dahulu untuk menaksir besaran ringgit yang harus disediakan untuk settle (penyelesaian damai di luar pengadilan).

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar