Selasa, 31 Maret 2009

Pendataan Identitas Diri Tahanan

Pendataan Identitas Diri Tahanan

Setelah aku difoto dan menunggu lebih dari satu jam dalam antrian, akhirnya nomorku disebut. Berlari kecil aku hampiri loket pendaftaran tahanan. Aku ditanya seputar nama, alamat, kewarganegaraan, umur, kasus, anak ke berapa dalam keluarga, kawin/tidak kawin, nama istri, dan jumlah anak. Lancar kujawab satu per satu dari semua pertanyaan tersebut tanpa kendala yang berarti. Sambil sesekali meraba, menggamak, menggeser-geser dan mengklik tetikus, petugas memainkan jari jemarinya melayang-layang lincah menari lembut di atas kekunci; mengetikkan data-data tersebut pada komputer yang ada di hadapannya.

Segera saja, secarik kertas baru seukuran lima kali sepuluh senti yang memuat nama, nombor banduan, kasus pelanggaran, status tahanan, dan kewarganegaraan pun kuterima dari petugas. Nombor banduanku 3-07-04956. Sebagaimana halnya dengan kelaziman yang dianut oleh tahanan lainnya, setengah mati aku hafalkan nomor tersebut tanpa dash. Tiga Kosong Tujuh Kosong Empat Sembilan Lima Enam. Selanjutnya, nomor identifikasi diri itu menyibukkan pikiran di sepanjang hariku.

* * *

Prosesi kuteruskan. Di depan telah menunggu tempat penyimpanan kasut dan jaket. Baru aku tahu, sepatu dan jaket tidak boleh masuk. Pantas saja, tidak ada orang yang mau merampas kedua jenis sandang ini. Dan kini aku faham sebuah situasi di lokap Mahkamah PJ (Petaling Jaya) yang terekam jernih dalam memori otak kecilku. Seorang tahanan lama mengembalikan jaket yang sempat dirampasnya dari Arman. Menggebu mereka rampas baju, celana, sandal, apalagi uang dan ponsel; apapun yang dikenakan dan dimiliki tahanan baru yang plonga-plongo kebingunan, kecuali jaket dan sepatu. Untuk kedua item tersebut, tiada mereka bernafsu.

Tidak ada resit yang dikeluarkan dari loket ini. Sepatu dan jaket diletak begitu saja.

* * *

Melangkah patah sembilan puluh derajat berlawanan dengan arah jarum jam, loket pemeriksaan kesihatan siap menanti. Sebuah papan pengumuman selebar badan dan setinggi pinggang rata-rata lelaki Asia dewasa dengan tulisan cat berwarna membetot seluruh perhatianku. Kurang lebih, diumumkan kepada segenap banduan penderita penyakit kronis yang mengancam jiwa – seperti HIV/AIDS, kencing manis, gangguan jantung, ginjal, patah tulang, dan sakit gila – untuk melapor. Kelalaian banduan untuk melaporkan diri dapat berakibat fatal.

Karena kadar glukosa darahku sempat mencapai angka 376 saat diperiksa gratis di RSUD Sumedang di awal tahun 2006, aku berniat untuk melaporkan diri. Tapi, tunggu dulu! Tak kulihat batang hidung petugas kesehatan di sini. Kutunggu barang lima menit, tak juga muncul. Akhirnya tak ada lagi waktu untuk menunggu lebih lama. Petentang petenteng datang seorang petugas berkumis klimis setipis daun lalang. Dengan pentungan di tangan dan wajah yang disangar-sangarkan, ia memerintahkan aku untuk segera jongkok masuk barisan bersama tahanan lain yang telah siap meneruskan prosesi.

Kini aku mulai tercerai dari tiga rekanku. Aku berada dalam rombongan yang bergerak merangkak terkesot-kesot di bagian depan. Nun di kelompok belakang yang masih pada berdiri tampak Ali dan Arman. Satu lagi, Dio, tak kulihat. Aku tak tahu di mana anak muda itu berada. Apa boleh buat, aku harus mengurus diri sendiri berkonsentrasi dalam barisanku. Berjalan jongkok dan ngesot, sekira duapuluh sampai duapuluh lima tahanan bergerak seragam lurus ke depan.

Tepat satu saf di depanku, kutengok seorang banduan memangku buntelan besar pakaian bekas; ibarat orang yang mau mengungsi atau pergi haji layaknya. Tak kuduga dia tiba-tiba menoleh ke belakang sehingga bertumpulah pandangan kami. Diamat-amatinya wajahku. Terpaksa pula kutundukkan kepala karena takut. Ia mengajakku bicara. Tetapi karena aku lebih banyak diam, tak banyak percakapan berlangsung antara kami berdua. Sejurus dia menitipkan sehelai baju lengan panjang hijau garis-garis hitam padaku. Alasannya adalah karena tidak dibenarkan membawa pakaian dalam jumlah banyak. Dia bilang nanti setelah di dalam, baju itu akan diambilnya kembali. Aku curiga. Jangan-jangan ini kemeja hasil rampasan dari lokap mahkamah. Tapi karena takut untuk menolak, maka slogan tiap-tiap orang mengurus dirinya sendiri pun terpaksa kulanggar. Titipannya aku bawakan. Kelak, baju itu jadi milikku selama dalam tahanan; karena sampai habis tempoku memondok di Sungai Buloh tidak sekalipun kami berserobok jalan bertemu muka.

* * *

Sudah Gaharu, Cendana Pula

Dua puluh orang diperintahkan untuk berbaris jongkok tepat di depan pintu bilik pemeriksaan barang bawaan. Tertib. Dua orang diperintahkan masuk. Banduan melepaskan segenap pakaian dan menutup aurat dengan handuk mandi warna putih agak bersih. Dua petugas menelisik dan mengibas-kibas setiap helai pakaian banduan. Tujuannya? Untuk mencegah barang-barang terlarang seperti tembakau dan obat-obatan agar tidak masuk serta.

Badan dan pakaian kami bau sekali. Kulit kepalaku bersisik dan berketombe; rambut pun serasa gimbal karena selama persis satu minggu tak terjamah air dan sisir. Kurasa, serit (sisir bergigi kerap) pasti rompal dan ompong dibuatnya.

“Tak pernah mandi, ya, selama di lokap?” tanya salah seorang petugas. Sinis. Sudah gaharu, cendana pula. Amboi, sudah pun tahu bertanya pula. Pertanyaan yang tak perlu dijawab. Tak ada yang menyahut atau mengkonfirmasi karena tidak ada alasan yang masuk di akal kami untuk meladeni.

Kembali pakaian dikenakan. Berikutnya, tahanan masuk ke dalam bilik pemeriksaan istimewa – pemindai dubur. Bukan main. Bukan main main. Lubang pantat ditilik. Bukan untuk meneropong sesuatu parasit penyakit terselit di lubang burit atau silit. Tapi, lagi-lagi, pemeriksaan dilakukan guna memastikan bahwa tidak ada upaya penyelundupan barang-barang haram yang diparkir dalam rongga dubur. Kembali pakaian dilepas. Kembali handuk dikenakan. Dua orang-dua orang banduan diperintahkan bertenggek dengan kaki mengangkang di atas kamera monitor berdesain kakus. Tiada kulupa sungguh silir celah kangkang kurasa ketika paha kubuka. Sambil sesekali memerintahkan banduan untuk sedikit maju atau mundur dalam posisi duduk di atas toilet, seorang petugas dengan tekun mencermati dua buah layar VCR di hadapannya. Roman mukanya tidak berubah ketika melihat bol pesakitan. Wajah itu tidak menunjukkan rasa jijik. Sudah biasa tentunya. Coba bayangkan, macam mana pula jadinya jika ada yang tiba-tiba mengejan dan berak betulan.

Tak lupa, kerja iseng pun dilakukan pula.

“Kau dari mana?” bertanya sipir kepada banduan. Alisnya naik melengkung busur.

“Indonesia,” menjawab pesakitan.

“Indon!” bibirnya bergetar; mulut berdecak. “Indonesia di mana?”

“Flores.”

“Apa kes?”

Pecah pejabat,” jawab banduan gugup; menerangkan ia telah melakukan pencurian dengan kekerasan, mendobrak sebuah kantor perusahaan.

“Barang-barang apa saja yang kau ambil?”

“Tak ada.”

“Apa?”

“Tidak ada sesuatu jua barang yang sempat kami bawa,” akunya terbata, “Polis terlanjur tangkap kami.”

“Jadi, jauh-jauh kau datang dari Indonesia hanya untuk menyamun di negeri orang?” semprot sipir garang dengan kelopak mata melebar.

Tak ada jawaban. Dengan isyarat ujung tongkatnya, sang petugas membimbing si pesakitan untuk mengangkat, membalik dan menghadapkan telapak tangan kirinya ke atas. Tak syak, dua kali tongkat menghentak keras. Menghantam tangan sang banduan. Tahanan sesat itu meringis. Erang dan rintihnya tertahan di tenggorokan. Dua bilur merah biru kehitaman jejak pukulan tongkat pada telapak tangan tampak jelas membekas.

Kini sipir memandangiku. Seperti kucing dibawakan lidi, aku ndepipis; mengkerut. Moralku jatuh seketika di kala tatapan matanya tajam menusuk retinaku. Dan sangat manusiawi pabila bulu-bulu lembut di tengkukku mulai tegak berdiri, karena aku khawatir beroleh jatah pukulan hebat darinya. Giliranku ditanya. Sesuatu ditanyakan oleh sipir kepadaku. Aku hanya melongo karena tidak mengerti. Kurasa ia menggunakan Bahasa Melayu ragam tempatan yang tak kufaham. Sebab tidak juga aku menjawab, ia bertanya lagi. Kali ini dalam Bahasa Malaysia baku.

Duduk di mana?”

“Pusat Bandar Puchong.”

“Dari Indonesia juga?” tanyanya dengan geraham berderik. Riak matanya masih menunjukkan kejengkelan.

“Ya,” aku menyahut dengan mata mengelip.

“Indonesia-nya di mana?”

“Bandung,” jawabku tersendat.

Untunglah nasib baik masih berpihak padaku. Mungkin karena lelah atau kasihan demi memandang penampilanku yang loyo, amarahnya tercegah. Atau boleh jadi mantra Bandong yang kurapal masih cukup mujarab untuk melumerkan hatinya sehingga dia tidak mengazabku.

Kecuali petugas pendaftar, jarang sekali cikgu bertanya perihal nama dan nombor banduan. Dua pertanyaan iseng kerap muncul: Dari mana? dan Apa kasus yang dituduhkan? Salah jawab atau nasib sial, pentungan menanti pasti. Kalau tak untung, pasti kena pentung. Benang keberuntunganku sejauh ini belum kutung. (Kelak setelah kami bertemu, Ali mengadu kepadaku kalau dari bilik mengintip dubur ini ia mendapat sangu satu sebat rotan. Arman juga membawa memorabilia serupa).

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar