Selasa, 31 Maret 2009

Manusia Gila Penghuni Penjara

Manusia Gila Penghuni Penjara

Tidak sepenuhnya pengalaman penjara itu kelam dan wajib dilupakan. Saban hari, selalu saja ada warna-warni kehidupan yang menarik untuk direkam karena bernilai berita. Lokap Dewan-B blok Ehsan adalah sel yang diperuntukkan bagi tahanan yang sakit. Tidak mengherankan, semua penghuninya adalah orang sakit. Berbagai jenis penyakit ada di sini. Yang cukup menonjol adalah penderita luka-luka fisik. Orang gila – biasa disebut PSY (baca: pi es wai) – juga cukup banyak. Orang-orang gila kawan satu selku yang aku tahu nama mereka antara lain: Idris, Dul, Ghopal, Bob, Eko, Misman, Alim. Idris, Dul dan Bob adalah warganegara Malaysia etnis Melayu; Misman dan Alim WN Malaysia suku Jawa. Orang Jawa di Malaysia juga digolongkan ke dalam bangsa Melayu. Ghopal WN Malaysia etnis Cina; Eko WN Indonesia dari Jawa Timur. Yang tak kukenal juga ada. Waktu aku di sana, terdapat lebih dari sepuluh pasien sakit jiwa dari berbagai tingkat dan tingkah. Selain itu, masih banyak orang aneh di sini.

Idris si gila bergaya rocker. Menyanyi dengan suara parau nan lantang, tangan mengepal, dada membusung, pandangan lurus ke depan, berjalan langkah tegap ala militer dengan semangat berkobar. Meski serak dan agak sengau, lantunan suara yang didendangkannya cukup merdu dan sesekali memukau segenap penghuni. Namun sering juga suaranya terlalu keras sehingga – salah-salah – bisa rusak gendang telinga yang mendengarnya secara tidak sengaja. Nyanyian nada tinggi parau itu juga yang membuat lurah terpaksa melarang Idris jika ia bernyanyi di kamar mandi karena khawatir akan membuat berang sipir yang tengah bertugas mengingat lokasi kamar mandi lokap Dewan-B sangat dekat jaraknya dengan tempat sipir blok Ehsan berjaga. “Idris! Jangan kau menyanyi di bilik mandi. Marah nanti Tuan. Pekak telinga kau buat. Kalau kau mau menyanyi, menyanyilah di sini sahaja. Di sini kau boleh menyanyi sesuka hati,” nasehat lurah kepada Idris.

Ketika Eko masuk, Idris mati kutu. Idris yang sebelumnya bersuara lantang dan bergerak dinamis atraktif kini lebih banyak memilih diam. Sementara Eko bernyanyi riang, Idris kelu lidah. Suatu ketika kami menyaksikan Eko dan Idris beradu talenta. Mereka mainkan harmoni berbalas lagu bait demi bait dalam improvisasi kreatif dari dua lagu dengan langgam berbeda. Idris secara ekspresif membawakan rock Melayu; Eko dengan gayanya yang khas senandungkan pop Indonesia. Enggak nyambung; toh, cukup menghibur. Sebagai catatan tambahan, lagu yang mereka bawakan senada dan seirama dengan pengalaman hidup yang mereka jalani.

Eko adalah sosok orang gila yang kaya akal dan cakap dalam banyak sisi. Laksana angin tak tentu arah, kepribadiannya mudah berubah; semudah dia bersalin pakaian. Dilengkapi dengan kosakata cerdas, Eko berbicara dalam berbagai jenis suara berbeda untuk peran-peran berbeda. Ia menggunakan banyak kosa kata yang jarang kutemui dan beberapa frasa yang bahkan sama sekali baru bagiku. Banjir kata-kata dalam cerita ketika ia bertutur untuk menghibur sesama. Kalimat-kalimat lucu pun kerap mengalir lancar dari mulutnya. Ia mempesona warga Dewan-B dengan humor. Meski memaklumi, seringkali aku tercengang ketika ia berperilaku aneh. Lagaknya yang eksploratif, jenaka, dan lasak tak bisa diam menjadikan dia seorang maha bintang di lokap Dewan-B. Karena koridor lokap Dewan-B yang berada di lintasan keluar-masuk blok, Eko juga menjadi mudah dikenal oleh banyak kalangan di Blok Ehsan.

Fantasinya yang kreatif dan tiada berufuk mampu menyeret penggemar fanatiknya memasuki dunia-dunia imajiner yang utuh. Ia piawai dalam melakukan gerak-gerak pantomim. Menari dan menyanyi adalah kebiasaan yang tak pernah luput dari hari-harinya. Berguling-guling menggelinding di lantai tidak masalah. Bergendang paha pun oke punya. Seakan ia dedikasikan semua kemampuan yang dimilikinya untuk menghibur. Lirik lagu yang dibawakannya bagaikan jendela bagiku untuk melihat suasana hatinya yang gelisah; tapi Eko selalu berpura-pura seolah-olah berenak-enak hidup terkurung. Tak kutemui seorang jua penghuni lain – baik gila maupun depresi ringan – yang lebih menghibur ketimbang Eko selama waktuku berada di lokap Dewan-B.

Baju hijau garis-garis hitam lengan panjang titipan orang yang kini masih berada dalam penguasaanku juga punya peran untuk Eko. Ketika pertama kali masuk Dewan-B, badan dan pakaian Eko kotor dengan bau tak sedap. Sebagaimana lazim berlaku untuk semua pendatang baru, Eko diminta untuk mandi dan cuci baju. Dasar orang gila, ia mandi dan mencuci semua pakaian yang dikenakannya, celana jins dan baju warna biru laut lengan panjang berbahan tetoron tipis. Tak ayal, seisi sel heboh demi mendapatkan Eko bertelanjang bulat; beberapa tahanan teriak-teriak membentak. Bersegera aku menyambar baju yang kugantung setinggi mata pada sela-sela jeruji sebelah selatan dan kuberikan kepadanya untuk dikenakan menutupi sebagian badan, terutama dari lutut sampai pusar.

Ketika makan, Eko masih menunjukkan kelasnya dalam berkreativitas. Ia bentuk roti dan semangka menjadi bola-bola bulat sebesar kelereng. Lantas secara akrobatik ia monyongkan mulut menyambut bola-bola roti dan semangka yang menghunjam ke bawah setelah dilempar-lemparkannya ke atas; laku lagak ikan menyongsong makanan yang jatuh dari langit.

Tak ada asap jika tak ada api. Perilaku konyol Eko selalu berhasil mencuri perhatian dan kerap memancing orang lain untuk menggoda dan menjahilinya. Seorang sipir – yang wira-wiri berpatroli – iseng menggoda Eko untuk duel a la tinju. Gayung bersambut. Eko menerima tantangan tersebut. Dasar orang gila yang tak pernah berhitung, Eko tak tahu kucing hutan mana yang akan diladeninya. Dengan double cover dan jingkrak kanan kiri kayak Muhammad Ali, Eko mendapat pukulan pentungan bertubi pada tangan kiri dan kanan. Menghadapi Eko, sipir itu memainkan tongkatnya; bersenang-senang seakan tengah bermain gatrik (patok lele atau ketok kadal) layaknya. Dan ketika Eko mulai menunjukkan kesungguhannya dalam bertarung, lurah mencegahnya dengan cara dibentak. Sipir gendeng itu bukan seorang petarung sejati yang mau menguji ilmu secara adil dan berimbang. Eko hanya boleh menangkis – tidak boleh membalas – serangan; alih-alih menyerang baik duluan maupun belakangan. Derai gelak tawa lebih dari separuh penghuni lokap Dewan B bergemuruh menyaksikan Eko menyeringai kesakitan dalam laga yang tidak bersepadan. Usai tubrukan, tangan kiri dan kanan Eko lebam membiru karena menangkis serangan tongkat sipir bangor.

Kadang-kadang satu dua sipir penjara merupakan sosok praktisi kekerasan yang kebangetan. Mereka terbawa sakit. Kerap mereka melakukan tindakan tanpa landasan pertimbangan pemikiran yang waras. Orang gila pun dikerjai semata demi menghibur hati nan hampa. Hanya main-main saja, mereka perlakukan tahanan gila sebagai kelengkapan alat permainan semata. Jadilah dalam banyak kesempatan, sipir dan pesakitan punya kesamaan. Sama-sama enggak beres. Agaknya miniatur patolopolis adalah nama lain yang layak disandangkan kepada sebuah kawasan penjara; wilayah pada mana mayoritas penghuninya dihinggapi penyakit mental yang merusakkan.

Ketika seorang banduan bertanya kepadanya tentang sebab musabab ia masuk penjara, Eko menjawab sekenanya.

“Eko, apa kes?” bertanya tahanan itu tentang kasus yang membelit Eko.

“Aku nyopet nang Suroboyo. Ketangkep nang Selangor,” Eko menjawab.

“Dia bilang apa?” bertanya pula penanya Eko kepadaku.

“Dia seluk saku di Surabaya. Tertangkap di Selangor,” jawabku.

“Apa?”

“Dia bilang dia seluk saku di Surabaya tapi baru tertangkap di Selangor.”

“Siapa yang nangkap kamu, Ko? Polisi?” kepada Eko aku bertanya.

“Ya, polisi yang nangkep aku. Dia bawa pistol,” menjawab dan menerangkan Eko.

“Kau ditodong?”

Iya, ditodong.”

“Pistolnya dikokang?”

“Dikokang.”

“Kau ditembak ora sama polisi itu, Rek?”

“Ditembak tapi enggak keno.”

“Kau mengelak?”

“Enggak. Wong pestole kosong; ora ono pelore.”

“Pestole ‘ra ono pelore?”

“Heeh.”

“Yang mboten-mboten saja, rika.”

“Apa yang dia bilang?” kembali si kawan Melayu – yang sedari tadi tiada lekang mata dan telinganya menyimak pembicaraan kami – bertanya kepadaku.

“Eko bilang, dia ditodong dan ditembak oleh polisi. Tapi tak kena ke badan dia. Pistol polisi tak jadi meletup karena tak ada pelornya.”

“Dasar gila!” berkomentar kawan Melayu itu dalam tawa dengan ekspresi wajah terhibur.

Lain biduk, lain digalang; lain ditanya, lain pula dijawab. Begitu pula sewaktu ditanya soal keluarga. Eko mengaku sudah berumahtangga dan punya dua anak. Hanya sayang, tak dapat aku akui kebenarannya karena pengakuannya selalu berubah dari waktu ke waktu kalau ditanya siapa nama kedua anaknya.

Malam buta, ketika sebagian besar tahanan tertidur pulas, kulihat Eko mengendap-endap menghampiri ape si pantat kuning. Gelagatnya mencurigakan tapi tetap saja gerak-geriknya kubiarkan. Kegelapan lokap di malam itu telah menyamarkan gerakan-gerakan kecil yang dilakukannya. Dan andai bukan lantaran plastik kresek pembungkus barang-barang milik ape yang terus-terusan berkerosak kerese pese ketika digerayangi oleh tangan Eko yang meraba-raba mencari tujuannya, barangkali cuma aku yang menyadari dan memperhatikan kejadian tersebut. Tiba-tiba, “Eko!” berteriak Jal; sebuah pekik yang mengejutkan sebagian penghuni. Eko mencabut tangannya dari kantong kresek dan bersegera berdiri; secepat mata mengejap, sekonyong-konyong sebelah tangannya memasukkan sesuatu ke dalam mulut dan, ”Kraup!!!” sebuah suara pecah dari mulutnya, cukup membuat kami terperanjat. Suara itu hanya berbunyi satu kali. Jal mendatangi dan mencabut sebilah barang yang tadi sempat digigit dan masih menempel setengah di luar dan setengah di dalam mulut Eko.

Tiba-tiba saja Jal tertawa terbahak. Ternyata Eko salah sasaran. Yang Eko curi dan kunyah adalah sebuah sendok plastik, bukan makanan. “Disangkanya keropok, sudu pun dimakannya,” ujar Jal di tengah-tengah tawa. Setengah lokap pun bercekakak. Eko hanya cengengesan.

“Sini, Ko!” kulambaikan tangan, menyeru Eko untuk mendekat. Ia pun datang menghampiriku. “Kau buat malu orang Jawa saja. Kalau kau lapar, bilang saja sama aku. Jangan pula kau mencuri roti orang,” dalam Bahasa Jawa ngoko – pasaran – aku menegurnya.

“Mencuri dari sesama orang Jawa itu haram. Tapi mencuri dari Cina halal hukumnya,” Eko menjawab seenak udel; juga dalam Bahasa Jawa. Tak tergambar sedikitpun rasa bersalah di wajahnya. Betapa kelompok Melayu tertawa terkekeh-kekeh tak kuasa menahan derai air mata setelah kuterjemahkan jawaban Eko ke dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti. Dasar gila, pikirku. Nasehatku dipantatinya. Tak kusadar, menasehati orang gila ibarat menabur bijan ke tasik; sama saja bohong.

“Mengapa kau curi roti orang?” bertanya Jal kepada Eko.

“Aku lapar. Tak ada kafe.”

“Ini penjara. Bukan hotel.”

* * *

Lagi-lagi Eko membuat heboh lokap Dewan-B. Dari dekat ujung barat lokap, berlari-lari Eko menuju kamar mandi yang berada di ujung timur setelah terlebih dahulu menanggalkan helai bawah pakaian yang dikenakannya. Jal menduga bahwa saat itu Eko berperilaku sebagai pelancong yang mandi di pantai. “Lihatlah. Disangkanya dia ada di pantai. Bogel dia sebelum mencebur ke air laut,” terkekeh Jal menjelaskan opininya tentang kelakukan Eko yang memang kadang menyebalkan. Sementara itu, Eko tak dapat tidur tanpa obat penenang. Ketika senja selepas makan ia tidak mengkonsumsi obat tidur, dapat dipastikan ia akan melewatkan masa tengah malam hingga fajar menjelang sendirian dengan monolog dalam kata-kata yang tiada berakhir, bermain kartu dan dam, menari dan menyanyi; bahkan azan ia kumandangkan dengan alunan suara mendayu meski ia mengaku non-Muslim. Kesemuanya ia lakukan seorang diri. Di keremangan satu malam buta, Eko bermain kartu sendiri tepat di depan pintu kamar mandi. Keesokan hari, para pecandu – ape Cina tua utamanya – yang merasa kehilangan kartu bertanya kian kemari. Aku pura-pura tak tahu. Tak kuberi tahu mereka mengenai Eko yang bermain solo tadi malam.

Sering pula Eko bertabiat laksana pilot. Aksi seperti itu lebih intens dilakukannya ketika ada tahanan lain yang memprovokasi dan – sekedar berbekal origami tingkat dasar – membuatkan sejumlah pesawat terbang kertas untuknya. Berlari meliuk-liuk Eko menerbangkan pesawat-pesawat kertas yang dijunjungnya tinggi-tinggi di atas kepala. Kemudian, satu persatu ia gantungkan di sela-sela jeruji jendela antara kamar mandi dan ruang utama lokap Dewan B.

Seorang residivis Jawa Malaysia yang berulang kali keluar masuk penjara karena kasus narkotika punya pengalaman menarik tentang orang-orang gila dalam tahanan. Kepadaku ia berani bertaruh jika Eko bukan seorang gila yang sesungguhnya. “Wayang,” ujarnya tentang perilaku Eko yang pandai berakting bagai bintang bioskop. Sebab, ia bilang, terdapat sedikit bukti jika Eko benar-benar gila. Koordinasi syaraf psikomotorik penyandang penyakit kejiwaan dalam berperilaku secara umum tidak seajeg dengan apa yang diperankan oleh Eko. Eko juga memiliki reputasi yang baik dalam hal daya ingat. Dengan wajah sinis dia bilang kalau Eko tidak lebih dari seorang tahanan yang pintar membadut dan gemar berkelakar. Ia berasumsi bahwa Eko telah secara sadar memilih untuk menyamar sebagai orang gila lantaran takut akan mendapat siksa dari sesama. Berperilaku gila adalah penyamaran cerdas gaya Eko dan banyak tahanan lain dalam menghindari praktek-praktek penyiksaan oleh sesama selama berada dalam penjara.

* * *

Beberapa hari menjelang naik mahkamah, Idris mendapat pelatihan dari seorang Warga Malaysia etnis Minangkabau. “Kau mau bebas?” bertanya tahanan itu kepada Idris. Idris memandang serius, tapi tak menjawab. “Bilamana Tuan atau Puan Hakim bertanya, jangan kau jawab. Bernyanyi dan berjogetlah kau. Jangan sekali-kali kau dengar apa yang Hakim tanya. Berlagaklah kau tak faham. Dengan demikian, Hakim akan membebaskanmu. Orang gila tak boleh dihukum. Itu diatur dalam undang-undang negara. Karena kau gila, Hakim akan membebaskanmu,” ujarnya pula memberi pencerahan. Di lokap Dewan-B, para tahanan yang akan naik mahkamah selalu berlatih agar tidak salah bicara. Kalau tahanan itu bukan orang gila, rekan-rekan satu sel selalu memberi saran untuk mengaku begitu saja bila ditanya Hakim tentang perannya dalam kejahatan sambil tak lupa untuk menyuarakan perasaan hati yang menyesal agar hukuman ringan segera dijatuhkan. Kalau tahanan itu penyandang penyakit kejiwaan, ia mendapat saran untuk tetap berperilaku gila; agar terbebas dari segala tuntutan.

Dalam pada itu, Dul adalah seorang tahanan penyandang sakit jiwa yang selalu merisaukan keadaannya yang demikian. Bujangan bercelana jins puntung banyak koyak ini khawatir jika tak akan ada perempuan yang mau mendekat untuk dipersuntingnya. Padahal bayangan Siti Nurhaliza – belum lama naik pelaminan – tiada terputus menerbitkan gairahnya. Bukan pantangan baginya untuk bersenang-senang dengan angan-angan. Untuknya, bermukah dengan bayang-bayang sesiapa pun wanita tidak akan pernah menimbulkan rasa berdosa. Dan ketika birahi badani tak lagi terkendali, Dul memilih sabsab di bilik mandi. Kalakian, karena ia orang laki gila, maka ia – sewaktu menyabun, sewaktu bersenang-senang dengan sabun – tak perlu sembunyi-sembunyi menanti sunyi.

“Orang gila tak boleh kawin?” bertanya ia suatu masa sambil menjongkokkan diri kepada seorang banduan yang kebetulan sedang duduk di hadapanku. Sadar dia bahwa dia gila; dan cemas pula dia bila harus jadi bujang lapuk di sepanjang sisa hidupnya sekeluar dari penjara. Yang ditanya pun menjawab lugas, “Tak boleh lah. Makanya kau harus sehat. Lawan bisikan-bisikan iblis. Sembahyang lah.” Dul hanya termenung untuk kemudian berdiri tegak dan meninggalkan tempat kami berkerumun. Tak lama berselang kulihat dia telah bergabung dengan Peter, seorang etnis India. Peter merengkuh sebuah gayung; akan ia keplak-keplak sebagai ketipung. Menitir tamtam adalah keterampilan tangan lelaki India sebagaimana kecakapan kaki pria Brazil dan Argentina menggoreng-goreng kulit bundar di lapangan hijau.

Gayung ditabuh lantam bertalu bak gendang. Lagu India didendang. Ada juga yang menyemangati dengan menepuk-nepuk tangan. Dul pun berjingkrak-jingkrak pecicilan menari riang. Lama-lama semakin syur dan semakin ekspresif pula kulihat Dul menari ketika semakin banyak penghuni bertepuk dan bersorak untuknya. Tabuhan dan sorak-sorai berhasil menggirangkan hatinya. Dul lebih bersemangat menari lompat-lompat. Demi menyaksikan Dul berjoget frontal secara orang kesurupan, beberapa penghuni tertawa terpingkal-pingkal sehingga terkentut-kentut sahut-menyahut berganti-gantian.

Secara umum, perangai Dul cukup tenang, jarang bicara, dan terkadang mondar-mandir menjelajah ruangan. Akan tetapi perilakunya dapat berubah garang seketika. Dalam catatanku, paling tidak dua kali Dul terlibat duel dengan tahanan gila lainnya. Satu kali dengan Ghopal, dan satu kali melawan Eko. Dengan Idris dan Bob juga, Dul nyaris bentrok. Ghopal dibuat pecah bibir cukup parah hingga berdarah-darah. Bibir Eko pun dibuat Dul jadi jontor. Bibir Ghopal pecah menjongkang lantaran ditinju; sedangkan lambe Eko luka nyonyor kena sepak. Dul sendiri mengalami bengkak kaki setelah duel bak ayam bersabung dengan Eko lantaran kulit bagian depan dari tulang keringnya terluka kena gigi. Berjalan pun dia menjadi berat dan pincang karenanya. Dul terancam tetanus jika luka yang membengkak di kakinya dibiarkan berlarut-larut. Seorang banduan etnis India yang cukup punya pengaruh dalam lokap mendamaikan Eko dan Dul. Caranya, ia panggil Eko. Diserahinya Eko empat butir tablet analgesik, obat pereda rasa sakit, untuk dibagi dua oleh Eko. Dua butir untuk Eko sendiri dan dua butir lainnya ia berikan kepada Dul. Sedangkan perkelahian Dul-Ghopal diselesaikan oleh orang kerja.

Duel acap terjadi antara sesama orang gila. Penghuni yang lebih waras berperan menghentikan dan mendamaikan. Setiap ada pertengkaran antar penghuni, para tahanan senior yang menghuni lokap Dewan-B selalu berusaha mendamaikannya secara internal; dengan maksud agar tidak sampai tercium oleh orang kerja maupun sipir penjara karena bisa berakibat fatal. Di tangan orang kerja, setiap perkelahian akan mendapat ganjaran yang menyakitkan dan menjerakan dalam berbagai bentuk. Dalam menyelesaikan perkelahian antara Dul dan Ghopal, misalnya, orang kerja memanggil Dul dan Ghopal untuk menghadap sipir di meja jaga. Di depan sipir, Dul dan Ghopal dihantam bertubi oleh orang kerja; dan di bawah ancaman, mereka berdua berdamai. Discouraging fights among detainees had been the principle rationale for posing such a stern measure. Ancaman kekerasan dan tendangan juga merupakan cara mujarab yang kerap dipakai oleh sipir dan orang kerja untuk mengintimidasi dan mengatasi tahanan sulit.

* * *

Adalah nasib sial menimpa seorang calon penghuni Dewan-B. Karena tidak konsisten dengan pengakuannya sebagai orang gila, ia dipukul bertubi dan ditendang oleh orang kerja di depan mata sipir. Tahanan etnis Cina itu terjengkang dan jidatnya menatap tembok hingga memuai; benjol sebesar sepertiga bola squash. Biji matanya baling dengan sorot meléncong, seakan dunia oleng berputar tak seimbang. Mungkin dia melihat bintik-bintik pelangi cakrawala sejuta warna berkerumun menggantung di dekat jendela dan kunang-kunang berpendar-pendar terbang bertebaran memenuhi setiap sudut ruangan. Benturan tembok di kepala itu telah meloroti kinerja otaknya dalam mengatur keseimbangan badan serta merusak jaringan sistem koordinasi syaraf emosionalnya. Begitu keras benturan kepalanya di tembok sehingga menimbulkan bunyi menggelegar yang terdengar oleh sesiapa pun juga dalam lokap. Aku khawatir jika tahanan “mitra tanding yang tak sebanding” tersebut menjadi gegar otak karenanya.

Bukan adu jotos, karena dia tak melawan. Tak ada yang mencegah. Apalagi membela. Aku pun tak hendak turun arena sok jagoan bak pahlawan kesiangan. Kalau itu aku lakukan, boleh jadi mukaku bakal cembung; dan tak akan muat topi di kepalaku karena bengkak. Orang kerja tak boleh sekali-kali dilawan karena merintangi apa pun yang diperbuat oleh orang kerja sama saja artinya dengan menentang sipir yang menugasinya.

Sebelumnya dia mengaku gila. Maka dia ditempatkan di lokap Dewan B. Oleh “lurah” Dewan B, dia ditanya apakah dia masuk air alias senget alias pesong alias gila, dijawabnya tidak. Mendengar jawaban ini, serta merta mengadulah sang lurah kepada orang kerja. Lantaran merasa dipermainkan, orang kerja naik pitam. Kalap, dia lopuk – tonyor – banduan malang tersebut menitir dengan pukulan-pukulan yang membungkamkan. Setelah itu, banduan dikeluarkan dari Dewan-B untuk selanjutnya naik bilik – kembali ke selnya semula.

Adalah tembakau sebab musabab banduan celaka itu mendapat bogem mentah dari orang kerja. “Sewaktu berada di bilik,” bertutur orang kerja, “tak ada yang memberi dia tembakau. Lantas, perilakunya jadi aneh. Bicara tak terkawal. Ia jadi gila atau berpura-pura gila. Sehingga Tuan suruh dia dimasukkan ke Dewan-B.” Sialnya, ketika masuk ke lokap Dewan-B dia lupa akan lakon gilanya. Marahlah sipir dan orang kerja karena Tuan telah ditipunya mentah-mentah.

Akan tetapi, sangat mungkin lelaki itu memang benar-benar gila walaupun ketika ditanya, “Kau gila?” ia menjawab, “Tidak!” Mana mungkin orang gila dengan kesadaran penuh mau memberi jawaban secara yang diharapkan oleh bukan orang gila. Dengan sesama orang gila saja mereka suka ngawur.

* * *

Alim lain lagi lakonnya. Ketika bersalaman, orang gila murah senyum ini mencium tangan sesiapa juga yang dijabatnya. Aku risih dengan tingkah yang berlebihan seperti itu. Tanpa sepengetahuan lurah, beberapa orang dari kelompok etnis India menghasut dan mengancam Alim untuk mencium lurah dari belakang. Perintah itu diturutinya. Lurah menjerit dan bergidik kegelian ketika Alim menciumnya di tengkuk. Suatu ketika dalam sebuah canda Eko menghantam kepala Alim dengan sebutir telur rebus, telur jatah Alim, hingga pecah.

Meski tidak keterlaluan, sifat orang gila yang tidak bertanggungjawab seringkali menimbulkan kegegeran. Suatu saat di lokap Dewan-B perkelahian berpotensi terjadi hanya karena ulah Bob. Waktu itu, Bob – berpostur teripang (timun laut) – iseng menjahili orang yang sedang bermain dam. Ketika kedua pemain silap mata, Bob mengambil anak dam dari papan permainan. Tak lama berselang suasana menjadi gaduh. Yusof menuduh lawan mainnya – Khairul – berbuat curang. Khairul tidak terima dituduh berlaku tidak fair-play. Mereka saling ngotot. Datang Jal untuk melerai. Merasa ada pihak luar yang berusaha campurtangan, Yusof malah marah-marah memusuhi Jal. Permusuhan pun bergeser menjadi perseteruan Jal-Yusof. Beberapa orang tahanan menjadi sibuk; memegangi keduanya untuk saling menjauh. “Malu kita. Sama-sama Melayu, hanya karena main dam kita berantam. Macam anak kecil saja,” berkata Kancil, salah seorang yang ikut melerai. Kecil-kecil cabe rawit. Meski bertubuh kecil dan tidak terlalu tinggi, Kancil punya nyali pantas dipuji. Ya, gara-gara orang gila, perkelahian nyaris pecah dalam satu kubu yang sama.

Dalam pada itu, selain dikenal sebagai penggila segala jenis permainan yang ada di lokap Dewan-B, Yusof memiliki keterampilan tangan yang terbilang istimewa. Di tangan Yusof, benang dapat dengan mudahnya menggantikan fungsi pinset. Ia telah menjadi tempat bergantung tahanan-tahanan lain dalam mempertahankan kemulusan dagu dan ketiak. Dengan jari-jemari di kedua belah tangan yang pandai merentang dan menggerak-gerakkan untaian benang sedemikian rupa dengan pola-pola gerakan gunting menjepit, tekun Yusof membubut rambut entah kasar entah lembut yang tumbuh secara tak dikehendaki oleh pemiliknya pada permukaan dagu, ketiak, bahkan alis dan kawasan lain yang mungkin. Bagi sebagian besar orang, merabut bulu kumis dan cambang bukan perkara yang disuka karena pedih terasa; tetapi ada saja satu dua yang meminta Yusof membantu melakukannya.

* * *

Orang-orang gila yang berada di Dewan B sesungguhnya beruntung dalam tanda kutip, karena masih ada orang-orang waras yang mau peduli dan cawe-cawe mengopeni. Meski demikian, rentang toleransi dan tingkat kesabaran orang waras juga tidak terlalu lebar dan sangat terbatas. Kekerasan dunia yang menghimpit membuat kondisi kesehatan batin orang tahanan berfluktuatif kacau dengan kecenderungan yang tak mudah dibaca; temperamental dan terkadang meledak-ledak. Kononlah pula latar belakang sosial dan pengalaman masing-masing tahanan sebelum masuk ke sini semuanya bukan berasal dari dunia tanpa cela. Situasi dan peristiwa seringkali terjadi secara acak dan tidak terduga. Sebuah situasi gembira penuh aroma persahabatan yang menenangkan, misalnya, tiba-tiba saja dapat berubah hanya secepat kilat menjadi suatu keadaan ricuh sarat permusuhan yang mencekam.

Pernah suatu ketika masuk seorang banduan penyandang sakit gila berkewarga-negaraan Myanmar. Tingkahnya sungguh memalukan dan menjengkelkan, bahkan bagi sesama orang gila sekali pun. Belum juga lama setelah ia masuk, misalnya, Eko merampas baju lengan pendek motif batik corak kontemporer warna campur merah-hitam-putih-kuning yang dikenakannya. Menilik penampilannya ketika telah terkena gangguan kesehatan pada pusat susunan saraf pun masih terbilang necis, aku menduga jika orang Myanmar ini sebelumnya selalu berdandan gaya ningrat semasa ia masih hidup waras di alam bebas. Orang Myanmar itu berperilaku wadam; megal-megol ketika melangkah, menari dan menyanyi tiada henti, perayu. Semua orang digombalnya untuk berkasih sayang. Lebih parah lagi, banduan ini bermulut besar. Ucapan-ucapananya selalu bombastis dan memancing emosi; salah satunya adalah tiada henti dia menyebut, “India Ali Baba.” Setiap kali ia bicara, ia membuat marah setiap India. India mana pula yang tidak palak – jengkel – dan merah telinga dibuatnya. Karena tak dapat dijinakkan, ia jadi bulan-bulanan sebagian penghuni yang merasa terganggu. Mengingat kehadiran orang gila yang satu itu tidak dikehendaki oleh seisi lokap dan sebab khawatir dengan keamanan fisiknya, orang kerja akhirnya memutuskan untuk mencabutnya dari Dewan-B setelah Eko – atas desakan banyak orang – mengembalikan baju warna sangat terang yang sempat dirampasnya.

Selanjutnya, orang kerja – karena menuruti perintah Tuan – mengandangkan warga Myanmar penyandang penyakit jiwa yang imajinasinya sulit terbaca itu di sebuah sel khusus untuk orang gila di blok hospital. Di bilik spesial tersebut, tiada lagi orang mau peduli padanya. Dia boleh buat apa yang dia suka. Dia boleh berteriak kapan saja sekuat yang dia bisa. Bahkan dia boleh melukis beton selnya dengan sapuan rangsum makan dan mengolesinya dengan percikan air seninya sendiri. Ternyata memang orang gila itu teguh dalam pendirian. Ia lanjutkan kebiasaannya berteriak dan bernyanyi nyaris tiada henti sama ada di siang atau di malam hari.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar