Selasa, 31 Maret 2009

Rangsum Sesudah Menghitung Kepala

Rangsum Sesudah Menghitung Kepala

“Muster! Muster! Muster!” Demikian suara-suara lantang saat pagi menjelang. Yang tidur dibangunkan. Yang tergolek bangkit. Yang sedang berhajat di kamar mandi pun terpaksa menunda hasratnya; karena, jika memaksakan diri mengangkangkan tungkai kaki di atas toilet, banduan-banduan lain akan meneriakinya; bahkan sipir tak segan merajamnya. Disiplin mesti ditegakkan tanpa kompromi. Semua banduan bergegas membentuk barisan duduk/jongkok di dekat bagian depan lokap; sepuluh baris dibagi menjadi dua jalur; lima baris di jalur kiri dan lima baris di jalur kanan. Barisan terkiri mepet ke tembok selatan; barisan terkanan mepet ke tembok utara. Menyisakan ruang kosong di tengah yang cukup luas memisahkan jalur kiri dan jalur kanan. Ada sebuah pemandangan unik yang hampir saja kulewatkan: masing-masing saf (jajaran) dalam barisan yang terdiri dari lima orang juga melengkapi diri dengan sebuah gayung; ada saf yang membawa dua, tetapi juga ada saf tanpa gayung.

Dua orang sipir berdiri di depan pintu lokap; seorang di antaranya menjinjing untaian anak kunci.

“Sekalian, Selamat pagi, Tuan!” teriak seorang baduan yang berdiri di belakang barisan memberi arahan.

“Selamat pagi, Tuan!” teriak semua banduan serempak mengikuti.

Berkelentang pintu lokap dibuka; membuat sensasi linu tajam yang menusuk gusi sampai pada akar gigi. Sipir masuk.

“Selamat pagi, Tuan!” sekali lagi banduan belakang memberi arahan.

“Selamat pagi, Tuan!” teriak semua banduan serempak mengikuti.

“Selamat pagi,” jawab sipir penuh wibawa.

“Muster seratus tigapuluh empat, Tuan,” banduan belakang melapor.

“Berapa?” tanya sipir kepada sesiapa saja yang ada tentang jumlah banduan dalam lokap.

“Seratus tigapuluh empat,” serempak menjawab beberapa banduan yang berdiri paling belakang.

Berdiri di depan, sipir menghitung barisan, “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh.” Lantas, sambil berjalan ke belakang barisan dengan kepala menoleh kanan dan kiri, dia menghitung jumlah saf, “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, duabelas, tigabelas.” Dihitungnya juga banduan yang berdiri di lapisan paling belakang, “Satu, dua, tiga, empat.”

Tiga belas lapis dalam sepuluh baris duduk dan jongkok, plus empat tahanan berdiri di belakang. Seratus tigapuluh ditambah empat. Lalu,

“Seratus tigapuluh empat,” berkata seorang banduan yang berdiri di belakang. Di hari pertama, penghuni lokap berjumlah 134 orang. Bilangan itu berkurang satu demi satu karena keluar dengan jaminan dan ada satu orang yang mendapat tugas baru sebagai orang kerja. Namanya Shiva, berkewarganegaraan India, badan bulat tegap berkulit gelap, kumis dan cambang lebat. Aku mengenalnya karena kebetulan kami sama-sama berasal dari Balai Polis Puchong.

“Ya, seratus tigapuluh empat,” sipir berkata seakan untuk dirinya sendiri, dan, “Ada yang sakit?” sipir bertanya.

“Tak ada, Tuan,” serempak sebagian banduan menjawab

“Bagus,” tegas sipir memuji, tanpa sedikitpun gurat senyum menghias bibir.

Namun, ketika dilihatnya seorang banduan yang berada di jajaran ketiga dari depan dalam barisan kedua dari kiri menundukkan kepala seakan terkulai, bergegas sipir maju ke hadapan. Sipir menempelkan ujung tongkatnya pada sebelah bawah dagu banduan. Banduan mendongak. Kini, barulah sipir yakin bahwa tak ada tahanan yang jatuh sakit, karena banduan dengan kepala terkelepai yang semula dikiranya sakit ternyata masih dapat mengangkat kepala.

Sementara itu, masuk beberapa orang kerja membawa satu panci besar teh (konsep Bahasa Malaysia untuk minuman berasa susu coklat?) yang masih panas. Di bawah pengawasan sipir, teh dibagikan. Setiap lima orang mendapat satu liter setengah yang ditampung dalam sebuah gayung yang mereka bawa. Orang kerja melakukannya dengan cekatan. Tidak ada kelompok yang mendapat lebih. Bagi kelompok yang tidak memiliki gayung, orang kerja memberinya; sehingga tiada pula yang tidak kebagian.

Setelah catu dibagikan, orang kerja berhambur keluar; diikuti oleh sipir yang sekaligus mengunci pintu jeruji. Dalam waktu yang hampir bersamaan, kelompok-kelompok banduan beringsut; menyebar ke segenap penjuru lokap.

Dalam formasi lingkaran, masing-masing kelompok banduan secara bergilir minum bersama dari sebuah gayung yang sama. Setiap banduan dengan cermat memperhatikan dan memorinya merekam rekannya yang sedang minum; tujuannya adalah untuk menghindari mengecup bekas bibir peminum sebelumnya yang menempel di bibir gayung. Sangat manusiawi. Tapi dia tidak konsisten atau lupa? Sebagian jejak bibir telah turut larut dalam teh yang akan dia kecup dan seruput.

Pagi itu, terlihat sebagian banduan makan roti sebagai kudapan pengiring teh. Rata-rata mereka adalah penghuni lama. Roti yang kini mereka makan adalah roti yang dibagi-bagikan sore hari sebelumnya. Mereka sengaja menyimpannya untuk dikonsumsi pagi hari berikutnya. Strategi seperti itu tidak diketahui oleh orang baru, kecuali ada orang lama yang memberinya saran.

Berlainan pula halnya dengan makan siang dan makan petang hari. Rangsum dibagikan tidak di dalam lokap, tetapi di luar. Orang kerja menempatkan tray catu menumpuk di serambi lokap. Prosesi makan dimulai dari berbaris sepuluh ketika muster seperti biasa. Setelah kedua buah pintu dibuka, sipir memerintahkan satu baris-satu baris (biasanya dari yang paling kiri) untuk keluar melalui pintu depan kiri (baratlaut) untuk kemudian melintas serambi sambil mengambil satu tray; kemudian banduan masuk lagi ke dalam lokap melalui pintu depan kanan (timurlaut). Penganan disantap di dalam lokap. Usai makan, tray kotor ditumpuk dekat pintu depan kiri untuk kemudian diambil alih oleh orang kerja.

Perbedaan lain yang cukup mencolok mata adalah kesadaran dalam disiplin. Secara garis besar, kedisiplinan di kalangan orang-orang tahanan lebih mungkin dipandang sebagai sebuah masalah besar. Ketika muster untuk sarapan pagi, banduan relatif jinak dan mudah mengatur diri sendiri dalam barisan. Akan tetapi ketika muster makan siang dan petang, alih-alih mengatur diri sendiri, diatur pun susah. Semua berebut menyerbu untuk mendapatkan posisi duduk atau jongkok pada barisan paling kiri. Karena sipir secara teratur dan terduga selalu menunjuk baris terkiri untuk menjadi kelompok yang pertama kali maju ke hadapan dalam mendapatkan rangsum. Sebuah contoh keteraturan yang berakibat pada kesemrawutan.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar