Selasa, 31 Maret 2009

Konspirasi Penyamun-Sipir; Enough is Enough

Konspirasi Penyamun-Sipir; Enough is Enough

Ada satu perkara yang dapat dipikirkan oleh sipir lokap tapi tidak terlintas dalam pikiran petinggi Mahkamah; yakni, potensi lokap sebagai sumber mata pencaharian tambahan yang dapat diandalkan untuk menopang hidup lebih dari sekedar cukup. Lokap Mahkamah PJ menjadi saksi bisu betapa power of money memainkan peran kunci dalam menentukan siapa yang boleh dilawat, siapa yang dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia luar, dan siapa pula yang berhak mendapat tembakau. Syahdan terbetik kabar, besaran uang kopi sangat berperan dalam conjugal visit – kunjungan pasangan hidup untuk sambung raga dalam rangka memenuhi sebagian tuntutan kebutuhan hayati di masa birahi – pada hari ketika banduan naik mahkamah.

Kopral Jamil, sebagai misal, ikut bermain secara aktif dalam transaksi tembakau yang hendak diselundupkan ke dalam penjara. Disamping itu, ia juga melakoni peran kurir dan makelar untuk menjembatani kebutuhan tahanan. Dengan imbalan tertentu, Encik Kopral dapat mempertemukan tahanan dengan sanak keluarga di depan pintu lokap. Tiada kutahu apakah pertemuan serupa itu legal atau illegal. Ia juga sempat kulihat menyediakan jasa pelayanan telepon bimbit. Entah karena naluri bisnisnya yang kuat; entah pula oleh sebab ekornya telah terpegang, ia selalu ringan tangan menuruti perintah banduan. Tahanan-tahanan penyamun berhasil mendapatkan komitmen Kopral Jamil cum suis untuk memasok tembakau dan barang-barang lain secara berkelanjutan. Dan sangat mungkin, sipir lokap Mahkamah Petaling Jaya menjalankan usaha sebagai penadah barang-barang hasil rampasan. Tahanan penyamun melego sebagian barang-barang rampasan melalui sipir lokap untuk mereka tukar dengan tembakau. Biar kupertegas, lokap bagi mereka adalah mesin uang yang terlalu seksi untuk diabaikan. Ditinjau dari sumbernya, uang datang dari: (i) pembesuk – keluarga dan teman banduan; (ii) rampasan dan penjualan hasil rampasan; (iii) simpanan dan titipan. Kesemuanya dipakai untuk mendapatkan tembakau dan obat-obatan terlarang.

Perokok berat tidak punya minat terhadap apa pun kecuali tembakau. Mereka tahu cara mendapatkannya, di mana mendapatkannya, dan cara terbaik untuk memasukkannya ke dalam penjara. Sepenuhnya mereka menyadari bahwa tembakau merupakan investasi berharga yang menunjukinya jalan untuk menjadi seseorang di dalam penjara. Siapa pun yang memiliki tembakau adalah seorang raja kecil berkuasa di balik jeruji. Memiliki tembakau dapat berarti perawatan kesehatan lebih terjamin, asupan gizi lebih terpelihara, keamanan lebih terjaga, peringkat popularitas meningkat. Upaya dengan ganjaran sepadan. Begitu pula, hypnotic beauty of tobacco mampu menyihir orang alim menjadi lalim, terlepas dari ras dan kelas. Seorang imam sembahyang yang getol menjadi komandan shalat selagi kami masih berada di Blok Tawekal Penjara Sungai Buloh, contohnya, mendadak bersalin peran dan perangai. Ia menjadi serakah dan gelap mata ketika melihat tembakau berburai di dalam lokap Mahkamah PJ. Sorot matanya menyala jalang.

Demikian juga, tembakau berhasil membuat Kopral Jamil, seorang sipir lokap Mahkamah PJ, pontang panting berkhidmat untuk banduan. Kepada tahanan yang memesan nasi tembakau darinya, encik kopral bertingkah laku sebagai membudak. Membungkuk-bungkuk dengan wajah sumringah sang kopral menjinjing paket nasi dus pesanan seorang banduan. Dari Kopral, paket pesanan berpindah tangan. Bungkus dibuka. Satu demi satu isi paket dikeluarkan. Nasi, lauk pauk, dan satu botol minuman mineral. Nasi disingkap; beberapa tepek tembakau terungkap. Begitu pun dari kotak lauk pauk; tepek-tepek tembakau tampak menyembul dari dasar besek sterofoam. Sigap anggota regu – sekawanan tahanan – memulai kerja keras. Beralas helai plastik bekas pembungkus nasi, tembakau dilumat tumbukan-tumbukan keras tumit kaki; dibantu jimpitan jari jemari tangan. Suara tumbukan cukup keras menggetar ruangan. Tumbukan-tumbukan keras yang kurang beraturan namun berirama mengingatkanku pada kerja menumbuk padi dari masa kilang padi masih jarang ditemui. Orang kota masa kini barangkali tidak pernah menyaksikan orang-orang desa menumbuk padi dengan alu dan lesung. Bagi mereka, suara-suara keras tumbukan lebih menyerupai suara sayup sampai penancapan paku bumi; tiang pancang proyek konstruksi. Sementara itu, ditingkahi batuk kering sporadis, setengah banduan tenggelam dalam kenikmatan menghisap tembakau. Kepulan-kepulan asap memenuhi segenap ruangan lokap; setebal dan sehitam asap diang tandan sawit di kandang kerbau; diang – unggun – penghalau lalat dan nyamuk serta makhluk pengganggu lainnya.

Setelah dianggap padat, tembakau dibalut plastik. Berbentuk modul. Seperti peluru; silinder memanjang plus sedikit kerucut lonjong pada satu ujungnya. Tidak ada standar ukuran modul yang dibuat. Tiap anggota membuat dengan ukuran berbeda – dari yang sebesar ibu jari kaki sampai sekecil kelingking anak ingusan. Modul disegel dengan cara ujung dan tepi plastik pembungkus dipanaskan dengan busur api yang memercik dari lighter; lalu direkat. Nah, selesai sudah kerja bikin modul tembakau. Tinggal satu langkah pamungkas: menelannya. Dengan bantuan air sebagai tenaga pendorong, setiap modul ditelan. Kini modul tersimpan aman dalam perut; cara primitif yang terabaikan oleh intelijen modern. Tak satu jua langkah pengamanan penjara (Sungai Buloh maupun Kajang) dapat mendeteksinya. Dalam pada itu, tak kulihat adanya ganja dan obat-obatan terlarang diselundupkan ke penjara, tapi ada yang bilang itu ada. Selang sehari dua, modul tembakau akan keluar dari ujung rangkaian alat pencernaan makanan bersama hampas – tinja – dan siap untuk dikonsumsi. Kotor sedikit pada pembungkusnya tidaklah masalah. Itu bisa dicuci. Tapi harganya, bung! Oleh kalangan terbatas di penjara Sungai Buloh, tahanan yang di perutnya penuh tembakau setelah naik mahkamah mendapat sambutan kebesaran dan dielu-elukan bagai pahlawan pulang perang dengan membawa kemenangan besar. Seorang tahanan bertutur, konon ada yang pernah mencoba menyelundupkan modul tembakau dengan cara memasukkannya ke dalam lubang dubur. Cara ini tidak efektif, tidak aman, dan mudah terdeteksi oleh kamera pengintai yang ditaruh di bawah pintu rongga pantat.

Satu sampai dua hari adalah rentang waktu normal yang diperlukan oleh modul-modul tembakau untuk bergerak perlahan melewati daur lengkap lintasan saluran pencernaan makanan: mulut faring kerongkongan lambung usus kecil usus besar anus. Modul tembakau keluar bersama enzim pencernaan dalam liputan tinja. Berkat bantuan air dan makanan yang dicekokkan ke dalam saluran dengan jumlah kelewat banyak, rentang waktu itu dapat dipersingkat. Ada tahanan yang mampu menyelesaikan segenap daur hanya dalam tempo empat jam! Sepertinya untuk masa-masa yang akan datang, orang tutupan telah harus mulai mempertimbangkan manfaat laksatif – obat cuci perut atau pencahar – sebagai bagian penting dari media pendukung yang memperlancar usaha penyelundupan tembakau ke dalam penjara. Masalahnya, membawa masuk laksatif ke dalam penjara – yang mau tak mau harus mengecoh sipir – itu juga sudah masalah.

Dari sebuah angle, Dio mendapat tekanan dari rekan satu selnya dari penjara Kajang. Dio dimintai uang untuk keperluan membeli tembakau. Lucu benar anak muda berandalan penggandrung tembakau satu ini. Ia nekat memeras kawan satu sel yang sebetulnya sama-sama tidak pegang uang. Dengan galak ia memberi perintah kepada Dio untuk menyuruh orang-orang yang menjamin kami untuk mengantarkan uang ke lokap mahkamah. “Aku mau tahu siapa yang dapat dipercaya,” berkata anak teruna yang belum akil balig itu kepada Dio dengan intonasi berat. Jelas itu ancaman. Tersirat dari warna suara dan bahasa tubuhnya ia akan melakukan perhitungan jika Dio tidak mematuhinya. Dan perhitungan itu akan ditagihnya jika kelak mereka bertemu kembali di penjara. Tanpa kontak mata, Dio cuma berujar datar, “Ya, nanti saya suruh orang bagi wang ke sini.” Dalam lapar, manusia tutupan tak dapat berpikir dengan benar. Lupa dia kalau Dio tidak dapat memerintah orang untuk membuang uang secara serampangan. Ada yang bersedia bertanggung jawab dan menjaminnya saja sudah syukur Alhamdulillah. Kami sendiri – Ali, Arman, dan aku – tidak bereaksi ketika ada tahanan yang mencoba memeras Dio. Alasan kami untuk tidak ikut campur tangan cukup sederhana: kami tidak akan pernah secara sadar dan sengaja mencari kesusahan. Kebebasan telah tampak di pelupuk mata dan kami masih cukup waras untuk tidak mengacaukannya.

Dalam pengamatanku, hingar bingar lalu lintas di luar sana turut andil dalam memperlancar misi dan aksi pengepakan dan penyelundupan anasir haram ke dalam penjara. Andai tiada kendaraan bermotor berlalu-lalang di jalan raya dekat sana, aku yakin tumbukan-tumbukan kerja pengemasan tembakau akan mengundang minat seisi mahkamah. Mereka tentu penasaran untuk mencari tahu musabab dan asal suara-suara aneh itu. Walau begitu, sembilan puluh sembilan perseratus dari setiap aksi penyelundupan merupakan kontribusi aktif sipir lokap Mahkamah Petaling Jaya. Sipir lokap Mahkamah PJ bertanggungjawab secara pribadi atas perannya menjebol langkah-langkah pengamanan penjara.

Demikian pula, sipir bertanggung jawab secara langsung maupun tidak langsung atas perampasan yang dilakukan oleh sesama tahanan. Soalnya, jika sipir tidak melacurkan diri sebagai perantara dan penyedia dalam transaksi tembakau, tentu uang tidak memiliki cukup arti bagi tahanan penyamun. Dan andai uang tidak berperan, maka niat merompak akan surut. Lagipula, bila sipir melakukan fungsi pengawasannya dengan baik, tentu tidak ada yang berani bermain api; merampok dalam lokap. Toh mereka – tahanan penyamun – adalah manusia biasa. Tentu mereka masih punya rasa takut. Tanpa pengawasan sipir, penghuni lokap mahkamah seakan dipaksa untuk menentukan sikap dalam mengambil posisi: pemburu atau mangsa. Tidak ada kedudukan untuk yang di tengah-tengah.

* * *

Untuk mendapatkan kuasa uang, siapa pun berpeluang untuk tega merampok sesama dalam lokap. Apalagi penyamun kawakan; tak hendak segera mereka bertobat. Korban yang disasar tentu wajah baru yang belum punya kawan dan tidak memiliki pengalaman teruji dalam rimba kekerasan. Dengan hanya sekali pandang, penyamun ulung akan tahu siapa yang masuk kategori sasaran empuk tersebut. Mereka, sebagian, adalah banduan yang terbelit kasus pelanggaran undang-undang keimigrasian; pemukim haram asal Indonesia.

Untuk memuluskan aksi-aksinya, tahanan penyamun menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dengan mitra strategis mereka yang miskin pekerti, yakni segelintir sipir lokap Mahkamah PJ seperti – langsung saja aku tunjuk hidung – Kopral Jamil. Kenikmatan mereguk keuntungan materi dalam kurun waktu yang lama telah membutakan hati dan membebalkan nurani sipir lokap Mahkamah PJ. Kuperhatikan dengan mata kepala dan mata hati, Encik Kopral pantang diumbang; gila hormat dan mudah dijilat. Antara penyamun dan sipir terjalin simbiosis mutualisma. Bagi korbannya, para penyamun tersebut adalah satwa pemangsa; kawanan serigala berbulu domba. Sedangkan sang kopral di mata korban perampokan di lokap Mahkamah adalah pagar. Sayang, ia bukan pagar pelindung. Ia adalah pagar makan tanaman. Dan bagi sistem peradilan dan lembaga penjara, mereka adalah parasit; benalu dengan akar yang merasuk dan menghisap pohon semang. Mereka adalah parasit perintis yang membukakan pintu bagi parasit-parasit lain untuk masuk dan tumbuh berkembang beranak pinak dalam lembaga hukum dan perundangan. Perlahan tapi pasti mereka melubangi wibawa Mahkamah titik demi titik. Adalah shock therapy salah satu cara paten untuk memulihkan dan menunjuki mereka jalan kembali ke arah yang sesuai dengan tertib hukum dan perundangan yang berlaku. Tak perlu pemangku hukum dan undang-undang gentar tegak lurus berdiri di atas dasar yang teguh dan benar.

Selaku sapu yang dirancang dan didedikasikan untuk membersihkan dan terus-menerus bersinggungan dengan sampah sosial, tentu banyak kuman menempel pada batang dan bersarang di sela-sela ikatan lidi. Untuk menjaga kebersihannya, sapu harus sering dicuci. Tetapi, biarpun sudah dicuci seribu kali dan kelihatan bersih, tetap saja si pemilik sapu tak boleh sekali-kali berbusung dada mengaku bahwa sapu itu telah suci hama. Cobalah lihat dengan suryakanta – kaca pembesar. Jasad renik pengganggu dari reruntuk dunia itu masih ada. Agar tidak menjalar dan merebak sehingga tak terkendali, parasit mesti dienyahkan. Sapu musti dicuci-hama secara berkala. Jika tidak, sistem peradilan akan runtuh. Karena parasit kemaruk cuma mau peduli pada kepentingannya sendiri. Dia makan bagian-bagian tubuh semangnya sehingga merangas dan mati. Klimaksnya, semang mati, ia pun terikut binasa. Punggur rebah, belatuk menumpang mati.

Andai K-9 team disiagakan dan CCTV dipasang, sipir-sipir bermoral bejat seperti Kopral Jamil sudah barang tentu bakal merasa bahwa ruang geraknya kian terbatas. Begitu pula, perampokan oleh sesama tahanan di lokap Mahkamah PJ tidak akan dapat dilakukan secara leluasa. Pada akhirnya itu hanya akan jadi lembaran hitam sejarah kelam yang tak perlu dikenang.

Aku bermimpi, akan tiba suatu masa ketika tiada lagi orang yang percaya aparat kepolisian Balai Polis Puchong memilih-milih mangsa tangkapannya. Akan tiba suatu masa di mana orang tidak percaya bahwa gerobok lubang dara tak berkunci milik lokap Balai Polis Puchong pernah menjadi wahana penggerayangan barang-barang tahanan oleh sesama tahanan yang hasilnya disetorkan kepada sipir wirausaha untuk ditukar dengan tembakau. Akan datang suatu masa ketika tiada orang percaya dengan berita bahwa jiwa warga negara asing pernah terancam dalam sekapan lokap Balai Polis Puchong gara-gara seorang sipir kleptokrat menipu tahanan penyamun yang memesan tembakau darinya. Akan tiba suatu masa di mana orang tidak percaya bahwa lokap Mahkamah Sesyen Petaling Jaya pernah menjadi ajang perampokan oleh dan atas sesama pesakitan yang dilindungi dan diprovokasi oleh sipir mahkamah. Akan tiba suatu masa di mana tiada orang akan percaya bahwa pernah dalam kurun yang lama sipir Mahkamah PJ mempersembahkan baktinya untuk tahanan yang berminat menyelundupkan tembakau dan obat-obatan terlarang ke dalam penjara. Masa yang kuimpikan itu adalah masa ketika setiap aparat sanggup menggunakan kewenangan secara benar dan bertanggung-jawab; masa ketika hukum dan undang-undang telah berdiri tegak tanpa pandang bulu dan bau. Aku tak mau kehilangan – meskipun aku harus bertarung sampai denyut nadi terakhir untuk mengejar – mimpi itu. Enough is enough.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar