Selasa, 31 Maret 2009

Pinky dan Jane Besuk, Engineer Indonesia

Pinky dan Jane Besuk, Engineer Indonesia

Kamis 31 Mei 2007. Orang jaga menyebut nomorku dan mengatakan bahwa ada pelawat untukku hari ini. Aku bergegas.

Kulihat pada papan periksa yang menggantung di tembok sebelah selatan dari check point pertama hanya terdapat dua orang banduan Blok Ehsan yang akan mendapat lawatan pagi itu; yakni, aku dan banduan nomor 3-07-04958. Nomor tersebut tak jauh berselisih dengan nomorku. Pikirku, pastilah dia seseorang yang masuk pertama kali ke penjara Sungai Buloh dalam waktu yang bersamaan denganku, 4 Mei 2007. Orang tersebut tentu pula masih satu rombongan denganku dari Mahkamah Petaling Jaya. Hanya saja aku terlalu tenggelam memikirkan nasibku sendiri sehingga tiada ruang bagi upaya yang cukup dariku untuk mengingat siapa gerangan pemilik nomor itu.

Setelah menunggu beberapa saat, banduan itu pun datang. Ternyata dia adalah Arman. Kami pun sékén shake hand; hangat berjabat tangan. Rupanya hari itu aku dan Arman dijenguk secara bersamaan oleh orang office, Jane dan Pinky. Sebelum meninggalkan blok, kami diperintahkan oleh orang kerja untuk melapor terlebih dahulu kepada dua orang sipir yang sedang bertugas di meja piket. Setelah lapor dan identitas diakurkan dengan yang di buku besar, berdua kami berangkat meninggalkan blok Ehsan.

Paling tidak terdapat 6 check point yang harus dilalui oleh penghuni Blok Ehsan saat ada lawatan. Seorang sipir pada check-point kedua (yang berpiket di gerbang blok) bertanya kepada kami berdua apakah kami sudah mengetahui tempat kunjungan. Kami menganggukkan kepala dan bilang kepadanya bahwa kami telah tahu tempat itu.

Pada check point ketiga, kuperhatikan dua orang sipir memeriksa dan melarang orang kerja membawa serta sepasang sandal karet. Karena tumit sandal tak dapat dilipat, sipir mencurigai di dalamnya terdapat lempengan besi. “Ini tak boleh masuk. Ini besi. Nanti digunakan untuk menikam Tuan,” kata sipir. Lantas, sipir menahan sandal karet tersebut. Selanjutnya orang kerja melanjutkan tugasnya mendorong gerobak tanpa mengenakan alas kaki. Sementara itu, kulihat keadaan Arman kumal. Kucermati T-shirt yang dikenakannya pun terbalik, bagian dalam ada di luar. Kuminta dia untuk membetulkannya. Dia menolak. Setelah kudesak beberapa kali sambil mengatakan bahwa hal itu bisa menimbulkan masalah bagi kami berdua sebagaimana sebuah masalah tengah menimpa orang kerja yang ada di hadapan kami, barulah Arman mau mengalah dan membetulkan kaos yang dikenakannya. Kelar berurusan dengan orang kerja, kedua sipir melambaikan tangannya kepada kami berdua untuk mendekat. “Jumpa?” tanya seorang. “Ya,” berdua kami menjawab. Setelah digeledah, kami diperbolehkan melanjutkan perjalanan.

Pada sebuah check point berikutnya.

“Indonesia?” seorang sipir bertanya kepadaku.

Aku mengangguk.

“Engineer?” dia bertanya lagi, mengernyitkan dahi.

Kujawab dengan gelengen kepala dan kata-kata, “Bukan. Saya bukan engineer. Saya pekerja pembinaan.”

“Ah, engineer Indonesia,” katanya pula; garis alisnya kian melengkung.

Aku tak mendebatnya lagi. Aku tersanjung didudukkan setara dengan insinyur hanya karena mukaku muka pemikir.

Pada check point terakhir, nomor dan nama banduan ditanya. Dicatat pada buku register. Dengan ballpoint, nomor urut lawatan dituliskan pada lengan kiri. Tujuh hari sebelumnya, di tempat ini ketika aku baru akan kembali dari lawatan, ketika rasa lapar telah mulai menjalar, sekujur tubuhku gemetar.

Sewaktu melihat badanku gemetaran, “Gemetar. Mengapa gemetar?” bertanya seorang sipir kepadaku.

Aku menjawab, “Saya diabetik.”

“Kukira karena tertiup angin,” kembali berkomentar sipir menanggapi dengan intonasi suara dan gesture yang dilucu-lucukan seperti karakter Giant dalam film kartun Dora Emon; namun tak seorang pun hadirin terpancing tawa karenanya.

“Yang agak-agak lah,” tegur seorang sipir lainnya menimpali; nasehat kepada sejawatnya yang tak pandai menimbang rasa.

Bagai daun akan gugur, kondisi tubuhku waktu itu lemah dan terus bergetar sekeras goncangan lawn mower – mesin pemotong rumput untuk taman dan pekarangan. Tetapi sesungguhnya bukan karena diabetes. Barangkali lebih karena faktor depresi dan kurang gizi. Jangan-jangan aku pengidap akut hipokondria; ketakutan yang sangat berlebihan dan terus-menerus terhadap gangguan kesehatan tubuh oleh penyakit. Tubuh bergetar adalah sebuah efek dramatis dari rasa takut yang berlebihan.

Combat berpendapat berbeda. Ia, sebagai penganut sekte suluk, mengklaim bahwa getar ragawi yang kualami secara tiba-tiba dan sukar pula dikendalikan bukan merupakan sebuah gejala dari penyakit biasa. Bertanya ia kepadaku apakah di suatu tempo dahulu aku pernah menuntut ilmu gaib atau semacamnya. Kujawab secara apa adanya bahwa aku tak pernah berguru ilmu gaib. Adapula halnya kerap aku berpuasa lebih karena faktor kelangkaan dan putus-putusnya ketersediaan logistik pemakanan dalam kurun lama dari masa laluku, sehingga berpuasa bagiku merupakan kebiasaan diri yang telah menjadi semacam kebutuhan hidup sebagaimana kebutuhan setiap insan akan rekreasi. Combat pun bertafakur. Menurut penglihatan mata batinnya, aku kena gendam. “Rajin sembahyang tidak berarti Uwak tak dapat diguna-guna.”

“Uwak boleh tidak percaya. Tapi marilah Uwak saya obati,” Combat menawarkan diri untuk mengusir roh jahat penebar racun dari dalam tubuhku, terutama di bagian lengan dan tangan. Ia lantas meraih ambal sajadah yang tersampir di sokoguru; membebatkannya di kepala sebagai destar. Di bawah kesaksian banyak orang, disuruhnya aku berbaring telentang. Sebanyak dua kali – satu kali dalam cahaya terang, satu kali di bawah sinar redup – pada dua malam berbeda, ia melakukan ritual magis bermantra bauran bahasa Arab dan Aceh; menawarkan racun yang mengalir dalam segenap pembuluh darah. Dan menjelang berakhirnya masa tahananku di Sungai Buloh, ia membekaliku beberapa amalan ilmu menghidupkan cahaya hati; meninggikan kemaslahatan diri.

Persinggahan terakhir yang harus dilalui oleh orang tutupan sebelum bertemu dengan pelawat adalah sebuah ruang yang berfungsi sebagai panel pengaturan lalu-lintas lawatan. Dalam ruangan tersebut terdapat beberapa orang petugas yang diperlengkapi dengan beberapa unit komputer di hadapannya. Ketika berada di dalam, nomor banduan dikonfirmasi, dan petugas memberi tahu nomor bilik lawatan. Satu bilik lawatan untuk seorang tahanan. Sementara itu, masih menempel lengket di dinding, sebuah pamflet pengumuman. Maklumat untuk segenap pengelola dan seisi penjara. Dalam kurun satu minggu penuh dari tanggal sekian sampai tanggal sekian (lupa aku tanggal pastinya), penjara tertutup bagi pelawat non-etnis Cina. Hanya tahanan etnis Cina yang diperbolehkan mendapat lawatan pada hari-hari tersebut. Pengaturan secara demikian dimaksudkan untuk memberi kesempatan yang seluas-luasnya bagi tahanan etnis Cina untuk merayakan salah satu hari besar mereka (Hari Raya Cheng Beng?) bersama dengan keluarga dalam lingkungan penjara. Perlakuan itu diberlakukan barangkali berdasarkan pada pertimbangan keterbatasan kemampuan pengurus penjara dalam menyediakan pelayanan terbaik kepada tahanan dan para pelawat di hari-hari besar, sementara etnis Cina penghuni Penjara Sungai Buloh jumlahnya tidak sedikit. Pamflet itu seharusnya sudah dicopot karena telah kedaluarsa.

Selanjutnya, tahanan masuk ke bilik lawatan kedap suara untuk bertemu pandang dengan pelawat yang berada di balik kaca. Pertemuan terjadi hanya sebatas kontak mata menembus kaca dan kontak suara lewat perangkat elektronik. Tidak tersedia cara bagi pelayat dan pesakitan untuk dapat saling bersentuh kulit. Dari posisi pembesuk memandang, seorang tahanan tentunya tampak sebagai sebuah barang antik dalam ruang pamer. Pembicaraan antara pembesuk dan narapidana dilakukan melalui bantuan sepasang perangkat – satu untuk yang diluar dan satu untuk yang di dalam – yang bentuknya seperti telepon rumah. Dalam pada itu kulihat ada sebuah tulisan besar dalam ruangan besuk; tempatnya ada pada dinding di atas kepala, WASPADA! ANDA DIAWASI. Layaknya sebuah iklan layanan masyarakat, ia mengingatkan tahanan untuk tidak berbuat macam-macam. Sesekali terlihat di koridor beberapa sipir meronda bersama.

* * *

Pada hari Kamis tanggal 31 Mei 2007, Jane menemui Arman; sedangkan yang menjumpaiku adalah Pinky. Setelah basa-basi say hello, “Boss akan jamin kalian. Tunggulah enam hari lagi,” Pinky menghiburku agar aku bersabar tinggal di dunia tutupan sedikit lebih lama. Informasi penting yang kudapat dari pertemuan itu adalah bahwa masa penahanan kami tidak akan dimintakan diperpanjang oleh pendakwa raya kepada Puan Hakim; karena perusahaan akan menjamin kami. Selain yang satu itu, tak banyak perihal yang kami perbincangkan. Kesulitan komunikasi yang kuhadapi bersama Pinky ditandai dengan lebih banyak waktu berlalu dalam jeda. Pinky berbahasa Melayu dengan aksen Tionghoa yang sangat kental; sementara aku berbahasa Indonesia tulen. Jadilah komunikasi kami komunikasi model ON/OFF – terputus-putus; kadang saling mengerti, kadang tidak; kadang bicara, lebih banyak tempo tidak bercakap. Akhirnya kuputuskan untuk mempersingkat pertemuan. Sebelum berpisah, Pinky mengingatkanku berkali-kali untuk tidak lupa belanja dengan plafon enampuluh ringgit. Pinky lantas meninggalkanku.

Usai jumpa Pinky, kuhampiri bilik pertemuan Jane dan Arman. Ketika melihatku berdiri di koridor ruang pertemuan, antusias Jane melambaikan tangan memintaku untuk mendekat. Hanya lambaian tangan dan lemparan senyum yang kuberi, tanpa aku berusaha menghampiri. Tak lama berselang, kulihat Pinky telah tiba kembali menemani Jane yang bercakap-cakap dengan Arman. Mereka bicara bertiga. Aku hanya menyaksikan dari kejauhan.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar