Senin, 30 Maret 2009

Bagian Pertama; Polisi dan Investigasi

15.30, 27 April 2007. Sepulangku dari shalat Jumat, kusibukkan diri melayari sejumlah situs di Internet. Iseng kucoba tes kepribadian dan pengembangan diri Tickle dot com. Sekonyong-konyong empat lelaki nyelonong masuk tanpa uluk salam, sonder permisi, ke dalam ruang kerjaku. Belum sempat kutanya siapa dan apa keperluan mereka, serempak mereka bilang bahwa mereka polisi. Aku terpana. Why are they here and what the hell do they wanna do at this very venue? tertanya-tanya aku dalam hati. Kini bagai anjing pemburu, berempat mereka merangsek maju menghampiriku, mengamati LCD di hadapanku dan bertanya apa yang sedang aku kerjakan. Singkat kujawab, “Internet.”
Mereka tanya identitasku. Kujawab aku orang Indonesia dan aku bekerja sebagai pekerja konstruksi, karena memang itulah yang tertera pada surat ijin kerjaku. Kutunjukkan kepada mereka kad Pengenalan Pekerja Asing yang dikeluarkan oleh kantor imigrasi Malaysia untukku. Bagai petir menyambar tengari, mereka terus memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan seputar VCD bajakan. Bahkan salah seorang menyodokku dengan pertanyaan apakah perusahaan membuat VCD; kujawab pasti, “Tidak.” Sewaktu mereka tanya pasporku, seketika aku beranjak dari duduk dan melangkah menuju ke bilik tidur. Dua dari empat polisi itu mengikutiku; sedangkan dua lainnya terus menggeledah dan mengobrak-abrik benda apa saja yang mereka jumpa di dalam ruangan demi ruangan yang ada pada lantai 1 (5-1).
Ketika melintas di ruang tengah, kedua polisi yang mengikutiku memandangi beberapa unit perangkat pemutar film DVD yang menumpuk di bagian bawah dan sebelah rak pesawat televisi. Seorang mengajukan pertanyaan, “Ada banyak player. Untuk apa?” Kujawab, “Hiburan.” Yang seorang lagi menanyakan puluhan koper roda ukuran besar-besar berjajar dan bertumpuk dua teronggok di sudut ruangan; semuanya dalam keadaan kosong dan sebuah diantaranya tersodet sepanjang tiga-perempat diagonal di tengah-tengah dari arah pukul sebelas ke pukul lima. Tiga buku dan ruas terujung jemari telunjuk, tengah, dan manis tangan kanan polisi itu merogoh sampai ke dalam koper yang robek. Tak kujawab. Aku hanya angkat bahu sebagai pertanda caraku memberitahu bahwa aku tidak (mau memberi) tahu perihal itu.
Kuteruskan langkahku masuk ke dalam kamar tidur. Kuambil pasporku yang terselip di bawah tumpukan baju dan celana yang ada pada rak atas sebuah lemari plastik. Paspor kubuka sebentar sekedar untuk memisahkan beberapa lembar uang merah dengan nilai nominal masing-masing sepuluh ringgit yang tergencet di halaman tengah. Uang kecil itu adalah balén (sisa kembalian) dari belanja terakhirku membeli odol, sabun, sampo, sikat gigi, pisau cukur, dan susu kedelai di TESCO satu atau dua hari sebelumnya. Lantas kusodorkan pasporku kepada mereka. Dan kedua dokumen keimigrasian itu mereka tahan.

“Boss? Di mana Boss?” tanya mereka.
“Di atas,” jawabku, merujuk lantai 2 (5-2) yang digunakan sebagai pusat kegiatan manajemen perusahaan tempatku bekerja. Berikut aku yang diapit di tengah, mereka menyongsong ke lantai 2. Di sana kami jumpa Jane, Kinky, Shirley, dan Ali. Tiga orang pertama wanita Warga Negara Malaysia, sedangkan yang terakhir adalah seorang laki-laki WNI. Polisi menahan IC – identity cards – mereka juga. Tidak kulihat tiga rekanku yang lain: Dio, Arman, dan Listia; dua laki-laki dan satu perempuan dan ketiganya orang Indonesia. Barangkali mereka tengah mendapat tugas luar, pikirku.
“Siapa in-charge?” tanya polisi tentang siapa yang pegang kendali. Seolah telah bersepakat, kami membisu. Tidak ada yang menjawab. “Kau?” hardik polisi ketika pandangannya menyasar Jane.
“Bukan. Saya hanya pegawai administrasi,” jawab Jane; seulas senyum palsu nan tak manis menggantung di bibir perempuan setengah tambun berkulit putih kemerahan itu.
“Tapi penampilanmu penampilan boss. Lalu siapa?” bertanya polisi. Sudah sinis, ceriwis pula budinya.
“Tak ada. Boss oversea,” Jane menjawab.
“Ini perusahaan apa?”
“Ringtones,” kembali Jane menjawab; tampak keruh mukanya.

Lalu, “Kenapa ada Indon di sini? Apa yang dia kerjakan?” bertanya lagi polisi kepada Jane. Kali ini tentang keberadaanku di perusahaan. Aduhai, kusabar-sabarkan diri ini. Boleh jadi perwira itu tidak sepenuhnya menyadari bahwa penyebutan Indon itu sendiri, apatah lagi dengan intonasi suara dan roman muka sinis menyebalkan, merupakan verbal abuse yang teramat pedih bagi martabat bangsaku. Sakit hatiku. Tak mungkin peristiwa yang mengoyak harga diri itu kulupa sepanjang hayat masih dikandung badan. “Kerja general works lah,” jawab Jane; menjelaskan bahwa aku bekerja sebagai pembantu umum.
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar