Selasa, 31 Maret 2009

Aneka Warna Kehidupan Orang Tutupan

Aneka Warna Kehidupan Orang Tutupan

Sementara tahanan yang berada di lantai bawah Blok Damai baru dapat menikmati hidangan makan senja ketika matahari nyaris tenggelam di ujung kaki langit barat, kami penghuni lokap lantai atas sayap timur telah mulai menerima rangsum makan senja hari ketika jarum waktu masih menunjukkan angka empat waktu tempatan (3:00 WIB). Ketika itu matahari masih terlalu tinggi. Boleh jadi, penghuni lokap kami dan sekalian penghuni sel-sel tetangga merupakan tahanan-tahanan pertama yang mendapat pelayanan rangsum makanan setiap harinya. Selepas makan, geliat lokap kian semarak. Untuk menyebut beberapa contoh, sebagian warga lokap memanfaatkan waktunya dengan bincang-bincang dan bersenda gurau, sebagian bergendang dan berdendang, sebagian berolahraga ringan, sebagian menghisap tembakau bersama. Ada yang hanya duduk meringkuk sambil menyebit-nyebit kuku dengan gigi dan tangan telanjang.

Panjang lokap yang cukup jauh dijadikan sarana olahraga jalan santai oleh sebagian tahanan. Dalam hal berjalan kaki, kutengok warga Bangladesh mendominasi. Paling tidak terdapat delapan warga Bangladesh yang secara bersamaan rutin berjalan kaki dari ujung barat ke ujung timur bolak-bolak laksana shuttle cock; beberapa di antaranya berjalan kaki sambil menyanyikan lagu-lagu yang mirip nyanyian Hindustan. Aku juga menyukai olahraga ringan dan murah ini. Di beberapa bagian lokap, kulihat beberapa kelompok tahanan India mendendang lagu Hindustan sambil menepuk-nepuk gayung sebagai ketipung. Ada juga yang bergendang paha untuk menambah efek suara. Pernahkan Anda berada dalam sebuah situasi karnaval atau pasar malam penuh kebisingan dalam mana dentaman perkusi dan dengkingan nyanyian serta perbincangan sahut menyahut dengan volume tinggi terdengar hingar bingar dari setiap gerai? Kebisingan dan hiruk pikuk seperti itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keramaian yang terjadi dalam penjara pada masa-masa ketika sebagian besar tahanan bertingkah. Aku mau bilang, itu adalah show-time bagi kami semua; waktunya sejak senja hingga tengah malam setiap harinya. Bahkan gelak orang-orang bercanda kadang-kadang masih saja terdengar lewat tengah malam. Meski demikian, jangan disangka hidup kami senang. Ketika mulut tertawa, hati menangis.

Adalah seorang etnis Melayu tempat mata bertumpu. Dengan suara tenor tinggi merdu ia mendendang lagu. Selain muster, makan, berak, dan tidur, sepanjang waktunya ia gunakan untuk beramal – istilah yang disebut-sebutkannya sendiri dalam menghibur sesama. Ketika bernyanyi, ia lebih suka melakukannya sendiri. Kurang pula dia senang jika ada yang bergendang mengiringi. Dia bilang, tabuhan gendang tiada akan dapat mengikuti irama lagunya. Memang betul apa yang dia katakan. Ketika digendang, ia menjadi kikuk dan lagu yang dinyanyikannya pun terdengar cacat suara, irama, dan nada. Sebuah catatan tambahan dalam ingatanku, Melayu si pendendang ini sukakan perhatian yang ia dapatkan dari setiap insan. Ia kelihatan lebih percaya diri ketika tampil berdiri; sehingga, disamping suaranya yang nyaring terdengar dari segenap penjuru, seisi lokap pun dapat melihat laku lagaknya meliuk lampai. Lagu-lagu pilihannya, tentu, lagu Melayu yang mendayu. Gemar ia mengundang penghuni lain untuk bergembira bersama. Ada juga tahanan yang mengikuti ajakannya bergoyang badan; sorong ke kiri sorong ke kanan dan berputar-putar. Tiada siang, tiada malam – eh, maksudku baik siang maupun malam – ia selalu tampil prima.

Terkadang terlintas dalam benakku, partisipasi aktif jelas lebih baik daripada observasi pasif. Tidaklah semestinya aku mengisolasi diri merenungi nasib sementara yang lain bernyanyi dan menari. Tetapi tetap saja tak dapat kudustai hatiku sendiri. Tak tega hatiku memaksa diri menyanyi dan menari sambil tertawa sementara batin menangis. Kupikir juga tidak berarti kepedihan berseling dengan kegembiraan dalam diri Melayu si Pendendang. Hematku, lagu-lagu gembira yang ia bawakan hanyalah cara dia untuk menutupi wajah sendunya.

Ketika kami berbagi cerita tentang latar belakang kehidupan keluarga, ia yang kini seorang warga Negara Malaysia, lagi-lagi, mengaku sebagai pendatang dari Banjarmasin. Datang ke Semenanjung Malaka awal dekade 1970-an. Kala itu dia masih muda belia, mengikuti langkah ayah bundanya menumpang perahu tomtom; untuk lepas dari deraan zaman susah di Indonesia.

Suatu ketika, Melayu sang penyanyi merajuk karena baju lengan panjang hijau garis-garis hitam milikku. Dia menganggap aku sudah memberikan baju itu kepadanya. Ceritanya begini. Suatu malam sebelumnya, baju hijau yang bolong sebesar kacang kedelai di bagian punggungnya itu dipakai alas tidur oleh Arman. Waktu itu Arman depresi berat. Dia tak dapat menjaga sesuatu barang yang melekat pada tubuhnya. Tengah malam, ketika Arman lelap dan lalai, seorang tahanan lain memungut baju itu. Rupanya, Melayu si pendendang mengetahui aksi tersebut. Dia hampiri si pencoleng baju. Dia katakan kalau baju hijau itu punya dia. Selanjutnya baju itu pindah tangan. Kini berada dalam penguasaan Melayu si pendendang.

Keesokan paginya, aku terkejut pabila tak kutemukan lagi baju hijau itu pada Arman. Lebih kaget lagi, kulihat baju milik seorang tahanan lain yang dititipkan kepadaku itu berlipat di bawah kepala Melayu si pendendang. Dia jadikan bantal. Kubiarkan. Selepas teh pagi, Melayu si pendendang menghampiriku dan cerita panjang lebar tentang aksi penyelamatan baju hijau yang dilakukannya malam barusan. “Titip saja dulu,” pesanku kepadanya tentang baju yang sebelumnya juga selalu kulipat untuk melindungi leher ketika aku berbaring di siang hari. Ternyata Melayu si pendendang menafsirkan kalimat singkat itu sebagai ikrar alih kepemilikan. Berselang beberapa hari kemudian, ketika baju itu kuminta kembali, merengutlah dia. Tak lagi dia ramah. Senyumnya tak lagi renyah. Menyanyi pun sumbang. Suaranya tak lepas. Dia telah bersilih rupa. Hatta, biduan lelaki solo perajuk itu kini benar-benar merasa terpenjara.

Dalam interval lima menit, tiada henti sepanjang hari seorang penghuni warga Filipina meludah dan membuang dahak yang menjijikkan sembarangan ke halaman belakang lokap. Ia tak sadar bahwa dirinya adalah masalah. Dia sedot paksa udara melalui rongga hidung yang menyempit sehingga menimbulkan bunyi, “Dhrrrkkk … dhrrrkkk … dhrrrkkk …,” pada pangkal hidungnya; persis suara babi menjungur-jungur umbi ubi dan keladi di pematang; dan reak menggumpal di nasofaring hulu kerongkongan. Kemudian, tekak dirapatkan ke tengorokan serta bilah lidah ditarik ke belakang ketika ia mengembuskan nafas perut kuat-kuat – sambil mengubah bentuk mulut dari bulat menjadi lonjong – sehingga semburan udara berkelajuan tinggi melalui pipa tenggorokan yang sempit itu membuat tekak bergetar keras dan menghasilkan suara, “Kkhhoeeek ……” memaksa cairan berlendir naik dan maju ke atas lidah yang mencekung seperti daun rambutan gugur kering. Kini ia mengulum massa campuran dahak dan ludah dalam mulutnya. Lantas ia berdiri, balik kanan, memanjat tembok dengan kedua belah tangan mencekal erat dua batang jeruji ventilasi yang ada di atasnya dan kaki mancal pada tembok sebagai pijakan, dan, “Phhuuaah!....” Ludah dan dahak kental muncrat dari muncung, melayang-layang dan terhempas ke atas rerumputan nun jauh di bawah di halaman belakang lokap.

Persoalan tidak selesai sampai di situ. Beberapa tahanan yang berada di dekatnya protes keras lantaran, ketika “Phhuuaah!....” si peludah menyemprot, bayu Sungai Buloh yang menyapu kencang telah memecah dan mengurai sebagian ludah dan dahak menjadi gelembung-gelembung kecil. Karena tiupan angin pula, gelembung-gelembung reak lendir berasa manis asin itu beterbangan balik ke dalam lokap; sebagian buihnya – dengan tekstur selembut telur kodok rawa yang menempel di bawah daun eceng gondok – mendarat pada pakaian, wajah, rambut dan bagian-bagian tubuh lain dari orang-orang yang ada di dekat bawah sana. Lagipula, Dhrrrkkk …… Kkhhoeeek …… Phhuuaah!.... adalah nada-nada liar yang merontokkan selera dan cita rasa. Nyaris saja sebuah bentrokan terjadi. Bajingan tengik satu ini memang si keras kepala yang tidak mengindahkan perasaan orang lain. Kalis jais; bebal betul otaknya. Andai saja dia mau sedikit beretika, sebetulnya dia dapat membuang dahak di kamar mandi dengan efek samping minimal. Penjorok itu juga terlihat terampil mengupil. Di kedua lubang hidungnya banyak menyempil hablur upil sebesar-besar kutil.

Ada dua orang berbadan tinggi. Satu warga Vietnam dan lainnya warga Sudan. Tiang Jawi bilang mereka berdua tiang listrik. Warga Vietnam lebih tinggi dibandingkan dengan warga Sudan. Tingginya tidak terlawan. Tinggi badan keduanya lebih dari 190cm. Ketinggian orang Vietnam berkulit putih kuning bersih itu secara demonstratif ditunjukkannya ketika ia berkali-kali menyentuh balok beton pada langit-langit lokap hanya dengan berjinjit, tanpa harus melompat; sedangkan banduan-banduan lain melakukannya dengan cara melompat-lompat, itu pun belum tentu menjangkau. Meski demikian, warga Sudan mampu menarik lebih banyak perhatian karena penampilannya yang menonjol lain dari yang lain. Rambut keriting kecil-kecil mengkilap, kulit hitam malam, tubuh ceking, dan ia masih remaja belia. Selain itu, ia tidak dapat berbicara Bahasa Melayu. Dengan sendirinya remaja Sudan berkaki jangkung seperti praying mantis (belalang sembah) tersebut termasuk salah satu bintang lokap, selain Melayu si pendendang tentunya.

Ketika ada yang bertanya kepadanya tentang rambutnya yang mengkilap, ia bilang bahwa ia merawatnya dengan buah zaitun. Banyak yang tidak mengerti karena di Malaysia minyak zaitun hanya lazim untuk menggoreng. Untuk menghindari kesalahfamahan dengan sejumlah banduan yang bersemangat merubungnya, dia meminta bantuanku untuk menerjemahkan kata zaitun ke dalam Bahasa Malaysia. Kubilang zaitun itu adalah olive dalam Bahasa Inggris. Bahasa Melayu juga menyebutnya zaitun. Dengan kata lain, Sudan bilang zaitun, Melayu pun bilang itu zaitun. Nama yang sama untuk barang yang sama – sami mawon – meski yang menggelarinya adalah dua bangsa berbeda dan letaknya secara geografis jauh terpisah; yang satu di Afrika sedangkan lainnya mencangkung di Asia Tenggara.

Karena di Sudan banyak perkebunan zaitun, maka dapat kubayangkan jika mereka memproduksi minyak zaitun dalam kuantitas berlimpah. Dan tentu pula mereka cukup kreatif untuk mengembangkan manfaat darinya. Bahkan kulihat anak Sudan itu berpantomim memperagakan buah zaitun segar dibelah-belah, kemudian diperas dan digosok-gosokkan di atas kepala; membuat beberapa pendengarnya bengong, berdecak lidah, dan geleng kepala.

Tak hanya Melayu si Penghibur, lokap kami juga punya Melayu sang Penidur. Bila melihat, matanya menyorot redup lima watt. Ia ada di dalam sini lantaran terjerat kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Ia adalah manusia paling sederhana di dalam lokap. Kerjanya tidur melulu. Tiada ia terpesona oleh lingkungannya. Demikian juga sebaliknya, hampir tak ada penghuni lain memberi perhatian terhadapnya; seakan ia datang tak berjemput, pulang tak berhantar. Ia ada tapi sepertinya dianggap tiada. Pesakitan ini melewatkan hari-harinya tergolek lemah kurang daya di bawah pintu timurlaut yang berada tepat di pojok depan kanan sel. Badannya yang kurus kering teronggok dalam posisi miring membungkuk. Dengan kepala dingin, ia menjaga jarak dari dunia. Tak dihiraukannya semarak keadaan sekitar; seolah khawatir akan kehilangan mimpi. Sesekali tubuhnya menggeliat lambat, selambat kungkang yang menempel malas di ranting kering dahan cemara. Hanya teriakan “Muster!” yang mampu memikat hati dan membuat tubuh malasnya bangkit dari tidur panjang.

Pada sebuah masa jaga, bercerita Sang Penidur padaku tentang pengalamannya menghuni berbagai penjara di berbagai penjuru negeri. Dia bilang dia seorang penagih berat yang tak mungkin tersembuhkan hanya karena cekalan penjara. Kulihat matanya tiba-tiba berbinar ketika berbicara tentang rangsum makanan; membanding-bandingkan variabilitas menu dari hari ke hari dan dari satu penjara ke penjara lainnya. Sepanjang waktu, hidupnya selalu terhanyut dalam hayalan. Ketika kutanya apakah ia ingin bebas, dia jawab bukan itu masalahnya; lantaran, katanya pula, setiap kali ia keluar dari sebuah penjara maka tak lama berselang ia akan kembali, baik ke penjara yang sama maupun ke penjara berikutnya. Barangkali dia mau bilang padaku bahwa pusat perhatian dalam kehidupannya bertumpu hanya pada tiga hal: dadah di dunia bebas, serta makanan dan tidur nyenyak di alam tutupan. Boleh saja orang bilang, keledai tidak akan terjerumus masuk lubang yang sama dua kali. Tetapi, kawan satu selku Melayu sang Penidur bukan keledai; dan penjara seantero negeri juga tidak berbentuk – dan tiada pula ditanam dalam – lubang.

Aku tidak berkias. Sang Penidur adalah seorang anak manusia, bukan seekor himar yang pernah suatu ketika terperosok masuk lubang. Karenanya tiada pula perlu Sang Penidur berpikir untuk beranjak keluar dan meninggalkan lubang.

Walau jumlah orang Indonesia terbilang lumayan banyak, kita jarang melakukan sesuatu aktivitas yang cukup menonjol atau berlebihan. Orang-orang Indonesia lebih memilih sikap low profile sehingga tak banyak menarik minat dan perhatian seisi lokap. Selain itu, orang-orang Indonesia cenderung berbaur hanya dalam skala terbatas; ngobrol ringan dengan orang-orang lain yang kebetulan duduk bersebelahan. Bahkan sekedar menjalin komunikasi lintas casemates – kawan sekasus – di kalangan orang-orang Indonesia sendiri pun tidak kita lakukan. Sepertinya orang-orang Indonesia terlalu asyik dengan diri sendiri sehingga terkesan kita tidak kompak. Yang semula tidak kenal, tetap saja sebagai tidak saling mengenal. Menyanyi bersama dengan sesama juga kita tak suka. Beberapa lagu pop Indonesia justru terucap dari bibir Melayu si pendendang dan kawan-kawannya. Berbeda halnya dengan warga negara asing lainnya seperti Bangladesh atau Myanmar misalnya. Mereka kelihatan kompak dan siap membela kepentingan kawan sebangsa, sekalipun dalam posisi yang salah. Kelompok Myanmar, contohnya, langsung berdiri tegak serempak siap bertindak ketika salah seorang di antaranya terancam dalam sebuah perseteruan yang menjurus baku hantam. Mereka bagai sapu berhimpun kokoh dalam satu berkas ikatan.

Dalam satu kesempatan, kulihat Ali berbincang serius dengan seorang lelaki Cina yang usianya berada cukup jauh di atasnya. Ketika kuhampiri, nyata bagiku bahwa percakapan yang mereka lakukan kurang lebih seperti sebuah situasi dalam sebuah les Bahasa Cina. Yang ia konsultasikan kepada ape tua itu adalah ucapan Pinky ketika melongok kami di lokap Mahkamah PJ. Pemahaman Ali tentang bahasa leluhurnya itu memang tergolong payah. Ali masih ingat setiap kata yang diucapkan Pinky ketika itu; hanya saja tidak semua kata difahaminya dengan baik.

“Jadi itu artinya ‘satu bulan’?,” bertanya Ali.

“Ya, satu bulan,” menjawab ape Cina.

“Bukan enam?” kembali Ali bertanya penasaran.

“Bukan. Satu bulan,” tegas ape Cina mempertahankan.

“Kita mau dibayar satu bulan kalau kita dipulangkan,” menerangkan Ali kepadaku.

“Satu bulan?” aku bertanya; berpura-pura tidak menguping pembicaraan mereka sebelumnya.

“Ya, satu bulan. Kupikir enam bulan. Bahasa Cina sulit sih.”

“Enggak penting,” kataku, “Yang lebih penting boss mau jamin atau tidak.”

“Nampaknya kita tidak segera dijamin,” jawab Ali dan, “Boss pasti menunggu masa tahanan kita habis. Lihat saja, sewaktu kita di lokap Puchong. Satu minggu kita di sana tidak dijamin. Sekarang pun sama. Pasti sampai habis satu bulan ini kita masih harus di sini.”

“Bisa busuk kita di sini,” aku berkomentar dengan perasaan amat kesal. Terbitlah di dadaku perasaan dihianati.

Kekhawatiran Ali bahwa kami tidak segera dijamin terbukti benar. Jangankan dijamin, dijenguk pun kami tidak. Ibarat rumput kering mengharap hujan, Ali mengeluhkan keadaan kami yang kian memburuk. Ketika hari berganti, mandi kami tak bersabun. Habis mandi kedinginan kami karena tak berhanduk; dan dingin itu terasa sangat menyiksa ketika malam-malam aku terbangun dari tidur dan harus mandi besar hanya karena lepasnya libido secara tergesa-gesa dalam sebuah mimpi basah yang tak kusadar; badan kuyuku menggigil dengan gigi menggeletuk. Air ludah dalam mulut semakin basi dan berlendir sebab kami tak pernah bergosok gigi; gigi pun rajin mengarang tanpa hambatan. Baju dan celana kami tak berganti sehingga menjadi lembab berbau, kumal, gatal, berjamur. Tentu tak dapat kami mengelak sekiranya ada yang menilai kini kami lebih mirip dan cocok sebagai orang gila yang duduk dan tergolek kapiran di emperan gudang menyan.

Aku harus berterus terang tentang perasaan. Satu bagian badan dan ruh kami sudah meninggalkan dunianya orang waras; dan satu bagian lagi mulai merangas dan mati pelan-pelan bagaikan lembar-lembar daun mengering dan mengerukut pada mana kawanan semut bersarang. Sejak memasuki dunia kurungan, batin kami telah tergelincir menjauhi wilayah dunia nyata. Di antara kami semua, Arman mendapati dirinya terpental paling jauh.

Dalam pada itu, tiada henti Ali menyesali diri lantaran merasa telah mengambil peran pasif ketika polisi melepas tiga perempuan Cina rekan kerja kami. Seharusnya, kata Ali, waktu itu ia juga minta kepada polisi untuk turut melepas Listia. Bertalian dengan itu, aku hanya bilang bahwa kami semua sedang ditimpa musibah. Tak usah menyalahkan diri sendiri dan tiada pula perlu bersesal hati. Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna. Membiarkan oknum polisi Malaysia leluasa berperilaku diskriminatif sampai mempersusah hidup pekerja Indonesia bukan merupakan kesalahan satu atau dua orang di pihak kami. Itu sebahagian adalah buah getir jiwa terjajah dari kami berlima secara kolektif warga Indonesia yang terlalu loyal kepada majikan lantaran takut akan kehilangan pekerjaan sehingga tidak dapat menafkahi tanggungan. Kalaulah kami memang punya nyali kemandirian dan harga diri jempolan, kami pasti berani mempersoalkannya; bahkan sampai berani melawan walaupun tidak seimbang.

Arman larut dalam kesedihan yang tiada berkeputusan. Lebih suka ia belanjakan waktunya berlama-lama bermenung diri; jarang pula ia bersuara. Sekali bicara, logatnya melafalkan rasa cemas dan takut terhadap ketidakpastian semasa di alam tutupan. Berkata ia padaku dalam tutur frasa kacau dan tidak beraturan bahwa yang selalu membebani pikirannya adalah hutang kepada seorang rekan yang hingga kini belum dibayar. Ikatan hutang-piutang itu terjadi pada minggu ketiga bulan April dan Arman berjanji akan membayarnya kembali pada hari-hari pertama di bulan Mei. Tanggal muda adalah waktu terbaik dalam bulan bagi orang upahan untuk mengurai simpul hutang-piutang. Namun apa hendak dikata. Alih-alih janji bayar hutang terbayar, kini ia meringkuk dalam tahanan; dan bayangan utang itu terus mengamuk dalam angan-angannya. Sebetulnya utang yang ditanggungnya tidaklah besar; hanya berjumlah Rp. 500.000,- (ekivalen dengan RM 200).

Adalah rasa cemas berlebihan yang meciptakan kondisi Arman memburuk. Tiada lepas ia membayangkan sebuah situasi di kotanya dalam mana ibunya nelangsa tidak berdaya ketika penagih hutang mengetuk pintu rumah. “Jika kondisi itu terjadi,” berkata aku kepadanya, “tentu kakak-kakak dan adikmu tidak tinggal diam. Mereka bersama pasti bersedia membereskannya.” Mereka tentu dapat mengumpulkan uang secara patungan atau tanggung renteng. Kubilang saja kepadanya untuk segera berhenti mengeluh dan menuntut perhatian lebih dariku. Namun, Arman tetaplah seorang Arman yang tak mau menerima saran dan penjelasanku. Ia bahkan memintaku untuk membayarkan hutang tersebut kelak ketika aku bebas. Ia katakan bahwa, menurut mimpi yang ia yakini kebenarannya (ia berbicara tentang apa yang ia lihat dalam mimpi), hanya aku yang kelak bebas dan selamat sampai di Tanah Air.

“Jangan ngaco!” kataku menghardik. “Jangan pikirkan yang bukan-bukan. Kita satu kasus. Bebas satu bebas semua,” tambahku pula berusaha menenangkan meski dengan nada kesal. Bertitahlah aku kepadanya untuk tidak berlarut-larut membiarkan diri dihantui rasa bersalah. Kelak kupastikan Arman justru menjadi orang pertama dari kami berlima yang sampai di ambang pintu rumah, sementara kami masih ribuan kilometer terpisah dari keluarga. Meski tubuh bergolek di lantai siang dan malam, tetap saja matanya berkedip-kedip tak mau memejam dan kaki bergetar. Ketika tiduran, posisi tubuh Arman miring membungkuk, kaki berlipat, dan tangan bersedekap jika tidak menyelip di antara lutut. Paha sampai lututku pun tak luput dijadikannya bantal.

Perasaan takut dan cemas telah meracuninya; mengikis selera makan dan merusak pola jam biologisnya. Tak jarang Arman bilang, “Kenyang,” ketika waktu makan tiba; ia pandangi makanan dengan pasif. Seorang tahanan Melayu berujar kepadanya, “Ini penjara. Kau tak boleh sakit. Makanlah.” Begitulah mulutnya berbicara ketika gerahamnya mengunyah; makan berlekas-lekas. Arman tak bergeming. Setelah kami paksa dengan suara menyalak, mata terbelalak, dan posisi tangan siap-siap mengeplak, baru ia mau bersuap dan berdecap.

Satu hal tentang perilaku Arman sempat membuat kami – Ali dan aku – lumayan repot. Ia mencurigai setiap orang yang menghampiri, mengerubuti, dan mengajaknya berdialog adalah anggota badan intelijen yang menyelidiki kasus kami. Kepada mereka, Arman selalu acungkan jempol sembari berucap, “Hebat. Taktik kalian hebat!” Sering pula ia menyalami mereka satu per satu; berulang kali lagi. Pikirannya berliput wasangka bahwa aparat Balai Polis Puchong masih saja menguntit dan mengejarnya – bahkan bersedia menemaninya menjalani hidup susah – sampai di balik jeruji besi penjara. Kawan ini, aku bergumam, terlalu sering menonton gambar hidup berlakon mafioso dan detektif. Sukar aku membuatnya yakin bahwa kecurigaan seperti itu sangat berlebihan dan tidak benar. Kukatakan kepadanya bahwa setiap jiwa yang ada dalam lokap semuanya pesakitan, tanpa kecuali. Layaknya hidup berjiran, adalah suatu keharusan bila tahanan saling menghampiri memperkenalkan diri dan berbasa-basi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan diri masing-masing; terutama mengenai kasus yang menimpa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar