Selasa, 31 Maret 2009

Salero Bundo; Cacing Cau

Salero Bundo!

Selasa 1 Mei 2007. Meski hari ini merupakan hari cuti, penyidik menjemput kami untuk melakukan pemeriksaan. Kami dibawa ke tempat yang sama dengan sehari sebelumnya; sebuah pelataran parkir dari sebuah pom bensin. Sebagaimana halnya dengan pemeriksaan sebelumnya, kali ini pun kami berempat (minus Listia) berada di dalam mobil, sementara para penyidik melancarkan pertanyaan demi pertanyaan dari luar kendaraan.

“Kalian bisa buatkan homepage untuk tampilan di Internet, ya? Berapa bayarannya?” pancing seorang penyidik yang berdiri membungkuk di bawah pintu kiri mobil; dan, “Kalau saya mau tampilkan foto dan gambar agar terlihat oleh semua pengguna Internet di seluruh dunia, bagaimana caranya?” lanjutnya pula. Aku menjawab, banyak cara untuk menampilkan sesuatu hasil karya di jaringan Internet. Salah satunya adalah mengirimkannya ke situs-situs media online. Tampaknya jawaban yang kuberikan kurang memuaskan kepenasarannya. Ia dan rekan-rekannya segera meninggalkan kami. Dan kesempatan itu kami pergunakan untuk diskusi kecil-kecilan. Ali mengingatkan kami untuk tidak terpancing dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjebak. “Bilang saja tidak tahu,” sarannya. Selain daripada itu, ia juga mengingatkan kami untuk tidak akan pernah mengeluh sedikitpun soal keadaan kami di Balai Polis Puchong kepada penyidik KPDN. “Masalahnya kan kita sekarang masih di lokap polisi. Kalau sampai mereka mendengar kita bicara yang tidak-tidak tentang mereka, bisa repot kita jadinya,” terangnya kepada kami mengenai kekhawatiran tentang resiko mendapat perlakuan yang kurang menguntungkan dari pihak kepolisian jika kami bermulut lancang. Aku tahu peringatan itu ditujukan lebih kepadaku; sebab aku paling comel ketika menyinggung kualitas pelayanan publik. Ketika sebelumnya penyidik KPDN bertanya kepada kami apakah kami sudah sarapan, aku keceplosan mengeluhkan rangsum makanan yang dibagi tidak merata antara tahanan.

“Tak mungkin mereka tak memberi makan banduan,” sergah seorang penyidik.

“Yang bagi makanan itu tahanan, bukan polis,” aku memberitahu.

“Bukan polis?”

“Bukan.”

“Cukup tak?”

“Nasi bungkus banyak. Lebih dari cukup jumlahnya.”

“Lantas?”

“Karena yang bagi rangsum itu tahanan, mereka membaginya tak rata.”

“Tak rata bagaimana?”

Ada yang ambil duotigo. Mereka – geng – selalu makan kenyang. Tapi ada pula tahanan yang tidak makan karena tak kebagian rangsum.”

“Mengapa tak ada yang cakap kepada polis?”

“Mana ada yang berani.”

Setelah yakin tiada dapat mengorek informasi tambahan dari kami, mereka memutuskan untuk mengembalikan kami ke lokap Balai Polis Puchong. Dalam perjalanan, ada sebuah pemandangan yang tak terlewatkan oleh seisi kendaraan ketika sebuah sepeda motor menyalip dari jalur kiri. Kami menyalip mereka dari jalur kanan. Kembali mereka menyalip kami dari jalur kiri. Sepeda motor itu menarik perhatian kami bukan karena aksi salip menyalip; tapi lebih karena faktor perempuan muda usia yang diboncengnya, seorang gadis bertubuh montok mengenakan baju warna hijau kuning merah cerah dan celana denims. Ia duduk mencangkung di belakang.

Postur tubuh, pakaian ketat dengan banyak warna berbeda yang dikenakan, dan cara ia duduk dengan posisi kaki mengangkang dan tangan memeluk erat dan tubuh membungkuk udang – berasa pejal dan konyal pada punggung pemboncengnya; mengaktivasi denyut-denyut elektromagnetik yang memicu dan memacu reaksi kimia badani dari kedua insan yang berdempetan – menggugah imajinasi sensual sesiapa jua lelaki normal yang memandang. Orang-orang pesisir yang kepincut olehnya tentu akan bersepakat untuk bilang lomak atau lengkapnya, “Alamak, lomaknyo!” yang diucapkan dengan ekspresi wajah dan gesture badaniah sedemikian rupa sehingga kelopak mata terbuka lebar-lebar, badan dicondongkan sedikit ke depan, kepala bergeleng unta seakan tak percaya kalau itu nyata, bibir berdecak, air liur berat ditelan untuk menjelaskan betapa ia memang enak dipandang dan serasa sedap dinikmati bagai kudapan renyah gurih berlemak yang tersaji di atas sebuah pinggan perak. Sampai-sampai satu-satunya perempuan penyidik kami – juga berbadan denok – tak lepas mendesah berkomentar, menggoda para lelaki.

Tiada pula lupa kutabur bubuk bumbu rempah pelengkap, “Salero bundo!” kataku. Selera emak adalah padanan kata yang sengaja aku pilihkan untuk mereka ekori. Maksudnya, bunda pasti sukakan menantu montok sehat sintal berlemak cukup menggiurkan yang boleh membangkitkan gairah setiap jiwa pejantan untuk menambat harapan.

Cacing Cau

Cara-cara KPDN menangani kasus kami telah menimbulkan perasaan apatis yang mendalam pada diriku. Meski demikian, ada saja alasan dalam alam pikir kreatifku yang menolak untuk bersikap pasip. Beberapa kali kucoba untuk memperluas lingkup pandangan mereka dengan melakukan apa saja yang kupikir akan dapat membantu. Dalam perjalanan kembali ke Balai Polis Puchong itu juga, misalnya, kubilang sama mereka kalau kami, menurut istilah Sunda, adalah cacing cau – cacing yang bermukim di bonggol pisang – yang tak punya cukup arti. Sengaja kubungkus pesan itu dalam bahasa sarkastik; sekedar menguji kecermatan pengkajian dan kepatutan mereka dalam mengurai perkara. Tak lain maksudku adalah agar mereka menggunakan pendekatan multidimensional berimbang; mengukur setiap variabel yang mungkin. Misalnya mereka dapat menelaah konfigurasi tugas pokok dan fungsi antar peran kami di perusahaan; peran pegawai dan peran manajemen. Yang kumau mereka dengan kesadaran penuh juga harus mau berjibaku memburu pemilik perusahaan. Akan tetapi mereka tidak melangkah sejauh itu. Ibarat air dan minyak yang dituang dalam satu bejana; meski diaduk sampai tulang belakang terbungkuk-bungkuk pun tak pula hendak kedua unsur bercampur-baur.

Gagasanku sukar ditangkap. Caraku berpikir tak pernah jumpa dan bersenyawa dengan disain utama penanganan perkara yang mereka lakukan. Seakan ingin sembunyi dari kebenaran hakiki, mereka membatasi diri pada informasi spesifik yang mereka inginkan dalam mana fokus pencarian adalah: (1) letak kesalahan kami, dan (2) orang atau pihak yang mau menjadi penjamin kami. Padahal, kalau saja mereka mau sedikit bersabar dan bersusah mempelajari aneka data dan informasi yang termaktub secara tersurat dan tersirat pada hard copy berkas catatan manajemen yang turut mereka sita, akan terang bagi mereka siapa-siapa saja pentolan yang layak dimintai pertanggung-jawaban.

Karena tidak punya pilihan, aku wajib kedepankan perasaan-perasaan positif terhadap latarbelakang pengalaman aparat KPDN dalam berperkara. Kutanamkan keyakinan dalam kalbuku, tidak ada alasan yang cukup kuat untuk meragukan sebuah tim kerja profesional dengan kelengkapan sumberdaya, kapabilitas, dan kompetensi kayak mereka sebagai tidak dapat membidik dan menembak sasaran bergerak. Tetapi aku memang terlanjur kecewa dan tidak puas secara sangat radikal terhadap kualitas hasil kerja investigasi yang mereka lakukan. Kujengkali, pemeriksaan-pemeriksaan itu – baik sendiri-sendiri maupun ketika dikombinasi – lebih mirip sebagai satu rangkaian aktivitas intermeso belaka yang menyelingi kesibukan hari-hari mereka menunggu tanggal muda.

Terkadang aku sesali, posisi sebagai tersangka sangat menyulitkanku untuk leluasa menggunakan cara penyampaian pesan yang lugas dan efektif. Boleh jadi mereka telah menemukan penggalan-penggalan jigsaw berserakan di setiap sudut pemeriksaan; tapi mereka tidak memiliki kesabaran penuh dan keahlian yang cukup untuk merangkai potongan-potongan informasi tersebut menjadi sebuah gambar utuh tiga dimensi mengenai kasus yang tengah mereka tangani. Seandainya mereka mau mendengarkan suara hati mereka dengan seksama, niscaya akan sampai mereka pada sebuah pemahaman yang menghampar luas di hadapan bahwa tidaklah semestinya mereka menuntut tanggungjawab di luar kapasitas kami. Itu tidak berarti bahwa aku mau lempar batu sembunyi tangan lalu lari ke rimba raya mencari kambing hitam. Tidak sama sekali. Itu adalah tindakan pengecut. Tiada niatan di hati untuk menyalahkan sesiapa juga orang lain atas apa-apa yang terjadi pada diri ini. Aku hanya ingin agar – dengan rentang derajat kecermatan yang dapat diterima akal waras – tim penyidik betul-betul merasa yakin bahwa mereka tidak salah periksa. Aku secara pribadi dengan lapang dada mau bertanggungjawab penuh sebatas pada apa-apa yang telah aku lakukan. Kebenaran itu memerlukan bukti.

Betul bahwa pembuktian bersalah-tidak bersalah, termasuk kadar keterlibatan seseorang dalam tindak pelanggaran aturan, kelak hakim Mahkamah yang akan menilai dan memutuskan. Itu pun jika hak-hak terdakwa – seperti pendampingan oleh lawyer yang sungguh-sungguh dapat menyuarakan keprihatinan dan kepentingannya – terpenuhi. Hanya saja merampas kemerdekaan seseorang selama masa tahanan merupakan perbuatan aniaya yang luput dari perhatian mereka.

Adalah sepenuhnya hak mereka memilih informasi mana saja yang mereka suka untuk menjadi fokus perburuan dan mengabaikan bagian-bagian lainnya. Tapi sejatinya langkah-langkah yang mereka ayunkan tidak membebani sesiapa saja secara tidak proporsional. Tidak jelas bagaimana mereka akan mengungkap perkara sementara mereka kurang memahami makna dari kandungan data yang tersurat pada dokumen yang mereka sita. Kumpulan kertas kerja tersebut adalah akses ke semua informasi yang relevan. Dengan sedikit keberuntungan, bisa jadi mereka akan menemukan pada dokumen itu denah aliran informasi yang dapat mereka telusuri secara lebih mendalam, sehingga berujung pada sesuatu penjelasan yang mungkin benar tentang apa yang mereka kejar. Did it really slip their minds to scrutinize the confiscated papers? Atau malah disengaja?

Adakah orang kuat dengan energi mantap yang telah memberi arahan kepada aparat intelijen Balai Polis Puchong pada tanggal 27 April sebelumnya juga turut memberi aba-aba “No more steps!” secara bermakna sehingga meredam gerak laju langkah aparat KPDN untuk berhenti hanya sampai di situ? Sebab sang narapraja khawatir, semakin jauh potensi industri mereka maju, semakin terang akan ada korban-korban susulan yang tergilas dan terseret-seret secara tidak perlu di lintasan mereka. Dalam pada itu, Arman curiga mobil dipasangi alat perekam. Kecurigaan itu ia sampaikan kepadaku ketika kami telah tiba kembali di Balai Polis Puchong. “Kita disadap. Waktu kita bicara, yang perempuan mengirim SMS,” bertutur lancar Arman memberi alasan.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar