Selasa, 31 Maret 2009

Penetapan Jaminan RM 7000,- per Satu Orang

Penetapan Jaminan RM 7000,- per Satu Orang

Pintu lokap lelaki dibuka. Satu per satu borgol di pergelangan tangan banduan dilepas. Satu demi satu tahanan dijebloskan ke dalam lokap. Demikian halnya keempat kawan serantai denganku; gari di tangan mereka turut dilucut. Sedangkan belenggu yang menggari tanganku dibiarkan terkunci. Tinggallah aku satu-satunya banduan yang masih digelang gari dan berdiri di luar lokap. Ketika aku meminta gari yang menggelangku dibuka, sipir menolak. Alih-alih, tiga rekan satu kasus denganku – Ali, Arman, dan Dio – dipanggil keluar satu per satu dan diborgol pada tiga gelang lain yang masih satu rantai denganku, tanpa aku terlebih dahulu masuk lokap; karena kedatangan kami telah sangat dinanti oleh pendakwa raya dan petugas KPDN. Lantas kami empat serantai – plus Listia yang juga dijemput dari lokap perempuan – digiring ke dalam ruang sidang.

Ketika kami masuk, Puan Hakim tengah membacakan keputusan hukuman yang dijatuhkan kepada seorang banduan. Ia adalah seorang warganegara Malaysia etnis Cina. Adalah denda limapuluh dua ribu ringgit atau kurungan badan enam bulan hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Kesalahan yang didakwakan: kepemilikan VCD/DVD bajakan. Kulihat juga beberapa peti kardus terikat dan tertutup yang berisi ribuan keping VCD/DVD bajakan sebagai barang bukti ditumpuk di atas deretan bangku panjang paling belakang yang ada dalam ruang sidang. Setelah rampung Puan Hakim menanda-tangani amar putusannya, banduan digelandang keluar untuk kemudian diparkir di dalam lokap mahkamah. Dan kini panitera membuka sidang dibuka untuk kami.

Sesaat setelah sidang dibuka, pendakwa raya membacakan keabsahan paspor Arman, Dio, Listia dan aku. Sedangkan keabsahan paspor Ali dibacakan oleh penguam. Penyebab paspor Ali berada di tangan lawyer adalah ketika polisi menangkap kami, paspor Ali sedang berada di tempat agen untuk kepentingan perpanjangan permit kerjanya. Ketika itu Ali hanya memegang semacam surat keterangan dari agen yang menjelaskan bahwa paspor sedang diproses ijin kerjanya. Kupejam mata ketika pendakwa raya membacakan keabsahan paspor yang kumiliki. Dio, yang pergelangan tangan kirinya menyatu dengan pergelangan tangan kananku oleh gari, meremas tangan kananku dengan tangan kirinya; mencoba menenangkanku. Rupanya dia merasakan getaran emosi yang merambati tanganku dan mungkin juga dia sempat memperhatikan ekspresi wajahku. Di satu sisi, Dio berusia paling muda di antara kami. Namun di sisi lain, kunilai anak di bawah umur ini adalah yang paling tabah. Selama kami berada dalam tahanan, tak pernah sekalipun kulihat air mata menggenang di kelopak matanya.

Setelah mendengar keabsahan paspor yang kami miliki, Puan Hakim bertanya kepada baik itu pendakwa raya maupun penguam tentang makna dari absah. Keduanya menjawab bahwa paspor tersebut benar diterbitkan oleh kantor imigrasi Indonesia dan masih berlaku. Puan Hakim lantas meminta keduanya untuk maju. Ia tadahkan dan julurkan tangan kanannya ke depan sebagai sinyal bagi attorney dan lawyer untuk menyerahkan dokumen itu kepadanya. Puan Hakim pun membuka lembar demi lembar paspor kami sambil sekali-sekali ia layangkan pandangannya kepada kami. Tiada pula ia sudi membiarkan waktu berlalu tanpa mencermati permit kerja kami.

“Apa kerja kalian?” tanya Puan Hakim; Listia yang dipandang.

“Disainer,” jawab Listia.

“Kau?” sekarang pandangannya menyaput Ali.

“Disainer juga,” jawab Ali.

“Kalian juga?”

Masing-masing kami – Arman, Dio dan aku – pun menjawab sama, “Ya, disainer.”

“Orang ini kerja tipu-tipu lah,” bergumam Puan Hakim.

Selanjutnya Puan Hakim bertanya kepada pendakwa raya apakah kasus akan tetap dilanjutkan, mengingat paspor kami asli dan masih berlaku. Pendakwa raya pun menyatakan bahwa kasus tetap dilanjutkan. Betapa emosiku tidak stabil sepanjang waktu persidangan. Pun tatkala pendakwa raya bersikukuh bahwa ia tetap akan melanjutkan tuntutan terhadap kami, mataku berkunang pertanda aku dalam keadaan gentar; seakan jarak antara kami dan kebebasan kian merenggang. Tak berapa lama, lawyer mengajukan jaminan. Kontan saja pendakwa raya bicara ia minta uang jaminan RM 10.000 per orang. Ketika pendakwa raya mengajukan angka sepuluh ribu, perasaanku sedikit tenang. Uang jaminan sejumlah itu masih jauh lebih rendah ketimbang angka yang diprediksi oleh Ali ketika kami masih di blok Tawekal penjara Sungai Buloh; waktu itu Ali menyebutkan besaran uang jaminan sekitar RM 50.000. Kepada Puan Hakim, lawyer menawar RM 6000. Tidak banyak pertimbangan, Puan Hakim menetapkan RM 7000. Lawyer setuju.

“Semua jamin?” tanya puan hakim pada penguam. Pertanyaan sederhana itu menyentak dan membuatku lagi-lagi tertegun; ngeri membayangkan kesengsaraan yang berlipat-lipat jika lawyer hanya akan menjamin beberapa saja dari kami. Kekuatiran akan kengerian itu kembali merayap ke segenap pembuluh darah dan menyumbat saluran pernapasanku. Memang, sebagaimana halnya Ali, Pinky memberi jaminan padaku bahwa perusahaan akan menjamin kami semua. Tapi bagaimana jika karena satu dan lain hal mereka terpaksa mengingkarinya?

“Ya,” jawab lawyer; membuatku bernafas lega kembali.

Atas permintaan pendakwa raya, Puan Hakim menetapkan paspor kami berlima ditahan oleh Mahkamah. Keputusan penting lainnya adalah Puan Hakim menetapkan bahwa sidang lanjutan bagi kami baru akan digelar sembilan bulan ke depan, yakni Maret 2008. Palu diketuk pertanda sidang ditutup. Masih dalam keadaan diborgol, kami digiring masuk kembali ke lokap Mahkamah. Di luar, cuaca telah berubah cerah. Di tengah perjalanan antara ruang sidang dan lokap mahkamah yang berjarak hanya beberapa puluh langkah, Pinky secara diam-diam menyodorkan dua bungkus rokok putih kepada Ali. Kopral Jamil, salah seorang sipir mahkamah, mengetahui hal itu dan melarangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar