Selasa, 31 Maret 2009

Pelepasan Tahanan dari Penjara Sungai Buloh

Pelepasan Tahanan dari Penjara Sungai Buloh

Rabu, 6 Juni 2007. Massa banduan sangat banyak dan aku tak dapat menaksir jumlahnya; menyemut. Kurasa antara tiga ratus sampai empat ratusan; mayoritas warga negara asing. Pantaslah pabila Pemerintah Malaysia dibuat pening karenanya.

Di tengah hiruk pikuk dan padatnya iring-iringan banduan yang akan naik mahkamah, seorang banci tak bergincu membayang-bayangi dan – macam katak pohon – menempel di ekorku. Jakunnya naik turun. Matanya mengerling binal. Gerak-gerik kedua belah bibirnya komat-kamit tak beraturan tiada henti; kayak pantat babon ayam buras yang siap bertelur.

Aku enggak pangling kepadanya. Aku masih ingat betul muka bencong itu. Dia adalah wadam yang sama dan satu-satunya waria menor yang pada tanggal 4 Mei 2007 sebelumnya disodori gunting kuku oleh seorang sipir karena kuku panjangnya yang berkuteks biru terong harus dipotong pendek. Kupercepat langkah untuk memperlebar jarak; tidak mudah. Karena harus menyeruak menerobos massa manusia dalam gerak kolosal yang semuanya tengah dirundung masalah.

Mungkin karena melihat garis wajahku yang tulen Jawa, “Alon-alon, mas,” kicau khunsa jantan berlagak betina – itu menggoda manja; bindeng dan sangat tidak merdu. Berdiri bulu kudukku; merinding. Aku bersumpah. Coba kalau di alam bebas, kutumbuk dia; kubuat torpedonya jadi peloh tak berguna; kutunjangkan loncengnya sampai dia terjengkang, terjerambab, menggelepar, dan pangsan sekalian. Jengkel aku. Sekali lagi aku mencoba untuk melepaskan diri dari waria tak-bersolek tadi. Dan kali ini pun aku gagal. Payah juga enyah dari kintilannya. Tiadalah aku dapat menerobos barisan yang bergerak merayap sementara kuharus tetap menghindari kemungkinan bersenggolan dengan sesama tahanan. Karena di dalam sini, senggolan bisa berarti marabahaya yang mengancam jiwa. Sementara itu, keadaan barisan yang berjalan berarak makin ke belakang makin pecah tidak beraturan.

Tepat di depan pintu keluar blok, rangsum teh tarik dan roti untuk sarapan pagi dibagikan. Dimulai dari yang terdepan, pembagian catu dilakukan ketika para tahanan masih berjalan beriring-iringan dalam barisan. Kemudian masing-masing mencari tempat yang nyaman untuk menyantapnya. Tanpa kelakar, berserak di koridor banduan bersarap beberapa potong roti tawar bermentega yang dicelupkan ke dalam secangkir teh suam-suam kuku. Embun belum kering dan tak segera mengering karena kabut tebal sisa hujan tadi malam masih pekat menyelimuti pagi. Di sana-sini dekat koridor antar blok, gumpal-gumpal embun bening seputih salju terperangkap sarang laba-laba yang berselirat, menggantung rendah di atas dan sela-sela hamparan rerumputan setinggi mata kaki dari permukaan bumi; bak koloni jamur di musim subur.

Satu per satu banduan menyerahkan cangkir ke dalam dua buah gerobak dorong yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh orang kerja. Aku adalah satu di antara sedikit orang yang menyerahkan cangkir pada menit terakhir. Ketika aku akan memasukkan cangkirku ke dalam salah satu gerobak, kulihat dalam cangkir-cangkir kotor yang menumpuk masih banyak roti dan teh bersisa. Rupanya banyak banduan tak berselera makan; lantaran pikiran kacau menerawang apa yang akan terjadi terhadap diri masing-masing pada sidang mahkamah yang akan dihadapi beberapa jam ke depan.

Usai sarapan, banduan berbaris rapih persis di sebelah timur koridor. Tatkala diperintahkan duduk, semuanya jongkok teratur. Jalanan basah, sehingga nyaris tak satu banduan duduk pada menit-menit pertama. Namun lama kelamaan, satu dua banduan terlihat duduk beralas sandal. Demikian pula halnya denganku. Aku memilih duduk karena kedua belah tungkaiku serasa kebas dan semutan. Lutut pun kurasa linu di tempurungnya. Dalam pada itu, massa awan putih tebal di langit Sungai Buloh masih mengandung banyak air hujan; memaksa matahari untuk tetap bersembunyi. Lama-lama rinai kembali memerciki penjara. Tanpa dikomando dan tiada pula meminta ijin atau restu guru terlebih dahulu, tahanan secara bergelombang beringsut dari barisan untuk kemudian bergegas ke bawah naungan atap koridor. Derai air hujan akhirnya benar-benar membikin barisan tahanan bubar.

Berselang seperempat jam hujan mulai reda dan tahanan kembali membentuk barisan jongkok di tempat semula – jalan pinggir koridor – yang kini telah menjadi lebih basah. Sementara itu, terdapat empat sampai enam orang banduan berpenampilan lain dari yang lain. Mereka mengenakan kaos hijau putih lengan panjang dengan tulisan “PRA-BEBAS” di punggung. Mereka adalah narapidana yang telah selesai menjalani masa hukuman. Ketika berpapasan dengan sipir pembina yang mereka kenal secara pribadi selama dalam penjara, mereka bersalaman dan bertegur-sapa.

“Mau kemana?” tanya sipir kepada mereka yang menyalami.

“Bebas, Cikgu.”

“Nanti cuma cuti sahaja,” sipir menanggapi dengan guyonan; mengingatkan banduan untuk tidak berbuat kekeliruan – apapun bentuknya – yang dapat mengantarkan mereka kembali ke balik jeruji besi.

“Tidak. Tak cuti. Bebas,” jawab banduan sambil menggoncang-goncang dan meremas tangan cikgu yang disalaminya.

Tak lama kemudian, dua gerobak dorong sarat muatan diparkir tepat di depan barisan. Isinya adalah barang-barang titipan banduan. Satu per satu nama dipanggil; dan satu per satu pula barang pindah tangan – dari tangan sipir kembali kepada pemilik aslinya. Karena ruwetnya pengurusan barang-barang titipan, ada kasus dalam mana ada barang tak ada pemilik; atau sebaliknya, ada banduan yang tidak mendapatkan barang titipannya di sini. Banduan yang tidak mendapatkan barangnya di sini kelak akan memperolehnya di loket depan; tempat di mana yang bersangkutan menitipkannya tatkala baru masuk ke penjara. Di tempat ini, seorang WN Bangladesh yang tak faham Bahasa Melayu komplain. Sipir minta bantuan penerjemah yang juga seorang banduan untuk mengartikannya ke dalam Bahasa Malaysia. Penerjemah bilang RM40 dari RM80 uang titipan tahanan tersebut raib. Sipir mengatakan bahwa hal itu mengada-ada. Dan dalam Bahasa Bangladesh yang tak kumengerti sang penerjemah bicara dengan mata melotot kepada tahanan yang merasa kehilangan uang, isyarat agar tahanan tidak mempermasalahkan perkara sepele seperti itu.

Pagi berkalang kabut; suhu turun. Tabir embun tebal membatasi jarak pandang. Dinginnya pagi membuat penampang pori-pori kulitku mengatup; mengerucut bintil-bintil seperti kulit brutu – deposit lemak pada pangkal ekor – ayam tukung terindil. Dalam selimut dingin, gerimis memercik lembut kecil-kecil. Tegak berdiri tubuh serasa menggigil. Sementara itu, pemberangkatan banduan tidak dilaksanakan sekaligus dalam waktu yang bersamaan; tetapi diatur gelombang demi gelombang menurut tujuannya masing-masing: mahkamah tempat sidang. Terdapat enam atau tujuh mahkamah yang dituju. Banduan dengan tujuan Mahkamah PJ termasuk gelombang yang pengurusan pemberangkatannya dilakukan paling akhir.

Di depan loket, satu per satu banduan maju menghadap dan – dengan tekanan suara nyaring – menyebutkan nama dan nomor masing-masing. Setelah mengakurkannya dengan berkas yang ada di tangan, petugas memberi secarik kertas bertuliskan nama dan nomor banduan yang mereka sebut “Tiket.” Kutengok di tempat pengembalian jaket dan sepatu beberapa banduan menyerahkan tiket mereka kepada petugas. Kupikir mereka menggunakan tiket untuk mengambil titipan sepatu dan jaket. Karena aku tidak pernah menitipkan barang apapun, baik sepatu maupun jaket, maka tiketku tetap kupegang. Untung tak kurenyuk dan kubuang. Demikian pula halnya dengan Arman dan seorang banduan lain; hanya saja aku tak tahu apa yang mereka pikirkan ketika tiket perjalanan tetap mereka genggam.

Untunglah Ali dan beberapa banduan lain mengingatkan bahwa tiket harus diserahkan kepada petugas. Walau agak terlambat, kuminta tiket Arman yang masih dipegangnya untuk kemudian – bersama dengan punyaku – kuserahkan kepada petugas berwajah kesal. Kuperhatikan tahap demi tahap prosesi pelepasan tahanan dilakukan dengan sangat hati-hati. Tiket itu, misalnya, digunakan untuk memastikan akurasi jumlah tahanan yang akan naik mahkamah. Jumlah tiket harus sama dengan jumlah banduan yang akan naik mahkamah. Hitungannya harus lengkap genap. Setelah jumlahnya akur, banduan digiring ke koridor untuk digari.

Bak halkah gelang kaki penari latar nan kemayu pada sebuah pertunjukan kuda kepang, gemerincing belenggu besi padat tumpat yang sangat kuat dipasang di tangan menggugah imaji. Nuansa magis sangat kental terasa. Tegang. Semuanya tegang. Tak ada yang bermuka manis. Seuntai gari menggelang enam tahanan sekaligus. Sedangkan kami, lantaran satu gelang patah, cuma berlima. “Tahanan mana pula ini yang sanggup membuat pecah gari?” bertutur seorang sipir sebagai peningkah. Seorang banduan yang masih satu rantai denganku mengeluh kalau borgol di tangannya terlalu ketat mencengkeram. Ia sampaikan hal itu kepada seorang sipir yang kebetulan lewat meronda. Sipir malah menekannya lagi. Sang banduan kian kesakitan. “Puki ayam!” umpatnya melaknat; dengan nada yang direndahkan. Di penjara selalu saja sipir menemukan cara dalam menyiksa. Sebagian besar sipir membenci pekerjaan mereka; sehingga aura amarah dan permusuhan menyungkupi hati. Pada tahanan, mereka melampiaskannya secara tidak tersumbat.

Dari sini, banduan digiring menuju gerbang utama, ruang pertama ketika pertama kali kami masuk; aula kedatangan dan keberangkatan. Setelah masuk, semua diperintahkan duduk berbaris. Satu-satu tahanan dipanggil; yang telah mendapat panggilan diharuskan berdiri. Demikianlah seterusnya sampai seluruh daftar periksa dibacakan dan semua tahanan berdiri. Ada sebuah peristiwa ketika seluruh daftar periksa telah dibaca dan dicontreng, ada tersisa seorang tahanan yang masih duduk. Ketika ditanya nama dan nomor banduan, ia menyebutkan sebuah nomor dan satu nama yang telah dibubuhi tanda-periksa. Ternyata namanya telah dipanggil. Sipir langsung merongos dengan suara menggelegar. Masih untung dia karena sipir tidak mementungnya.

Setelah data dicocokkan, pintu gerbang dibuka, dan banduan siap-siap digiring mengarah keluar. Dalam pada itu seorang banduan minta kebenaran untuk buang air kecil. Permintaannya tidak digubris. “Kencing saja di lori,” jawab sipir sangar, “Kami tak mau ambil resiko. Nanti lari pula kau,” tambahnya pula dengan intonasi tinggi dan tentu tak bersahabat. Sakit itu terus dideritanya hingga kelak kami sampai di lokap Mahkamah Petaling Jaya. Kubayangkan rasa sakit menyiksa di pangkal penisnya kurang lebih sama seperti derita linu menyiksa yang kualami tigapuluh sembilan hari sebelumnya ketika aku harus menahan hasrat yang sama di pejabat Kementerian Perdagangan (& Perlindungan Pengguna?) Dalam Negeri, Petaling Jaya. Salah-salah kencing batu.

Gerimis masih setia menemani pagi ketika kawanan-kawanan banduan digiring naik ke atas lori-lori tahanan. Kabut membuat mata kurang awas. Dari belahan langit timur matahari gusar sebab awan merintangi. Di lori, kecuali Ali dan Arman yang harus duduk di lantai, segenap tahanan duduk dalam posisi miring ke samping berhadap-hadapan di atas dua bangku panjang yang menempel di sisi kiri dan kanan bak lori. Sebelum kami pergi, kupandangi gulungan dawai duri di atas benteng bui; berharap aku tidak akan pernah kembali.

Berselimut hawa sejuk, mobil tahanan dan polisi pengawal meluncur; meraung-raung serunai dan keciut tayar (ban) tergelincir bergesekan dengan badan lebuh raya. Di tepian jalan, kanopi dedaunan sawit meliuk lampai saling bergesekan dan bergetar enerjik bagai tarian kecak Bali ketika dilengkung angin dan ditimpa hujan. Selama tiga perempat perjalanan, angin kencang dan hujan lebat menyertai kami; seakan-akan langit hendak mencurah habis sisa-sisa persediaan air musim kemarau. Sepanjang perjalanan dari Sungai Buloh sampai ke Petaling Jaya, tak henti-henti aku komat kamit berdzikir. Demikian pula sejumlah tahanan lain terus-terusan berdoa. Karena posisi dudukku yang miring mepet di pojok kiri depan gerobak, setengah pakaian dan tubuhku bagian kiri basah ketirisan gerimis dan hujan yang mengguyur bersicepat selang-menyelang. Semoga ini pertanda baik, bukan alamat bencana. Sepanjang perjalanan, tiada seorang jua mau angkat bicara.

Sampai halaman Mahkamah, hujan telah reda; tapi tanah masih sangat basah. Kusapu langit, matahari tiada menampakkan wujudnya. Kulihat hadir Ray, Pinky, dan pengacara; mata mereka mengikuti setiap gerak kami semenjak kami turun dari truk tahanan dan melangkah menuju lokap Mahkamah. Banduan dari penjara Kajang ternyata telah tiba lebih awal dari kami. Ketika kami digiring masuk ke dalam lokap mahkamah, dari celah-celah jeruji pintu besi lokap perempuan kulihat Listia terisak menangis di atas bangku batu, tangan mendekap kaki, lutut bertekuk menyangga dagu. Singgah sebentar mataku pada rembah-rembih air mata yang menggenangi pipinya. Kepedihan itu nyata. Nelangsa pula aku jadinya. Di lokap lelaki juga kutengok Dio telah ada; ia kelihatan baik-baik saja. Ini merupakan pertemuan pertama kami sepanjang tigapuluh tiga hari terakhir, semenjak Dio dipisahkan dari rombongan kami di Penjara Sungai Buloh karena usianya yang masih muda belia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar