Selasa, 31 Maret 2009

Ape Tua si Pantat Kuning; Petuah Orang Tahanan

Ape Tua si Pantat Kuning

Adalah ape Cina usia enampuluh tahun – tahanan etnis Cina yang tidur di kasur – menjadi salah satu bintang yang kerap menguras perhatian segenap penghuni lokap Dewan-B. Ketika baru masuk bergabung dengan Dewan-B, dia adalah masalah. Perangainya mengingatkanku pada si peludah yang menjijikkan penghuni lokap lantai tiga sayap timur blok Damai. Ape Cina ini membuang ludah dan dahak sembarangan lewat jendela rendah lokap Dewan-B. Ketika ape duduk bersandar, jendela itu berada tepat di atas kepalanya.

Karena perilakunya yang susah diatur, suatu ketika ape nyaris menjadi sasaran kemarahan beberapa banduan etnis Melayu yang gatal tangan tak kuasa menahan emosi yang sudah sampai ubun-ubun. Untunglah, satu orang kerja etnis Cina berbadan kekar melindungi; ia teriak-teriak dari depan jeruji pintu timurlaut. Ternyata ape tersebut bukan orang sembarangan. Tampaknya di alam bebas ia merupakan seorang yang cukup berpengaruh dalam lingkungan etnis Cina. Waktu pertama kali masuk Dewan-B saja, ia diantar dan dititipkan langsung oleh seorang Tuan etnis Cina. Meski begitu, popularitasnya di kalangan banduan etnis Cina lokap Dewan-B sangat rendah. Mereka tidak menyukainya.

Ia amat pelit dan serakah; rajin meminta tapi tak pernah berbagi. Ia punya persediaan makanan dan sabun mandi dalam jumlah yang terhitung berlimpah; namun tak sekalipun ia berbagi dengan sesama penghuni etnis Cina. Untuk menggambarkan betapa kikirnya tawanan ini, berlusin-lusin plastik bekas pembungkus roti tetap disimpannya. Egois merupakan satu sifat yang membuatnya terkucil dari komunitas Cina lokap Dewan-B. Ape termasuk salah seorang penghuni yang kesungguhannya tidak diragukan dalam menyongsong bantuan pangan dari banduan-banduan lain yang baru mendapat lawatan. Dalam pada itu, pelit dan serakah yang dikangkanginya berbuah kemalangan baginya; ape kerap menjadi target operasi pencurian makanan oleh sesama, terutama Eko yang diprovokasi oleh tahanan-tahanan lainnya.

Licik adalah nafas yang tak lepas dari kehidupan ape. Ia perintah Eko mengurut badan ape; tetapi di malam hari ketika Eko berbenah dan merebahkan diri hendak tidur di sebelah ape, ape mengusir Eko secara kasar. Lebih jauh lagi, dia manfaatkan betul faktor kedekatannya dengan Tuan etnis Cina untuk memuaskan kepentingannya. Sering ape minta sabun cuci dan sabun mandi langsung dari Tuan. Alasan yang dikatakan kepada Tuan adalah untuk menjaga kebersihan lokap, padahal sabun itu dipakainya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri selama berada dalam lokap. Karena kedekatannya dengan Tuan juga yang menjadikan dia orang pertama dan satu-satunya yang membawa serta kasur tidur ketika masuk. Juga karena kedekatannya dengan Tuan, ia dengan mudah mendapatkan fasilitas istimewa. Maaf, sebetulnya tidak istimewa. Tapi segala haknya sebagai pesakitan terpenuhi.

Perihal makanan, misalnya, ia minta perhatian khusus. Memang penjara menyediakan perlakuan istimewa kepada banduan – karena alasan kesehatan – dengan kebutuhan rangsum makanan khusus berupa susu hangat dan roti plus lauk pauk; bukan nasi. Tapi rupanya ape ini besar lambung. Setelah mendapat makanan spesial pun, ia masih memburu nasi yang dimintanya setengah memaksa dari orang kerja. Orang kerja tentu tak kuasa menolak permintaannya, mengingat faktor kedekatannya dengan Tuan.

Sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat terjatuh juga. Suatu senja, keberuntungan ape telah sampai ujung batas. Seorang Tuan etnis Melayu memergokinya ketika ia lahap menyantap nasi bersanding dengan roti. Tuan berang dan mengancam akan mencabut statusnya sebagai tahanan yang berkebutuhan khusus. Makanan spesial untuk ape akan distop dan digantikan dengan nasi biasa bila diketahui kelak ia mengunyah nasi lagi. Tuan memerintahkan seisi lokap – terutama lurah – untuk mengawasi ape. Setelah Tuan pergi berlalu; “Tak apalah ape makan nasi, tapi pandai-pandailah lihat keadaan. Jangan sampai Tuan tahu dan marah jadinya,” berkata lurah mewanti-wanti. Masih ada kelonggaran untuk ape nikmati. Bajing itu kini masih boleh lompat meski harus sedikit waspada; karena sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak percaya. Dikasih roti minta kacang, dikasih hati minta tunjang.

Walau begitu, kadang-kadang budi pekertinya yang mulia muncul ke permukaan; sangat manusiawi dan penuh kasih sayang. Ape adalah salah satu dari sedikit banduan yang pada akhirnya peduli dengan kebersihan jasmani Eko. Tempo-tempo diajaknya Eko mandi pakai sabun ape. Dicuci-keringkannya baju dan celana Eko. Dipinjaminya Eko celana ape sampai sobek. Diberinya Eko roti, walau itu roti sudah bantat bau tengik. Berkaitan dengan kebajikan Ape, ada hal menarik dari Eko yang berhasil membuat kami tergelak. Ketika itu Eko tengah mengurut seorang kawan Melayu di sebelahku. “Kita memang harus saling tolong menolong,” berkata Eko, “Ape kasih pinjam celana dan mencuci celana saya. Saya memijat Anda. Anda bagi sabun sama yang lainnya. Itu namanya kerukunan hidup bertetangga yang tolong menolong.”

Ape juga termasuk salah satu dari sedikit banduan yang aktif dan enerjik. Meski suara yang dihasilkannya adalah suara hidung yang sangat sengau, kakek ini suka menyanyi. Menari jingkrak-jingkrak seperti kegirangan juga dilakukannya; dengan koreografi khas negeri Tiongkok menjadi acuan gerakannya. Demikian juga, olah badan dan olah otak dijalaninya. Ape suka senam. Ape juga terlihat aktif main dam dan kartu.

Gara-gara kartu hilang, ape nyaris bentrok dengan lurah. Ketika ape tengah bertanya ke sana kemari tentang kartunya yang hilang, beberapa orang etnis India memprovokasinya. Tanpa sepengetahuan lurah, mereka tunjuk lurah sebagai biang keladi hilangnya satu paket kartu itu. Padahal, penyebabnya adalah Eko yang bermain kartu tengah malam sebelumnya. Aku tahu itu; tapi mereka tak kuberi tahu. Biarlah mereka menduga-duga. Waktu itu Eko menyembunyikannya di sela-sela ventilasi kamar mandi.

* * *

Petuah Orang Tahanan

Setiap timbul masalah berkenaan dengan interaksiku dengan sesama banduan bahkan dengan orang kerja atau sipir sekali pun, aku memilih sikap tidak ofensif, tidak pula defensif. Aku memilih mengalah sambil mengucap kata “maaf” bilamana kurasa perlu. Pendekatan ini terbukti efektif. Meski “maaf” – kata orang – adalah representasi dari kelemahan. Tapi aku menganggap dan mampu memanfaatkannya sebagai sebuah kekuatan. Dan memang, mengendalikan emosi adalah sebuah kelebihan yang dapat kuandalkan.

Di sini, semua penghuni pantang tersinggung. Jangan cari gara-gara. Kecuali ada yang memberi tahu, aku tak pernah memulai pertanyaan atau diskusi seputar kasus yang menjerat lawan bicaraku atau tahanan lainnya. Selain bersifat pribadi, perkara tersebut sangat sensitif, membuat seseorang merasa diserang yang sudah barang tentu tidak nyaman. Aku tak mau mempertaruhkan peruntunganku pada hal-hal yang sepele. Karena, mencampuri urusan orang lain – meski sepele sekali pun – adalah ibarat menyiramkan minyak tanah pada gundukan sekam berapi.

“Di sini kita semua kriminal. Kita semua sakit. Kita semua stress. Kita semua gila. Hanya saja tingkatannya barangkali yang berbeda. Ada yang ringan. Banyak pula yang teruk. Jika ingin selamat, pandai-pandailah membawa diri. Buang muka, tutup mata, sumbat telinga. Jangan sekali-kali mencampuri urusan orang lain. Renungkan dan pikirkan nasib masing-masing saja,” seorang tahanan menasehatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar