Selasa, 31 Maret 2009

Polisi Lepas Semua Warga Malaysia dan Tahan Semua WNI

Polisi Lepas Semua Warga Malaysia dan Tahan Semua WNI

Hatiku bergetar ketika seorang polisi berbincang serius di talian telepon; dengan seseorang yang aku tak tahu pasti siapa. Tapi dugaanku itu komandan pasukannya. Pembicaraan mereka bertumpu pada satu menu yang di lidah tercecap teramat rasis.

“Cina?” jeda sekira empat sampai lima detik, dan, “Cina .. ada satu .. dua .. tiga. Ada tiga Cina di sini!” serunya. Barangkali itu jawapan untuk pertanyaan “Ada berapa bangsa Cina terbabit?” dari seberang sana. Dan ketika polisi itu dengan mimik gelisah cuma bisa bilang, “Ya … ya … oke … ya … oke,” berulang-ulang sebagaimana layaknya ekspresi seorang bocah taman kanak-kanak yang takut kena setrap lantaran tidak kunjung hapal nama-nama hari dalam seminggu, sangat mungkin siapa pun orang kuat yang berada di ujung lain telepon itu tampaknya tengah mendiktekan arahan demi arahan yang tiada boleh dia abaikan jika ia tak mau ditanam hidup-hidup hingga akhir hayat di tempat yang kering kerontang tak berembun dan tiada pula curah hujan turun sepanjang tahun untuk ia bersiram. Gugup telepon ditutup. Aku terhenyak.

Sesaat kemudian; sebagai hobiis yang mempelajari dan mengagumi koleksi piaraan barunya, berlama-lama polisi penggugup itu memanjakan matanya menyaput wajah dan sekujur badan tiga perempuan Cina rekan kerja kami. Dari ujung rambut di kepala sampai sol sepatu di kaki, terutama dari lutut sampai pinggul, dia nikmati betul pemandangan itu. Sambil sesekali juling itik untuk mendapatkan sepenuh bird’s eye-view atas objek pengamatan, dia hafalkan wajah ketiganya dengan cermat. Sesudahnya agak puas mata memandang, “Kalian keluar,” perintah polisi tadi kepada mereka bertiga.

Bak induk ayam beranak itik di pinggir tebat, aku cuman melompong tercengang-cengang. Pikiran nanar dan kaget bukan kepalang. Meski mangap selebar moncong buaya, mulutku tak bersuara. Menganga tanpa kata; tak berdesah. Bernafas pun terpaksa kutunda buat sementara masa. Andaikata saat itu ada lalat lewat dan kebetulan melihat ekspresi wajahku, sudah barang tentu ia akan masuk ke dalam mulutku yang melongo tidak mengatup. Tidak kuperhatikan mimik dan roman muka keempat kawanku. Tidak pula kutanyakan bagaimana perasaan mereka saat itu. Aku tidak berpretensi bahwa perasaanku dapat mewakili apa yang mereka rasakan, tapi kupasti yakin suasana hati mereka tidak jauh berbeda dengan apa yang ada dalam batinku. Kalau pun beza, perbedaan itu hanya setipis kulit bawang. Pecah bak kaca terhempas ke cadas. Remuk, Mak Inang.

Setelah mengucapkan terimakasih dan meminta kembali IC mereka yang sempat berada di tangan polisi, tergopoh ketiga perempuan Cina rekan kerja kami Shirley, Jane, dan Kinky berhambur keluar. Tak sempat – mungkin lantaran tak tega – mereka say goodbye minta diri kepada kami. Senyum pun mereka tak jadi. Sangat mungkin karena mereka khawatir hal itu akan menggoreskan luka hati yang dalam pada diri kami. Tak ada kata perpisahan. Sehingga pergi mereka tak pamit.

Tinggallah kami berlima, pekerja Indonesia yang masih ditahan. Lemas aku. Tiada lagi frasa yang kuasa mewakili apa yang aku rasa. Bagai perahu patah kemudi terombang-ambing alun dan ombak di laut lepas, aku terkesima; gamang memikirkan tekanan beban perasaan yang kian berat menindih. Kok yang dilepas cuma Cina?, protesku dalam hati. Hanya karena mereka – pekerja yang dilepas ke alam bebas – adalah unggas petelur emas, they’re exempt from law enforcement? Bukannya aku iri. Tapi ini keterlaluan dan haram untuk dibiarkan. Kami diperlakukan secara tidak adil. Bukankah menurut klaim Xeng yang kini telah tiada, polisi telah bermufakat dengannya untuk menahan hanya satu orang saja? Bahkan, mereka tidak berbelas kasih terhadap rekan kami Listia, satu-satunya perempuan Indonesia. Bagai tersayat sembilu, pedih hati ini tak terperi. Batinku memberontak. Bagi mereka, kami cuma pecundang. Manusia mana yang enak hati tak berbenci ketika mendapatkan diri benar-benar diperlakukan sebagai tumbal. Geram hati ini tiada bertepi. Mereka pilih kasih, tebang pilih. Unequal treatment of unequals?

Tega nian mereka menganggap dan memperlakukan kami sebagai manusia kasta rendah. Siapa pula yang enggak angék – geregetan dan iri hati – dianggap kacangan dan hina dina? Nay! Asal tahu saja, jangan pernah sebut aku Tagas kalau itu tak berbalas! Aku hanya perlu sedikit bersabar menanti masa yang tepat untuk berada pada sebuah situasi dalam mana aku dapat memainkan kartuku. Akan kupaksa mereka menyesali diri karena telah lalai dan tidak pernah memperhitungkan konsekuensi dari penistaan kolektif mereka terhadap harga diri dan martabat kami sebagai manusia dari sebuah bangsa yang beradab. Tinggal jaga tanggal mainnya.

Chinese-Excluder, Underlings Netted

Kuperas otak untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Mengapa polisi sampai hati ingkar janji; melanggar kesepakatan. Dalam sebuah permainan, itu namanya enggak aci. Batal. Mereka, kalau mau main lagi, harus membuat kesepakatan baru yang memenuhi prinsip distribusi keadilan yang wajib dipatuhi oleh para pihak.

Barangkali memang jaring mereka tak cukup tangguh untuk menangguk

Mereka tidak menggunakan trawl si pukat harimau yang tersohor ganas dan perkasa dalam mengendus, menyeret, menggaruk dan menciduk tanpa pandang bulu

Oh, kini aku mengerti

Rupanya mereka pendekar alam persekitaran

Karena tak ingin bertindak serampangan yang pada akhirnya dapat merusak keseimbangan lingkungan lubuk elok nan permai sumber mata pencaharian, mereka memakai jala tempahan khas

Chinese-excluder

Kecuali Cina, semua species lain pasti mereka bekuk

Untuk mendapat lebih banyak telur emas, mereka tentu tidak mau menyembelih Aves yang mempersembahkannya

Selaku ranger di belantara hukum, mereka cukup cerdas untuk tidak mengeksekusi mati kuda tunggangan

Lagi pula, jika ekosistem terganggu, akan muncul penyakit-penyakit aneh yang mewabahi negeri

Tentu mereka tak mau kalau petaka itu sampai terjadi

Tapi sudahlah, hiburku pada diri sendiri

Jangan kau risau

Ini negara orang; negeri ketidaksetaraan

Kau harus hormati dan patuhi adat istiadat dan tatanan hukum yang lazim berlaku di negeri ini

Di mana bumi kau pijak, di sana langit kau junjung

Lain lubuk, lain ikan; lain padang lain ilalang dan tentu saja lain belalang

Dan belalang di sini banyak berhidung belang

Face the music!

Hadapilah

Jangan gegabah

Pandai-pandailah membawa diri

Belajarlah untuk lebih bisa mengendalikan diri dan emosi

Salah langkah, neraka

Kupejam mata

Kuurut dada

Kuhela nafas panjang; dalam-dalam

Tafakur

Meski memenuhi kriteria untuk melenggang bebas, keberuntungan kiranya belum bersedia menghampiri Ali, WNI keturunan Tionghoa. Sebelumnya, ketika ditanya berulang kali “Kau Cina?” ia tak mau mengaku. Ketika didesakpun tetap teguh ia tak bergeming.

“Tapi mukamu muka Cina,” bertanya polisi kepadanya untuk konfirmasi.

“Tidak. Saya dari Riau,” selalu begitu Ali menjawab.

Mungkin karena takut diperas. Biasa, pengalaman traumatik Cina Indonesia yang selalu jadi objek pemerasan dari generasi ke generasi. Sudahlah, aku emoh cerita mengurai fakta tentang pemerasan yang kerap menimpa WNI Keturunan. Padahal, andai Ali waktu itu mau mengaku bahwa dia Cina, sudah jelas dia dilepas. Ali yang malang. Nasib sial membelenggunya hanya karena ia masuk salah kelas.

Polisi Haramkan Tersangka Bertajam Lidah

“Jangan kalian cerita,” titah perwira tersebut kepada kami untuk tidak mendedahkan kepada KPDN atau sesiapa pun juga perihal lepasnya tiga wanita etnis Cina yang, hematku, menyalahi prosedur hukum positif. Meski intonasi ucapannya datar dan tidak meledak-ledak, namun kami, aku terutama, menafsirkan perintah negatif itu sebagai ancaman serius. Tidak boleh ada yang mempertanyakan keputusan mereka melepas sebahagian pekerja. Permintaan – lebih tepatnya ancaman – tersebut kami patuhi. Kami selalu tutup mulut tentang hal ihwal itu. Bahkan pagi hari berikutnya, 28 April 2007, ketika Puan Hakim (Pendaftar) Mahkamah Sesyen Petaling Jaya, Selangor Darul Ehsan bertanya pada kami seputar apakah ada perlakuan polisi yang tidak wajar terhadap kami, berlima kami bersabar menyikapi untuk cari selamat dengan menjawab “Tidak ada,” secara serempak.

Walau berkecil hati, aku mencoba untuk tetap berpengharapan. Ada secercah asa yang masih tersisa. Mbok menowo – siapa tahu, mudah-mudahan – adalah status dari harapan yang belum kutanggalkan. Siapa tahu, pelepasan orang-orang Indonesia, sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai antara Polis dan Xeng, akan direalisasikan oleh KPDN setelah mereka melakukan pendataan dan pemeriksaan formal secukupnya.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar