Selasa, 31 Maret 2009

Desainer, Batas Atas Pengakuan

Desainer, Batas Atas Pengakuan

Usai diinterogasi secara bersama-sama, makan siang dan istirahat secukupnya, masing-masing kami – tersangka – diinterogasi (diambil statement) oleh seorang penyidik. Penyidikan-penyidikan terpisah dilakukan dalam ruangan-ruangan terpisah oleh petugas yang berbeda. Petugas yang melakukan pemeriksaan terhadapku masih sangat muda; tidak lebih dari duapuluh empat tahun umurnya. Pemeriksaan per individu pun tak membuahkan hasil yang berarti. Semu. Tak sulit bagiku mencerna pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan kepadaku. Walau begitu, ketika aku menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh penyidik kepadaku, aku melakukannya dengan sangat hati-hati; tidak asal nyocot. Tak boleh lengah dan anggap enteng. Aku tetap berpedoman pada pemeriksaan kelompok. Hasil pemeriksaan bersama kujadikan standar jawaban ketika aku diperiksa sendirian. Aku pun hanya perlu sedikit berimprovisasi manakala penyidik mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru yang tidak sama dan sebangun dengan butir-butir pemeriksaan kelompok yang telah terukir dalam benakku.

Bekerja sebagai desainer adalah batas atas pengakuan yang tiada sekali-kali boleh kulampaui. Hal itu sejalan dengan keputusan rapat konsolidasi dengan agenda menyamakan persepsi agar keterangan-keterangan yang kami sampaikan kepada penyidik atau sesiapa pun juga menjadi seragam dan tidak simpang-siur. Suara bulat dalam kelompok adalah prasyarat penting sebagai antisipasi terhadap pertanyaan siapa melakukan apa agar tidak ada satu pun dari kami memberikan sesuatu penjelasan berbeda tentang fungsi kami di perusahaan. Pembicaraan yang menelurkan kesepakatan bersama itu sendiri berhasil kami selenggarakan dengan memanfaatkan sebaik-baik waktu ketidakhadiran para penyidik di tengah-tengah kami.

Posisi graphic designer memang jauh lebih keren dibandingkan dengan pengakuanku tentang profesi di hadapan polisi pada senja dan malam hari sebelumnya; yakni, general works bagian angkat-angkat barang. Tapi seandainya cuma aku yang ditangkap sendirian sebagaimana skenario kesepakatan Xeng-polisi, tentu pengakuan sebagai pekerja angkat-angkat barang akan tetap kupertahankan. Pengakuan bahwa aku sebenarnya orang yang tidak mengetahui sedikit pun informasi tentang basis bisnis inti perusahaan boleh jadi akan lebih menguntungkan posisiku sebagai tersangka. Oke, ke depan dan di hadapan penyidik, pengakuanku tentang fungsiku di perusahaan harus selalu sama. I would never be more than a stupid graphic designer by any means.

Sebagai perintis, penyidik menanyakan nama, alamat pekerjaan, pendidikan tertinggi, tanggal lahir, tanggal dan moda transportasi yang kugunakan ketika pertama kali datang ke Malaysia. Bersamaan dengan itu, kukosongkan hatiku dari segala kesibukan yang dapat menghalangiku menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadaku. Kusebut dan kuejakan sejelas-jelasnya nama lengkapku untuknya; kukatakan padanya jika aku bekerja di 5-1, 5-2, dan 5-3 Jalan Bandar Enambelas, Pusat Bandar Puchong, Selangor Darul Ehsan; aku mengaku jebolan sekolah menengah; kujawab aku lahir tanggal tigabelas hari bulan enam tahun satu sembilan enam tiga di Asahan, Indonesia; kunyatakan bahwa pertama kali aku datang ke Malaysia pada tanggal 13 Juni 2007 naik kapal murah Air Asia jurusan Bandung-Kuala Lumpur.

“Duaribu tujuh?” bertanya penyidik dengan dahi mengernyit lebar sebelah; merasa heran karena ketika penyidikan berlangsung saja kalender masih menunjukkan tanggal 28 April 2007; sebulan setengah menjelang 13 Juni 2007.

Sejenak aku tertegun sebelum menyadari bahwa aku telah selip lidah. “Duaribu enam. Tigabelas Juni tahun duaribu enam,” responku membetulkan. Aku meninggalkan Indonesia untuk yang pertama kali bulan Juni 2006 pada jaman “Bandung Lautan Sampah.” Ketika itu, sampah melumpuhkan kota. Dinas kebersihan kota hanya pandai mengutip iuran retribusi sampah tapi tak sanggup mengutip sampah; tidak memiliki kemampuan menyingkirkan sampah dari jangkauan mata dan hidung setiap warga. Pada titik mana pun seseorang berdiri di kota Bandung saat itu, matanya berserobok dengan timbunan-timbunan sampah. Dari bagian mana pun seseorang bernafas, dadanya sesak lantaran hidung menghidu limbah yang membusuk di mana-mana. Limbah itu adalah limbah kota; limbah industri dan rumahtangga. Ya, pertama kali aku datang ke Malaysia pada Selasa siang tanggal 13 Juni 2006, bukan 2007. Kala itu, betapa dalam cuaca buruk pesawatku mengalami turbulensi lumayan kencang dan njomplang dua kali ketika memecah gunungan-gunungan kabut putih tebal berair hujan di atas ketinggian bumantara (awang-awang) Selat Malaka; membuat beberapa penumpang kanak-kanak menangis, banyak perempuan dan lelaki menjerit; beberapa di antaranya lantang memekikkan, “Allahu Akbar!” karena terkejut dan takut dijemput maut.

Penyidik bertanya kepadaku tentang siapa dan apakah aku mengenal boss secara pribadi. Aku adalah orang yang salah di tempat yang salah dan waktu yang salah pula; peruntunganku pun jadi salah karenanya. Sesungguhnya satu bulan sebelumnya aku sudah dijual ke perusahaan baru milik Alex. Yang ingin kukatakan adalah bahwa aku kini anak buah Alex, bukan lagi kaki tangan yang bekerja untuk Ray. Adapun keberadaanku di sana adalah untuk memastikan semua piranti – software dan hardware – berfungsi optimal, sebelum diangkut ke tempat Alex.

Meski demikian tetap saja kujawab bahwa bossku adalah Ray dan aku tidak mengenalnya secara pribadi. Nama itu telah kami sebutkan sewaktu kami diperiksa secara bersama-sama. Disamping itu, nama Ray telah diperoleh oleh tim penyidik dari sebuah business card (kartu nama) dan catatan-catatan hard copy perusahaan yang turut disita pada malam sebelumnya. Sudah barang tentu, mereka telah mengantongi nama tersebut. Pada kartu namanya, Ray mencantumkan posisinya di perusahaan sebagai Business Development Manager. Kasihan juga Ray. Bahwasanya tidak kuungkap fakta yang sebenarnya – bahwa aku kini bekerja untuk Alex – adalah didasarkan atas pertimbangan agar kasus kami tidak melebar tak terkendali. Aku tak mau ada masalah-masalah baru yang melebihi batas kepatutan. Aku khawatir apapun yang kulakukan hanya akan mendatangkan kesulitan yang lebih dalam. Pendeknya, kami semua menginginkan kasus kami lekas tuntas.

“Apakah Anda tahu mengapa polis menangkap Anda?” bertanya penyidik padaku tentang alasan polisi menjerat kami dalam operasi.

“Tahu.”

“Apa itu?”

“Polisi bilang saya tersangka pelanggar undang-undang akta hak cipta,” aku menjawab.

Sesungguhnya ketika menangkapku polisi tidak bilang apa-apa kepadaku kecuali dua perkara: first of all, mereka ngotot kalau kami telah membuat VCD cetak rompak sementara tak sekeping pun VCD/DVD kategori itu mereka temukan, dan kedua, mereka mengancam kami untuk tidak sekali-kali bertajam lidah berkenaan dengan lepasnya tiga pegawai manajemen oleh polisi. Kata-kata dalam frasa “Pelanggaran Akta Hak Cipta” itu sendiri kubajak alias kupungut bulat-bulat tanpa seijin dari penutur aslinya – seorang aparat KPDN – sewaktu pemeriksaan terhadap kami berlima secara bersama berlangsung sebelum waktu makan siang barusan.

“Apa pekerjaan Anda?” kembali penyidik ajukan pertanyaan.

“Disainer gambar.”

Jika suara kami berlima memang tidak terpecah – sehingga untuk pertanyaan serupa kami berlima masing-masing di tempat-tempat terpisah menjawab senada – hanya Arman yang berkata jujur. Hal terakhir yang kuingat tentang pekerjaan kami adalah cuma Arman yang murni menyumbangkan sepenuh waktunya mengerjakan tugas gambar-menggambar; hasil desainnya telah banyak dikirim ke luar negara. Meskipun dunia kami selalu bersentuhan dengan pernak-pernik gambar, Dio, Listia dan aku menyisihkan satu porsi kecil waktu kami untuk menggambar. Antara kami bertiga, Dio yang paling sedikit menggambar. Dio bertugas lebih banyak dalam perkara menilai kualitas gambar karena ia telah masuk tim kendali mutu. Ali belakangan sudah tidak lagi dilibatkan dalam kerja desain. Sebagian terpanjang waktunya terpakai dalam rencana produksi.

“Anda menggambar sendiri?”

“Tidak. Saya capture dari wayang,” aku menjawab.

Kusapu pandangan ke segenap ruangan yang sempit dan acak-acakan itu. Kulihat sebuah newsletter tergeletak di atas sudut meja. Kuraih dan kubuka acak. Kutemukan sebuah gambar animasi planet. Kutunjukkan gambar itu padanya.

“Seperti ini. Mereka tidak mendisain sendiri. Saya yakin mereka meng-capture-nya dari sebuah movie. Hal semacam itulah yang saya kerjakan,” kataku menjelaskan. Selain dari movie, kami juga getol mengunduh – download – gambar-gambar dari ISP dan situs Internet seperti Google, Yahoo!, imdb.com, cdcover.com.

“Untuk apa gambar-gambar tersebut?”

“Brosur, katalog, banner, leaflet, sticker,” jawabku sekenanya.

Kujawab sebatas yang ditanya. Tidak lebih; malah kurang. Yang kusajikan hanya kalimat biasa, bukan kalimat bersayap. Lagipula, tidaklah pandai aku memainkan kata dan irama. Toh penyidik tidak menuntut penjelasan yang terperinci dariku. Dia – mereka – cukup puas bila dapat membaca perasaan kalahku. Keinginan untuk mereka berpuas diri seperti itu pun tak dapat kupenuhi, karena egoku tidak sudi memberi. Aku tidak mau menerima kekalahan dari sebuah permainan yang tidak fair. Apalagi egoku selalu mengingatkan kalau perasaan kalah itu sangat menyakitkan. Malahan nafsuku bolak-balik berbisik mendorongku untuk tidak sungkan berwatak narsis yang sekali-sekala mau meninggi hati.

“Siapa bagi order?”

“Boss dan orang company.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar