Selasa, 31 Maret 2009

Criminals Networking; Darah dan Lokia Perempuan Beranak

Criminals Networking; Darah dan Lokia Perempuan Beranak

“Bossmu banyak uang?” bertanya Mamat suatu saat kepadaku.

“Saya tak tahu,” aku menjawab.

“Selalu bawa beg?”

“Ya, dia selalu bawa tas.”

Dalam pada itu, di dekat sisi utara lokap Dewan-B, dua kolom sokoguru persegi empat sepemeluk orang dewasa dibebat benang berpilin bersimpul mati, tempat sebagian besar kubu Melayu – Malaysia dan Indonesia – menambat odol dan sikat gigi. Juga ada tikar sembahyang dan dua tiga helai handuk kecil putih beraksara Inggris dan kanji Cina warna merah; terlalu kecil untuk pengering badan selepas mandi. Di alam bebas, handuk semarga lazim kulihat berguna sebagai penyeka peluh; menyelip sepanjang hari di leher montir montit dan supir John Dere. Di kaki tiang, bertumpuk gayung dan cangkir.

“Besar?” lanjut Mamat bertanya mengenai ukuran tas yang selalu ditenteng oleh bossku.

“Tidak juga. Sebesar tas laptop,” jawabku.

“Dia tiap hari ada di pejabat?”

“Cuma akhir pekan dia ada di office. Jumat petang sampai Senin pagi.”

Sepanjang lebih dari tiga-perempat sisi selatan, berjumbai pakaian disampirkan pada tali-tali jemuran yang ditambatkan pada besi-besi jeruji. Juga di sisi barat ada satu dua helai pakaian diikat menggantung pada tali. Tali temali yang banyak ditemui dalam lokap adalah kelim atau lipatan ujung selimut yang dirobek. Sesungguhnya cucian-cucian di lokap tidaklah dijemur, melainkan hanya digantungkan, dibentangkan, atau dijerang sampai kering sendiri diterjang angin. Kecuali yang di sisi barat pada waktu menjelang senja, cucian yang menggantung di bagian lain lokap tak pernah tersentuh cahaya langsung matahari. Mujurlah, kondisi alam Sungai Buloh yang beriklim panas dan berangin kencang sangat membantu proses penguapan air sehingga pakaian cepat kering. Beberapa lembar pakaian kulihat berguna sebagai palang angin ketika ditambatkan di muka lubang jendela.

“Oke. Kau tentu keluar dari sini lebih cepat dari aku. Bila-bila masa aku keluar nanti, kau akan kucari. Aku tahu kawasan itu.” Sarung warna telor asin yang dikenakannya terbuat dari bekas selimut rawatan rumah sakit bertuliskan Hak Kerajaan – Milik Negara. Adalah Mamat yang telah mengubah-suainya. Selimut itu adalah selimut bekas orang bersalin; di beberapa bagian, masih tampak jelas barik-barik noda sisa darah dan berkas lendir lokia yang telah mengering melekat dan tiada luruh meski sudah sering direndam-cuci dengan berus dan deterjen. Darah dan lokia itu adalah jejak cabik pukas perempuan beranak dalam penjara. Selain banyak garis jahitan tangan di sekelilingnya, sarung itu koyak menganga di sana-sini; belum sempat ditisik. Mamat kerap meminjamkan sarung itu padaku untuk kupakai sebagai pembantu penutup aurat sewaktu shalat.

Siput memuji buntut. Ia gemar memuji diri sendiri dan membanggakan hasil yang diperoleh dari kejahatannya selama ini.

“Setelah kau gabung dengan kami, kupastikan penghasilanmu besar. Tiap hari bisa hantar uang untuk bini di kampung. Bahkan aku kadang-kadang mengirim uang sampai dua kali dalam satu hari,” katanya sambil terus menjahit dan sesekali membetulkan letak duduknya.

Lalu, “Aku sudah punya kereta. Kijang terbaru. Aku juga punya rumah yang besar, tanah yang cukup luas; tegalan dan sawah. Tabungan istriku pun besar.”

Ia mendongeng bahwa pertama kali datang ke Tanah Semenanjung Melayu ia bekerja sebagai buruh bangunan. Pada awalnya everything is okay; hingga suatu saat petaka menimpanya. Toke tak kunjung membayar upah keringatnya. Kaburlah dia dari rumah kongsi. Lapar dan terlunta-lunta. Akhirnya menyamun adalah jalan yang dipilih dan ditempuhnya; lebih spesifik lagi, menjambret dan merampok dengan kendaraan roda dua. Dan kini profesi sesat itu sangat dinikmatinya. Berurat berakar dalam perikehidupannya.

Bahkan berada di penjara bagi dia sama dengan perlop – cuti panjang. Dia bilang, tidak ada yang mengganggunya di penjara. Kalau di alam bebas, dia sering merasa dibuat jengkel oleh panggilan ponsel yang mengusik rewel.

“Begini,” terangnya kepadaku, “Kalau kau mau, dan kau memang harus mau. Tugasmu hanya memberitahuku kapan bossmu ada di tempat. Serahkan selebihnya kepadaku. Biar aku dan rekan-rekan lainnya yang melakukan kerja kotor ini. Tanganmu tetap bersih. Kita samun bossmu. Hasilnya kita bagi-bagi. Bertiga. Atau bahkan berdua. Bagaimana?”

Aku terdiam. Tak hendak menjawab. Tidak meng-ya-kan, tidak pula menolak. Aku goyah. Takdir telah mencampakkan dan menelantarkan aku pada posisi yang sulit. Tersulit sepanjang jalan hidupku.

Laksana meminang anak dara, diam berarti malu tapi mau. Kesenyapanku ditafsirkannya sebagai pertanda bahwa aku setuju. Kemudian, seakan membentang lebar-lebar peta harta karun di atas lantai, panjang lebar dia menerangkan strategi operasi otot dan kekerasan. Bossku adalah prioritas korban yang akan disasar.

Ia memanasiku. “Kau tahu tak? Mengapa tak ada orang Malaysia yang tertangkap dari kantor kalian?,” bertanya ia kepadaku. Belum juga aku tuntas berpikir untuk memulai jawaban, dia keburu bilang, ”Itu karena polis sudah memberi tahu mereka bahwa mereka akan melakukan operasi sama boss kalian. Maka dia suruhlah semua pekerja Malaysia cepat-cepat keluar dari sana. Jadilah kalian semua orang Indonesia yang tertangkap.”

“Bukan karena itu,” kataku menyanggah, “Semua orang Indonesia tertangkap karena kita semua tinggal di sana.”

“Betul kalian semua orang Indonesia tinggal di sana,” tanggapnya mengamini keteranganku namun ada tapinya. “Jam berapa polisi razia?”

“Jam tigaan lah,” menjawab aku.

“Hari?”

Jumat, tanggal duapuluh tujuh haribulan empat.”

“Coba kau pakai sikit kau punya otak,” kata-kata yang dipilihnya menohok sampai jantung; dan aku sempat tersinggung. Masak aku disejajarkan dengan udang; krustasea air yang tak pandai berkelit dari jeratan pemburu karena konon tidak punya otak. Lantas Mamat menambahkan, “Di sini, di Malaysia, orang kerja dari hari Isnin sampai Jumaat. Sabtu Ahad mereka cuti. Pada hari-hari kerja, business hours mulai dari pukul sembilan pagi sampai pukul lima senja.” Kemudian setelah ia menarik nafasnya panjang-panjang dan menghembuskannya, “Mengapa semua pekerja Malaysia sudah tidak berada di tempat pada hari Jumaat pukul tiga senja, hah? Jawablah!” Aku diam tak menjawab, hanya senyum yang aku paksakan. “Rencana operasi bocor. Itu berarti mereka sudah tahu polis ada operasi. Dan semua mereka kabur sebelum jam kerja usai. Kalian hanya jadi tumbal,” Mamat menguraikan analisanya kepadaku. Pandai juga anak ini. Akurasi Conspiracy Theory yang diangkatnya fifty-fifty; setengah betul dan yang setengahnya lagi kunilai cenderung salah. Analisa Mamat bahwa semua warga Malaysia kabur sebelum operasi penangkapan memang meleset, tetapi kecurigaannya tentang warga negara Indonesia yang dijadikan tumbal benar adanya.

Kerja baik-baik dengan gaji kecil,” katanya bersungut, “kau tetap masuk penjara.” Kemudian dia menambahkan, “Sekali saja kita menyamun, penghasilannya besar. Kujamin kau pasti ketagihan.”

Anak muda ini tampan. Kulitnya putih bersih dan bercahaya. Penampilannya sungguh tidak mencurigakan. Tiada tanda-tanda yang disandang fisiknya yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang penyamun. Namun aku agak terkejut ketika dia mengaku bahwa ini adalah kali ketiga dia masuk penjara di Tanah Melayu. Akal budi dan pengertiannya tentang kejahatan telah melampaui usianya; menerobos batas-batas peruntungan yang beku.

“Aku bisa cari uang lebih banyak daripada yang dapat kau bayangkan,” lirih, pelan tapi sombong. Yang kutangkap dari pembicaraannya adalah bahwa mengumpulkan uang dengan cara menyamun itu simpil – perkara yang mudah – baginya.

Berketiak ular; tak putus-putusnya dia bicara. “Baru setelah makmur dengan harta berlimpah, kita berhenti kerja kotor. Ya, semacam proses hidup yang mesti dijalani.”

“Lihatlah para Wali,” katanya lagi kepadaku seakan persediaan kosa katanya tidak terbatas, “Sewaktu muda, beberapa diantaranya adalah pencoleng, orang jahat. Ilmunya tinggi-tinggi. Setelah tobat mereka jadi wali.”

Sejauh ini aku tidak berkomentar. Meski demikian, aku berusaha melempar senyum. Sesekali kupalingkan pandanganku menembus tingkap kaca dan memintas jeruji keluli yang membentang luas sepanjang sisi selatan dan barat lokap, memandang unggas bebas terbang kian kemari.

Di luar sana, burung ada di mana-mana. Jalak, gagak, balam, perkutut, sampai merpati dan pipit senantiasa ada. Tak payah mereka berjuang mencari makan; karena ada kulihat beberapa banduan penghuni sel-sel sayap selatan Blok Ehsan getol melemparkan remah-remah roti ke padang rumput tempat burung-burung biasa berjemur diri dan mengawan. Dengan cara demikian, mudahlah bagi burung-burung itu mendapat makanan. Beberapa burung menclok dan bersantap di atas tiang jemuran setelah mendapatkan makanan yang dibawa paruhnya. Dengan cara itu pula, banduan mendapat hiburan istimewa melalui burung-burung yang tetap berkunjung dari hari ke hari. Dan karena burung pula, banyak tahanan mighta been outta wits; miring otaknya, teriak-teriak mengandaikan diri bagai burung yang lolos dari perangkap sangkar besi. Hatiku pun sedih manakala teringat di kepala dan terngiang di telinga beberapa bait syair pertama dari sebuah lagu yang pernah populer dibawakan oleh Trio Ambisi di masa mudaku; Seandainya aku punya sayap, Terbang terbanglah aku, Kucari dunia yang lain, Untuk apa ku di sini. Aku tak peduli dengan otentisitas pengalaman batin sang pujangga ketika lagu tercipta yang tentu tidak sama dengan suasana hati yang kuhadapi di Sungai Buloh saat ini.

“Jadi, setelah keluar dari sini, jangan pulang ke Indon.” Rupanya kawan satu ini sudah tertular penyakit orang-orang Malaysia, bilang “Indon” untuk Indonesia. “Itu frustrasi. Putus asa, namanya,” katanya menambahkan.

Sesuatu di atas membuatku mendongakkan kepala. Dari tempat aku duduk di dekat bawah sokoguru baratlaut, kubiarkan pandangan mataku bergerak melayang menembus kaca, melewati jeruji keluli. Empat pesawat tempur supersonic – dalam formasi dua-dua; dua di depan dan dua di belakang; dua di kanan dua di kiri – terbang rendah melesat ke selatan. Suaranya mendengung bising memekakkan gendang telinga dan menggetarkan lempengan-lempengan kaca bening sepanjang sisi selatan dan barat lokap Dewan-B untuk masa yang cukup lama. Rupanya langit di atas penjara Sungai Buloh kerap dilayari kapal udara. Karena, tak lama berselang, sebuah pesawat kargo DHL terlihat santai numpang lewat meniti angkasa yang lebih tinggi – menembus gumpalan-gumpalan awan putih tipis yang tampak gelisah – menuju tenggara. Juga ada MAS dan Air Asia melintas.

Dibandingkan dengan penghuni sel-sel lain yang ruang pandangnya serba terbatas, kami penghuni lokap Dewan-B dapat dengan lebih leluasa memanfaatkan indra visual kami; karena kaca beling tembus pandang membentang nyaris sepanjang sisi utara dan barat lokap. Yang sedikit jadi penghalang mata memandang adalah gantungan-gantungan pakaian basah untuk dikeringkan angin di depan jendela dan menempel di sisi luar lokap serta rangkaian jeruji besi yang diselipi gayung dan bungkusan roti. Namun halangan itu tidaklah signifikan. Bahkan kaca bening yang terhalang di baliknya itu dapat dijadikan media oleh sebagian tahanan untuk mematut diri. Ibaratnya kami ini adalah burung dalam sangkar; mata terlepas badan terkurung. Sementara itu, tiada henti terdengar riuh rendah derum raung dari kendaraaan darat yang berseliweran di jalanan depan penjara. Kalau yang ini kami tidak melihatnya; karena terhalang tembok penjara yang tinggi.

Tak begitu lama berselang, seorang banduan etnis India menggertakku. Dia bilang bahwa dia adalah polisi yang sedang menyamar dan menyelidiki kasusku. Alih-alih takut, aku malah tertawa. Gertakannya tidak merusak rasa percaya diriku. Kubusung dada dan kutantang dia, “Sila jika Anda mau menjebak saya. Toh polisi tak pernah serius mengungkap kasus ini.” Kusungging senyum sinis. “Kalau polisi mau serius, pasti semua ditangkap; bukan hanya pekerja Indonesia,” kataku mengolok. Akhirnya dia menyerah. Ujung-ujungnya dia memintaku untuk bergabung dengan kelompok samunnya kelak selepas kami keluar dari penjara. Aku hanya menggelengkan kepala. Ajakan itu, jika kuamini, akan menjadi bisa di sepanjang masa sisa hidupku.

Pada hamparan padang rumput sebelah selatan lokap Dewan-B, sigap orang kerja menjemur pakaian di atas barisan kawat yang direntang tiang-tiang besi. Air menguap bagai asap dari pakaian yang berjejer bergantung melambai terayun-ayun ke sana-sini di tali jemuran yang diterpa panas matahari. Uapnya yang lembut merambat naik perlahan meliuk lampai bagai semburan asap di atas kepundan gunung berapi yang tertiup angin pagi. Barangkali karena kebutuhan akan hiburan merupakan sesuatu perkara yang musykil terpuaskan, aktivitas-aktivitas orang kerja memiuh dan menjemur cucian cukup menyedot perhatian seisi lokap.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar