Selasa, 31 Maret 2009

Kerbau Keluan, Menurut Adalah Cara yang Paling Aman

Kerbau Keluan, Menurut Adalah Cara yang Paling Aman

Pukul 22.00 waktu tempatan; malam belum begitu larut. Belum ada yang tidur. Ada yang ngobrol serius. Ada yang bercanda dan tertawa. Ada pula pemandangan urut pijit dan kipas-kipas. Dari sel E terdengar riuh rendah dendang lagu-lagu Melayu.

Dalam pada itu, masuk pendatang baru. Ia adalah seorang tahanan berbadan jangkung dengan tinggi sekitar 180cm, perawakan sedang, kulit coklat bersisik, hidung mancung melengkung paruh betet. Tiba-tiba saja, hanya dalam tempo kurang dari setengah jam berselang, ia membuat semua orang terkesima. “Saya Pakistan. Saya Muslim. Saya Muslim! Saya Muslim!!!” jeritnya mendengking sambil sekuat tenaga membentur-benturkan kepala ke jeruji besi – Bilik 4 tempat tahanan Indonesia dan Bangladesh duduk – berulang lima atau enam kali hingga memercik darah segar dari dahi. Darah itu merah. Asli merah. Lokap pun geger telek. Tak syak, dari luar jeruji sipir berusaha menenangkannya. Ia akan dipindahkan ke sel khusus, pikirku. Ternyata tidak.

Orang Muslim Pakistan itu menolak perintah untuk mengipasi tahanan lain – seorang India Malaysia. “Saya Muslim. Haram bagi saya diperintah,” tuturnya terbata dalam posisi berdiri membungkuk memperagakan gerakan pantomim mengipas-ngipas, “oleh orang bukan Muslim.” Ia protes keras karena merasa terhina. Dino, boss geng Cina, bertanya apa pendapatku tentang peristiwa tersebut. Dengan hati-hati kujawab, yang kufahamkan adalah bahwa – apapun alasan yang melatarinya – seorang Muslim tidak layak tunduk dan patuh diperintah secara zalim oleh orang-orang non-Muslim, apalagi jika berlangsung di sebuah negara yang agama resminya adalah agamanya orang Muslim. “Fundamentalis,” kataku menegaskan. Bagi mereka, menderita – bahkan mati sekali pun – adalah lebih baik dan jauh lebih mulia daripada hidup terhina. Pendirian semacam itu tidak akan dapat dimengerti oleh orang-orang dalam lingkungan masyarakat non-Muslim. Tampaknya sentimen religi yang diusung oleh banduan Pakistan tersebut cukup ampuh. Geng India menahan diri dari melakukan sesuatu tindakan yang dapat memperburuk keadaan. Untuk sementara tidak ada tahanan yang mengganggu Pakistan si pemberani.

Akan tetapi, lokap adalah sebuah tempat yang dihuni oleh manusia-manusia sasar yang telah terbiasa dengan kekerasan. Kealpaan gangguan terhadap tahanan warga Pakistan tidak bertahan lama. Ketika ia tengah membaringkan diri menikmati “kebebasan” dunianya, satu dua tahanan Melayu menghampiri, menghardik, dan adegan berikutnya adalah Muslim melibas Muslim. Muslim Melayu menumbuk, menyepak, dan menunjang Muslim Pakistan. Mendapat perlakuan buruk susulan seperti itu, this Pakistani lantas teriak-teriak dan mengadu kepada sipir, “Cikgu, saya dipukul sama orang itu.” Tapi apa dikata, sipir tiada lagi mau peduli. Karena angin segar pembiaran itu pula, tak ayal sejumlah tahanan lain ikut-ikutan lakukan aksi, curi-curi pukul. Bahkan, dari kelompok geng Cina yang tengah duduk-duduk santai di depan sel B, seplastik air urin 100an cc dilempar kearahnya; namun mendarat dan tumpah pada tubuh tahanan lain yang berbaring di sebelahnya. Tahanan itu – WN Filipina – lancarkan protes dan mengadu pada cikgu. Pengaduannya tidak mendapat respon, eggak diterge. Kaciaan deh lu!

Keesokan paginya kulihat si Pakistan sudah sangat jinak. Perilakunya berubah drastis hanya dalam waktu semalam. Bagai kerbau dikelu (dicucuk dan ditambat hidung), dia kini telah jadi lulut dan bersedia mengipasi tahanan lain; tahanan yang ditentangnya mati-matian sampai bercucur darah tadi malam. Satu sesi pembelajaran di lokap telah ditempuhnya. Dalam situasi tertekan, mengalah, membisu dan menurut merupakan cara murah yang paling aman. Dia jadi rasional dan pragmatis. Ternyata berjuang sampai titik darah penghabisan bukan merupakan idea yang sesuai untuk diterapkan dalam penjara.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar