Selasa, 31 Maret 2009

Penyidikan Outdoors; Lewat Sini, Jalan Toll Gratis

Penyidikan Outdoors

Senin 30 April 2007. Aparat KPDN menjemput kami dari Balai Polis Puchong; untuk melakukan penyidikan di tempat terbuka. Melintasi front office, malu hati aku tiada terkira ketika kulihat beberapa tamu yang duduk di ruang peladenan pengaduan itu memandangi kami dengan sorot mata keheranan; seorang di antaranya ibu-ibu seusiaku. Meski diriku tiada mengenal mereka, entah mengapa rasa malu itu tak dapat kuabaikan. Rasa maluku lebih karena cara mereka memandang seakan mencibir kalau kami tak tahu malu menjadi benalu di negara mereka. Untunglah kami tidak berlama-lama di tempat itu; karena setelah mengurus persyaratan administratif dan sedikit berbasa-basi dengan petugas piket, penyidik menyeret kami keluar dari gedung dan masuk ke dalam SUV yang diparkir di halaman depan balai.

Ketika SUV mulai keluar meninggalkan halaman Balai Polis Puchong, seorang penyidik mengajukan pertanyaan.

“Kalian disentuh?” tanya dia untuk memastikan bahwa polisi tidak menyiksa kami.

“Oh, tidak,” jawabku tegas. “Hanya digertak-gertak oleh sesama tahanan. Tak masalah,” aku mengimbuhkan.

“Tak apalah,” kata penyidik menguatkan hati kami.

Mereka menanyakan apakah kami berempat sudah makan. Serempak kami jawab sudah. “Tapi masih lapar,” kataku tandas tanpa beban. Salah seorang bertanya kami mau makan apa. Kujawab, “Apa saja. Yang penting perut ini terisi.” Dalam perjalanan, mereka membelikan kami beberapa bungkus roti rasa dan dua botol besar air mineral dari sebuah kedai. Dan sesampainya di taman pelataran sebuah pom bensin berpokok rimbun, mobil diparkir. Segenap aparat penyidik bersegera turun. Kepada kami roti dan air minum dibagikan. Kuterima itu sebagai pemberian yang ikhlas agar tidak mengganggu pikiran. Kami kemudian menyantapnya dalam keadaan sebelah tangan diborgol. Satu batang rokok putih untuk masing-masing banduan dibagikan. Semula aku menolak. “Saya tak merokok,” kataku lirih.

Tapi sebelum si penganjur rokok memahami makna kata-kataku secara apa adanya, pemberian itu kuambil jua di saat kubaca bahasa tubuh Ali agar aku tidak menampik rejeki. Kulakukan itu tanpa aku mencabut ucapanku terlebih dahulu. Selanjutnya, begitu penyidik menyodorkan sebuah mancis gas dengan sumbu menyala kuning biru persis di depan hidungku, kubilang, “Nanti.” Tampaknya ia mafhum bahwa aku memang bukan perokok; atau boleh jadi dia punya pikiran bahwa aku adalah seorang pecandu nikotin dan tar sejati yang berniat menyelundupkan satu batang sigaret filter pemberian mereka ke dalam lokap untuk kemudian kuisap di lain kali. Rokok tetap kupegang. Sedangkan ketiga rekanku kulihat bersemangat mengisap rokok mereka masing-masing.

Dan ketika para penyidik membiarkan hanya kami berempat tinggal di SUV, kuberikan rokokku kepada Ali. Sejurus Ali mengungkapkan perasaan jengkelnya terhadap perilaku seorang petugas KPDN yang memprovokasi perasaan kami dengan sebungkus rokok putih beberapa waktu sebelumnya. Ketika itu si petugas mengeluarkan dan menyodorkan rokoknya kepada kami seolah-olah mau berbagi. Alih-alih memberi barang sebatang, malahan dengan kepongahan tiada dua ia menghardik kami, “Kalau tak punya wang, jangan merokok!” Bukannya aku membesar-besarkan perkara sepele yang tidak penting; sesiapa pun manusia sehat jasmani rohani tidak sudi dipermainkan. Betapa malu dan sakit hati kami dibuatnya.

Setelah bersejuk-sejuk di luar kendaraan selama satuan waktu tertentu, kembali penyidik menghampiri kami.

“Kalian jual movie lewat Internet, ya?” bertanya seorang kepada kami.

“Tidak,” jawab kami berempat serempak.

“Aku pastikan bahwa kami tidak melakukan itu. Aku berani bilang karena akulah yang menset dan menginstall jaringan kami,” tandas Ali. “Tidak mungkin kami dapat melakukannya. Kapasitas jaringan kami hanya 512 kbps. Untuk dapat uploading ke Internet diperlukan paling tidak 1 mbps,” imbuhnya pula. Penyidik terdiam. Ali berhasil menggiring mereka masuk ke dalam sebuah situasi uji kompetensi untuk sertifikasi profesi yang membingungkan. Sebaliknya, mereka tidak dapat menembus pertahanan kami. Mereka tidak memahami bahasa teknis tentang komputer. Mereka juga tidak mengenal medan; sehingga bertanya benar secara nalar pun mereka tiada daya.

“Tapi katanya banyak file pesanan pembelian,” kembali penyidik berkata; menyodorkan sebuah fakta. Akan tetapi fakta yang diajukan selalu saja disertai dengan ungkapan keraguan katanya dan katanya lagi.

“Kami tidak tahu itu. Kami tidak tahu soal pekerjaan administrasi. Kami tidak pernah menanganinya. Boss yang tahu itu,” menjawab Ali.

Pertanyaan itu jawabannya bukan di sini; tapi terpencar di sana, di sana, dan di sana – pada tiga tempat berbeda – bersama tiga pegawai yang dibiarkan pergi oleh polisi. Tiga orang itu membawa banyak jawaban untuk hal-hal yang kami tidak perlu tahu. Mereka menyimpan seberkas informasi unik yang tak dapat ditemukan di tempat-tempat lain.

Kucermati ada sedikit warna kecewa pada air muka orang-orang KPDN yang sudah tidak lagi bening lantaran pemeriksaan tidak membuahkan informasi tambahan. Di lain pihak, kami – para tersangka – justru tonang-tonang saja. Bahkan kami merasa sedikit lebih segar berada di halaman pom bensin setelah berhari-hari penat terkurung dalam kandang besi. Sementara itu, para penyidik tampaknya masih memberi uluran waktu buat kami untuk lebih membuka diri; mengasih keterangan-keterangan penting seperti yang mereka cari. Boleh jadi mereka juga expect the unexpected – mengharap kejutan; siapa tahu kami mau menyampaikan penjelasan istimewa di luar dugaan. Akan tetapi sampai di penghujung waktu mereka menunggu, kami tetap tidak memberi respon yang baru. Kami tidak membuka suara berlebihan yang tentunya tidak bermutu.

Bagi kami semua – mereka dan kami – tidak ada informasi yang baru. Hasil pemeriksaan selalu saja sama seperti yang sudah-sudah. Dari mereka kepada kami, “Tak ada yang mau menjamin kalian.” Sedangkan dari kami kepada mereka, “Kami tak tahu mengenai pekerjaan administrasi.” Itu artinya kedua belah pihak tidak sudi bergeser posisi. Tak ada trade-off (mereka sedikit mengalah dan kami sedikit menyerah untuk saling mendekat dan bertemu di tengah-tengah) maupun trade-in (tukar tambah) kepentingan yang ditawarkan. Tiada pula kami mau give up (menyerah) atau give in (mengalah).

One who pays more expects to get more, and vice versa. Seseorang harus merasa yakin tentang apa yang akan ia dapatkan dari harga yang ia bayarkan. Intinya, kami tidak mudah mengalah karena kami tidak mau lebih merugi. Konsistensi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan serupa adalah kualitas performa dari komitmen yang tetap kami jaga dan pertahankan hingga di ujung batas keupayaan untuk menutup akses penyidik ke ranah pemeriksaan yang lebih luas. Dalam teori permainan, keutuhan tim yang kompak merupakan modal yang kuat untuk memenangkan pertandingan.

Akhirnya, karena tuba habis ikan tak dapat, mereka dengan perasaan mendongkol memutuskan untuk mengembalikan kami ke kandang kami. Mengepal tangan kosong, SUV pun melesat meninggalkan galon, memboyong kami balik menuju rumah tahanan Balai Polis Puchong.

Lewat Sini, Jalan Toll Gratis

Melintas di jalan raya yang cukup ramai dengan kendaraan nan lalu di senja hari, mobil yang kami tumpangi menguntit ketat sebuah sedan warna hitam; begitu rapatnya hingga, ketika masuk ke plasa toll, jarak kedua kendaraan kurang dari satu meter. Ketika kendaraan di depan berhenti karena palang gerbang toll yang menghalang, mobil kami ikut berhenti pas beberapa inci dari ekornya. Sewaktu palang toll terangkat membuka, segera sedan di depan melesat dengan kelajuan yang terus dipercepat. Tidak demikian halnya dengan mobil kami. Lepas dari pintu toll, keempat roda SUV bergulir dengan kecepatan sedang-sedang saja; lenggang kangkung kata orang kita Jawa; sehingga jarak kedua kendaraan kian nyata merenggang. Kian jauh pula mobil kami tertinggal dari mobil sedan depan yang tadi sempat kami kuntit rapat. Namun sebelum itu, kudengar dan kuperhatikan derai tawa lepas pengemudi SUV yang merasa puas karena baki – debit nilai ringgit – kartu pesawat tollnya tidak berkurang. Barusan dia masuk toll perai. Gratis? Ya, tak membayar. Untuk itu pula, ia tertawa sepenuh mulutnya.

Tadi, ketika kendaraan depan menyodorkan pesawat bayar toll, sensor plasa toll memerintahkan palang pintu untuk membuka; memberi jalan kepada sebuah kendaraan untuk berlalu. Sedan depan pun berlalu. Belum sempat palang turun menutup gerbang, kendaraan kami menerobos masuk. Sehingga kami tidak perlu membayar. Atau mungkin saja, sensor membaca hanya ada satu kendaraan yang akan lalu; sedan di depan dan SUV di belakang dilihat oleh sensor plasa toll sebagai satu kesatuan; layaknya sebuah kendaraan panjang seperti limo.

Ketika SUV mendekati Balai Polis, seorang penyidik membilangkan, bahkan berjanji, mereka akan menjenguk dan menjemput Listia dari Balai Polis Subang untuk diajak jalan-jalan mencari angin segar di luar. Kasihan jika terus menerus berada dalam kurungan, demikian penuturan mereka. Tiada pula kutahu sampai kini apakah Listia pernah mereka lawat dan ajak raon-raon – berkeliling negeri untuk menghirup udara segar; merintang lelah di sela-sela masa tahanan yang menyesakkannya selama menghuni lokap Balai Polis Subang.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar