Selasa, 31 Maret 2009

Primata Kurang Adat, Langit Mendung Hujan Tak Jadi

Primata Kurang Adat, Langit Mendung Hujan Tak Jadi

Selepas kami makan, masuk lagi seorang anggota penyidik lainnya. “Ada yang mau rokok?” bertanya ia kepada kami; menunjukkan sebungkus rokok putih berpenapis. Pamer; seakan mencemooh. Nyaris Ali, Dio, dan Arman terpancing. Dipandanginya kami dengan tatapan penghinaan. Garis bibirnya bergerak-gerak membentuk kurva senyum mencibir. “Kalau mau, RM 50 satu batang. Rokok mahal,” berkata ia, mulai cari gara-gara. Ia pasti tahu kalau kami tidak membawa uang; tidak satu sen pun. “Kalau tak punya wang, jangan merokok!” imbuhnya pula. Ada warna jumawa kepuasan dalam nada suaranya yang menyakitkan. Aku baru menyadari betapa saat itu ia sedang menista kami. Bagaikan bunga mengharap air ketika langit mendung hujan tak jadi; begitulah kira-kira perumpamaan yang sesuai untuk melukiskan keadaan Ali, Arman, dan Dio waktu itu. Bayangkan, lebih dari limabelas jam terakhir mereka tidak merokok, lalu terkecoh ketika menyandarkan harapan pada manusia bengkok hati yang hanya pamer kekayaan dan kekuasaan. Dapat kumaklumi, mulut masam bukanlah hipotesa. Bagi Ali, Arman dan Dio, itu pasti adanya. Lebih masam lagi hati mereka. Rokok yang telah disodorkan tak jadi diberikan.

Panas hatiku. Begitu mudahnya orang gila itu mempermainkan perasaan lawan. Tak pantas kami diperlakukan seperti ini. Seumur hidup, baru kali ini aku jumpa manusia kemaruk tinggi hati model beruk begini. Telah rosak serat syaraf otak dalam tengkorak kepalanya yang koclak, bak cempedak dilantak luak. Buruk nian perangai insan yang menurut antropolog – jika disusur galur jauh ke belakang – masih ada pertalian misan denganku ini. Bagiku, dia bukan siapa-siapa kecuali seekor lipas yang cari pasal. Seekor kecoa yang menginginkan masalah.

Belum juga jadi orang betulan sudah lupa daratan. Ia telah melakukan apa yang seharusnya tidak dikerjakan. Kesombongannya menyundul langit. Aku tak suka gayanya. Baru saja punya sebungkus rokok, sudah sok kaya dan kuasa. Ceroboh hatinya. Kurang beres ingatannya. Lagak lagu manusia satu itu sama seperti pekerti seekor siamang yang menepuk-nepuk dada dan mengelus-elus pial simpanan makanan yang penuh bergelambir antara dagu dan leher; sambil melet – menjulur-julurkan lidah tanda mengejek – memamerkan setandan pisang monyet penuh biji kepada kawanan primata lain yang masih kerabat tapi bukan lagi kelompoknya. Membuat kami gusar adalah tujuan dari pekerjaannya. Aku marah. Andai aku punya ilmu teluh, so pasti sudah kutenung dia sampai lonyot kerowak dia punya perut seperti pisang buruk lewat matang dimakan codot.

Beruntung dia karena aku bukan bomoh pemesong yang gemar menyakiti orang sinting dengan sihir. Paling-paling, kalau aku dibekali talenta kekuatan sugestif mandraguna tiada tanding, akan kukempa dan kugembleng dia di padepokanku untuk belajar sopan-santun, meluruskan hati dan membetulkan jalan hidupnya sehingga benar-benarlah dia nantinya menjadi manusia susila dengan kesadaran yang senantiasa terjaga dari perbuatan-perbuatan hina. Ia akan menjadi sosok manusia baru dengan perilaku mulia; menaruh hormat – apapun kriteria yang digunakan untuk kehormatan – terhadap sesama.

Belajar Dasar-Dasar Aljabar

Di relung jiwa yang galau, pikiranku jadi sedikit rada aneh. Ada terbersit rasa puas yang menghibur sewaktu kulihat seorang penyidik kebingungan. Laksana koboi kehilangan ternak piaraan di padang gembala, pikirannya gelisah. Aku tahu apa yang mengocok benak si perisau itu. Yang menyumbat di kepala sehingga menujah ke jantungnya adalah kecemasan tentang kelengkapan jumlah kami. Berulang-ulang ia kira bilangan kami hanya sampai angka empat; padahal dia tahu kalau sesungguhnya jumlah kami ada lima. Itu berarti hilang satu dari genggaman. Barangkali ia khawatir satu dari kami telah kabur. Apalagi waktu itu tak satu juga gari menggelang tangan kami. Berulang-ulang ia berusaha mencongak dengan bibir berucap satu … dua … tiga … empat sementara jari jemari baik di tangan kanan maupun di sebelah tangan kirinya melipat-lipat saling membimbing silih berganti; seakan-akan ia tengah berkutat dalam sebuah sistem bilangan pelik yang harus dihapalkannya luar kepala. Boleh jadi pikiran dan hatinya kibang-kibut khawatir kalau-kalau ia telah salah hitung.

Biarlah tiap-tiap orang mengurus hidupnya sendiri, pikirku. Selanjutnya aku hanya diam menunggu waktu berlalu sonder ragu ketika ia tak kunjung dapat menyelesaikan masalah aljabar tingkat dasar. Lama kubiarkan emosinya bingung ketika logikanya tersesat dalam kebimbangan untuk memecahkan soal hitung-menghitung sesederhana itu; pasalnya ia tidak bersegera bertanya kepada kami. Tidak juga ia meminta bantuan kami menghitungkan jumlah kami untuknya. Barulah kuberi tahu keberadaan orang yang ia cari setelah ia bersungguh-sungguh bertanya, “Satu orang lagi mana?” kepada kami.

“Itu,” responku dengan gerakan kepala dan ekspresi wajah gaya Semar, tokoh mahaguru punakawan dalam lakon-lakon dramaturgi pewayangan, tanpa telunjuk menunjuk objek yang kumaksud; sebuah petunjuk yang menggenapkan lipatan-lipatan jari di tangan kiri sang petugas tentang jumlah kami. Small thing, my answer was a great help for him. Tentunya jawaban yang kuberikan menambah manfaat bagi kebugaran jiwanya. Wajah tegang aparat penggagap itu kulihat berangsur mengendur dengan irama nafas berliput syukur. Adalah Arman yang hilang dari pandangan penyidik. Setelah makan siang barusan, Arman golek-golek – rebahkan diri – dan akhirnya tertidur nyenyak tanpa dengkur di atas lantai karpet tebal warna hijau lumut dan mepet di tembok, di atasnya menggantung potret setengah badan Perdana Menteri Malaysia. Meja panjang oval yang tegak berdiri di tengah-tengah ruangan telah menutupi pandangan penyidik dari Arman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar