Selasa, 31 Maret 2009

KPDN Petaling Jaya, Lengoh Pundi Kencing

KPDN Petaling Jaya, Lengoh Pundi Kencing

Tengari, tanggal dua lapan haribulan empat tahun duaribu tujuh; kantor Kementerian Perdagangan (dan Perlindungan Pengguna?) Dalam Negeri, Petaling Jaya, Selangor Darul Ehsan. Pemeriksaan belum juga digelar. Kusapu pandangan ke segenap penjuru. Kutengok tepat di depan ruang pemeriksaan terdapat ruang mushalla. Kulongok tidak ada fasilitas air sembahyang maupun toilet.

Aku minta izin untuk buang air kecil. Petugas mengatakan bahwa fasilitas toilet ada di lantai bawah. Namun karena statusku tahanan dan tanganku digari, maka harus ada yang mengantar. Dan karena dia malas, pikirku, dia memintaku untuk bersabar sejenak, menunggu seseorang petugas yang bersedia untuk mengantarku ke toilet.

“Tapi jangan lari,” katanya mengingatkan; separo mengancam.

“Manalah mungkin saya lari. Paspor saya kan ditahan?!” taktis aku menepis.

“Tapi banyak juga yang lari.”

“Hanya orang bodoh yang lari tanpa paspor.”

“Betul juga.”

Lama aku menunggu petugas yang bersedia untuk mengantarku. Tunggu punya tunggu, yang kutunggu tidak juga kutemu. Rugi waktu aku menunggu. Dalam penantian aku gelisah. Terlintas di benakku untuk sekali-kali tidak merepotkan – terlebih membuat susah – sesama. Akhirnya kubatalkan niatku untuk berkunjung ke tandas. Kutahan hasrat untuk buang air seni selama beberapa masa. Biarlah derita ini kutanggung sendiri, pikirku sentimental di saat aku tersiksa sensasi lengoh (linu) postrat kantong kemihku. Seandainya mereka mau mengerti, tiadalah aku akan merendahkan diri memohon pertolongan dari peribudi orang-orang yang baru saja aku kenal andai ini bukan perkara kecemasan. Semoga, membiarkan tahanan frustrasi dalam sengsara bukan sebuah laku yang disengaja untuk memuaskan kebutuhan psikis dari mereka yang sakit dan cenderung suka menyiksa.

Andaikan ada satu saja di antara mereka mau mengulurkan tangan memberi bantuan tanpa harus berkali-kali kuminta secara demonstratif sebagai lazimnya laku peserta lomba deklamasi di hadapan dewan juri, niscaya akan kucatat mereka semua dalam buku besar sejarah hidupku sebagai kelompok manusia berhati mulia yang keberadaannya di masa kini dan nanti kian langka. Besi baik tiada berkarat. Permintaan itu – mengantarkan atau membiarkan aku yang terborgol di tangan oleh gari mereka ke tempat buang air kecil di gedung mereka, di markas mereka – adalah sebuah permintaan yang terlampau besar buat mereka yang berhati sempit. Tiada ruang pengabulan tersisip dalam jiwa yang ripuh. Nasiiib nasib! Beginilah nasib orang tawanan di negeri orang. Amit-amit, jangan sampai anak, cucu, cicit mengalami.

* * *

Pemeriksaan tanpa menyertakan barang-barang bukti yang turut disita seperti komputer dan catatan-catatan hard-copy menyulitkan para penyidik. Mereka hanya berbekal secarik berkas laporan penangkapan yang memuat daftar barang-barang yang turut disita.

Terkesan mereka tidak memahami kasus yang tengah mereka tangani. Mereka kelihatan bingung dan canggung. Selain tidak tangkas, mereka juga tidak bergairah dan tidak pula bertaji. Demikian pula, pemeriksaan yang dilakukan secara bersama dalam satu kelompok membuahkan hasil yang tidak variatif. Tidak perlu kiranya kami bersusah payah bersilat lidah. Jawaban yang kami berikan polos dan lurus meski tak seutuhnya tulus; lempang tidak berliku, apalagi berbelit. Selalu seragam dan konsisten. Sehingga para penyidik enggak kober untuk dapat mengembangkan siasat lebih lanjut. Kutangkap, ketidakmengertian tentang banyak hal telah menyihir mereka. Bahkan mereka kerap meragukan apa yang telah mereka ketahui, berhubung situasi yang tengah mereka hadapi adalah sebuah fenomena unik. Alih-alih efektif, penyidikan berlangsung kikuk, ngelantur kehilangan arah dan kabur. Jauh dari artian sahih. Alhasil, tidak banyak informasi yang mereka dapatkan dari kami. Andai saat itu kami dihadapkan dengan kesemua atau beberapa dari ke empat belas unit perangkat komputer yang turut mereka sita, tentu mereka akan mendapatkan informasi tambahan yang agak istimewa. Butuh kecerdasan lebih dari sekedar akar umbi untuk menangani pekerjaan kelas satu.

Perbincangan internal antar penyidik sendiri memperdengarkan bahwa tidak ada CD bajakan yang ditemukan dalam operasi penangkapan kami. Sementara itu, bagian terkonyol dalam rangkaian penyidikan terhadap kami muncul ke permukaan ketika salah seorang penyidik bilang mereka akan membidik kami dengan Undang-Undang Akta Hak Cipta (UU AHC) karena kami menggunakan piranti PhotoShop. Mengigau dia, pikirku. Keberadaan PhotoShop dalam komputer kami adalah sah. Perusahaan membelinya.

* * *

“Kalian bikin VCD?”

“Tidak,” tangkis Ali tangkas.

“Lalu, mengapa katanya banyak blank CD? Untuk apa semua itu?”

Belum juga khatam mereka bicara, cekatan Ali menyela, “Itu DVD-R. Kami disain gambar. Hasilnya kami burn ke dalam DVD-R. Kami serahkan itu kepada boss. Selebihnya, kami tidak tahu.” Bukan sihir bukan pula sulap; bagi kami, tiada soal yang tak berjawab.

“Dizainer. Besar gaji kalian,” manggut-manggut kayak perkutut manggung seorang penyidik berkomentar; berlagak serius. Perangainya dibuat-buat.

“Tidak. Saya dibayar RM1200 satu bulan,” tukas Ali dan, “Kerjanya teruk. Dari pukul sembilan pagi sampai jam sembilan malam. Kadang-kadang sampai pukul sebelas,” imbuhnya. Sedikit tipu-tipu. Padahal kerja kami lebih parah lagi. Yang benar adalah dari jam 9 pagi sampai 11 malam. Kadang-kadang lebih. Malah seringkali kulihat Dio masih bekerja hingga pukul 3 atau 4 dini hari; lebih banyak waktu malamnya dipakai begadang untuk membela kepentingan majikan. Sembilan puluh jam rata-rata kami bekerja sepanjang minggu. Itu semua ada terekam pada kartu ketok absensi harian kami. Padahal jam kerja maksimum normal yang berlaku di banyak negara berkembang adalah empatpuluh jam per minggu.

“Begitulah. Banyak perusahaan di sini mempekerjakan orang-orang Indonesia dengan gaji rendah dan jam kerja yang panjang,” gumam seorang penyidik seakan bersimpati terhadap kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar