Selasa, 31 Maret 2009

Polisi Kembali Menekan

Polisi Kembali Menekan

Sial bagi kami, polisi kembali menemukan alasan untuk tinggal lebih lama. Di lantai atas, polisi mendapati Dio, Arman, dan Listia yang telah bersembunyi selama berjam-jam. Bertiga mereka keluar setelah polisi mengetuk-ngetuk pintu dua kamar yang terkunci dari dalam. Selain itu, dari bilik tidur boss, polisi menemukan satu koper keping DVD; semuanya asli. Tanpa buang waktu, salah satu dari mereka turun dan menghampiriku. Garis wajahnya mengeras. Dimintanya kembali pasporku untuk kali yang kedua. Semestinya aku langsung cabut sedari tadi – ketika kuterima kembali paspor dan kartu Pengenalan Pekerja Asing milikku dari tangan polisi usai investigasi seri pertama; tetapi tidak kulakukan. Getun aku telah melewatkan momentum yang sangat krusial itu. Betapa bodohnya aku. Apa boleh buat, sudah kasip. Kini babak kedua telah dimulai. Time makes sure we’d never be in the same place twice. Tak mungkin dapat kuputar jarum waktu ke belakang. Mau tak mau, kuhalau jauh-jauh rasa penyesalan yang menggelayuti sanubariku. Berselang lima menitan, seorang lagi rekannya datang menyusul. Berdua mereka menginterogasiku. Di bilik belakang.

“Kalian buat VCD, ya?” tanya seorang.

“Saya tidak tahu,” jawabku datar.

“Jadi, apa kerjamu di sini?” tanya yang seorang lagi sewot; di wajahnya kulihat kejengkelan yang menggetarkan.

Berkeringat dingin aku menjawab, “Saya cuma pesuruh; general worker. Angkat-angkat barang.” Jawabanku mengamini keterangan Jane tentang aku kepada mereka sebelumnya.

“Terus terang sajalah,” dia membujuk dengan tekanan suara, pancaran mata, dan mimik muka yang mengintimidasi. Ia masih berusaha mencari cara untuk membuatku berbicara secara yang diinginkannya. “Kalian buat VCD, kan?” pancingnya pula.

“Saya tidak tahu,” jawabku konsisten; kepala menunduk memandang meja. Tidak ada informasi tambahan yang mereka dapatkan dariku. Ketika aku mengangkat muka, murka terbaca jelas dari raut wajah kedua-dua polisi muda itu. Sepertinya mereka sudah tidak sabar hendak mencekik, memelintir, dan mematahkan batang leherku.

Sejurus kemudian mereka menyuruh kami berkumpul di ruang tengah. Kami berlima, orang-orang Indonesia, mengambil tempat di atas sebuah sofa panjang tepat di depan pintu masuk; bekas aku tadi duduk sendirian ketika Arman meng-SMS-ku. Kini berlima kami duduk berendeng berhimpitan. Sementara itu, tidak jauh dari kami. kulihat tiga pegawai warga Malaysia – Jane, Shirley, dan Kinky – masih berada di tempat mereka masing-masing, karena memang ruang tengah itulah tempat kerja mereka.

* * *

Hari mulai merambat malam. Dari saku belakang celananya, seorang polisi mengeluarkan paspor kami. Ditelisik; dibolak-balik. Kutengok, tidak hanya sekali dua kali dia mengamat-amati wajah kami. Sebentar-sebentar dia layangkan pandangannya kearah kami. Dan sebanyak itu pula kedua bola matanya memelototi paspor kami yang ada di tangannya. Mendapatkan ijin kerja kami berlima yang semuanya berada di sektor konstruksi, polisi bergumam dengan dengus nafas berat; isyarat bahwa mereka tidak percaya. Pertama, penemuan mereka di lokasi menunjukkan bahwa tak ada satu item pekerjaan pun yang terbabit langsung dengan konstruksi. Kedua, tubuh kami semuanya cungkring; ceking. Istilahnya, enggak ada potongan kalau kami ini pekerja konstruksi. Karena, menurut seorang rekan, “Yang namanya kuli bangunan itu bodinya gempal dan kekar, lho.” Tidak kurus.

Lihat dan raba. Maaf, jangan salah raba. Tangan kami tidak kapalan. Tiada lapisan-lapisan tebal kulit mati warna kuning gading pada telapak tangan kami. Kami memiliki jemari dan telapak tangan yang relatif mulus; tidak pecah-pecah. Jelas kami bukan proletar. Lebih pantas kami sebagai pekerja salon kecantikan bertangan lembut ketimbang kuli bangunan berlengan kasar. Dan yang ketiga, Listia itu perempuan. Bagi mereka, tidak mungkin perempuan bekerja di bidang konstruksi, kecuali di bagian manajemen atau administrasi. Akan tetapi lagi-lagi itu pun tidak masuk nalar batok kepala mereka yang sarat wasangka. Sepanjang yang mereka tahu, semua ekspat dari Indonesia yang ada dan bekerja di sana hanya terdiri dari golongan jongos dan babu. Polisi tentu tidak akan pernah ragu andai ijin kerja Listia berada di sektor cleaning service atau household. Kian kental kecurigaan polisi terhadap kami.

Nyinyir mereka menyoal kembali ijin kerja kami.

Permit kerja Indon semuanya construction worker. Kelihatannya apa-apa yang mereka kerjakan di sini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kerja pembinaan,” katanya sambil tiada henti membuka lembar demi lembar paspor kami.

Ejen yang urus itu. Kami serahkan itu pada ejen,” Jane menjawab. Air mukanya kian keruh.

* * *

Tampaknya polisi berpedoman pada prejudice of guilty; prasangka bersalah. Bukan prejudice of innocent (praduga tak-bersalah) sebagaimana dianut oleh arus utama mazhab penegakan hukum. Dari awal mereka sudah menduga bahwa semua yang ada di situ adalah penjenayah. Mereka yakin kami semua bandit pelanggar hukum. Bagian paling pelik yang harus kami lalui adalah ketika polisi terus menerus mencari-cari kesalahan kami; bersikukuh bahwa burner dan software pada tiap komputer telah digunakan untuk menggandakan CD. Namun di lain pihak, mereka tidak menemukan barang dan alat bukti yang memadai. Tak satu jua CD hasil cetak rompak – sebagaimana yang secara konsisten mereka sangkakan – mereka dapatkan. Mereka menafikan fakta bahwa burner merupakan aksesori standar untuk sebuah perangkat komputer. Alih-alih di perusahaan IT, komputer rumahan murahan juga menggunakannya. Mereka menemukan DVD-R kosong, yang juga merupakan kelengkapan yang diperjual-belikan secara bebas. Pemilik komputer rumahan juga melengkapi koleksi aksesori mereka dengan blank CD, untuk keperluan bakar-bakar. Beberapa software pemutar movie dipertanyakan. Media player seperti itu adalah piranti standar dan banyak di antaranya merupakan freeware yang dengan mudahnya dapat diunduh (download) dari jaringan Internet. Mereka hanya menduga-duga semata. Tak kulihat salah satu dari mereka menggunakannya; bahkan menjamah pun mereka tak berani. Awam rupanya mereka. Seperti kera diberi kaca, they’re technically not competent. Tetapi kalau bicara menuduh, mereka berlagak seakan-akan lebih pintar dari kami; selalu tak mau kalah.

Tiga papan nama dari tiga perusahaan berbeda di bawah satu atap menggelitik minat Polisi untuk mempertanyakannya kepada kami. Mereka juga menemukan stempel, nota, dan kop surat dengan nama perusahaan yang berbeda-beda. Dalam organisasi bisnes, hal seperti ini pun lazim. Tim yang sama bisa saja mengelola beberapa perusahaan berbeda; baik sejenis maupun tidak. Salah satu pertimbangannya adalah optimalisasi pemanfaatan sumberdaya terbatas.

Satu per satu lemari file dibuka. Polisi menemukan sejumlah file hard copy pesanan pembelian DVD. Di tempat yang sama, mereka juga mendapatkan daftar gaji pegawai. Mereka mempertanyakan dari mana perusahaan dapat membayar gaji pegawai yang begitu banyak. Salah satunya, mereka menganggap payroll untuk Ray sebesar RM 5.000 sangat besar. Mungkin membandingkannya dengan penghasilan mereka sendiri. Padahal di sebuah perusahaan swasta, gaji sebesar itu sudah lumrah, kalau tidak dibilang kecil.

* * *

Jalan Damai Coba Dipetakan

Jane mengontak Wong, seorang teknisi perusahaan, untuk datang. Wong memenuhinya. Polisi mengajukan satu pertanyaan kepada Wong tentang piranti lunak seputar program-program DVD player dan burner pada setiap komputer. Wong gelagapan angkat bahu menyatakan tidak tahu. Lantas cabut; ambil langkah seribu. Jane bersegera mengontak Ray. Dengan ponselnya, Jane memfasilitasi perundingan antara Ray dan polisi. Polisi bertanya pada Ray apakah kami mencetak VCD bajakan. Barangkali Ray bilang tidak. Lobi Ray gagal. Tak lama berselang, datang Xeng untuk melakukan perundingan. Salah seorang polisi ternyata telah mengenal Xeng. Mereka sempat berbincang akrab.

Ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa setiap unit komputer dilengkapi dengan burner dan program-program pemutar VCD DVD, Xeng lantas bertanya kepada Jane apakah perusahaan membuat VCD DVD. Akhirnya, setelah didesak dan diancam serta dijanjikan tidak akan diseret ke balai polis jika mau mengaku, Jane mengkonfirmasi bahwa pernah perusahaan membuat DVD 3-IN-1 – tiga movie dalam satu disk – dalam jumlah terbatas. Business core perusahaan ada pada nada dering. Xeng angkat tangan dan menyatakan tidak bertanggung jawab. Walau begitu, ia berusaha keras untuk tampil tenang seolah meyakinkan kami tentang pengaruhnya yang kuat di lingkungan kepolisian. Kemudian, melalui handset Jane, kembali Ray mengontak polisi untuk yang kedua kalinya. Entah apa yang telah dikatakan Ray ketika polisi tiba-tiba berang. “Tadi kau bilang tidak!” semburnya menyalak galak. “Tak boleh, sudah terlambat,” kembali berkata polisi itu kepada Ray di telepon. Kayaknya Ray mengajukan penyelesaian damai di bawah tangan. Polisi menolak. Mereka bilang saat itu sudah terlambat karena proses penyidikan telah terlanjur dimulai.

* * *

Sementara itu, ketika mendengar pembicaraan antar perwira polisi, kupingku keseleo. Demikian pula halnya dengan telinga Arman; tidak berfungsi dengan baik.

“Pi Di En itu apa, Bang?” bertanya Arman kepadaku.

“Bukan Pi Di En. Tapi Ti Di Em,” aku menjawab.

“Apa itu?”

“Tentera Diraja Malaysia. Kayak di kita pada zaman Orde Baru dulu, tentara dilibatkan dalam menangani perkara-perkara sipil,” aku menerangkan; berlagak selaku seorang pakar ilmu pemerintahan. Kami jadi ketar-ketir. Masak urusan segini aja ditangani militer, aku merenung. Sebagai benang dilanda ayam, pikiranku semakin kusut masai. Kelak keesokan harinya ketika kami diinterrogasi di kantor KPDN Petaling Jaya, barulah aku mafhum tentang makhluk apa yang disebut-sebut berulangkali oleh polisi. Dia adalah Kementerian Perdagangan (& Perlindungan Pengguna?) Dalam Negeri; institusi dengan kewenangan menangani kasus-kasus kejahatan ekonomi. Kukulum senyum. Masam.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar