Selasa, 31 Maret 2009

Balai Polis Puchong

Balai Polis Puchong

Sekira pukul 11 malam, dengan tangan diborgol, Ali, Dio, Arman dan aku dibawa ke Balai Polis Puchong; dan Listia dalam mobil berbeda juga dibawa ke tempat yang sama.

Sesampainya kami di pelataran parkir Balai Polis Puchong, petugas KPDN yang membawa kami tidak langsung menyerahkan kami kepada pihak kepolisian. Mereka masih menunggu beberapa masa kalau-kalau ada orang kantor yang datang menjemput. Lama juga kami berada dalam SUV tahanan. Sembari menunggu, kami manfaatkan waktu dengan membisu. Rupanya Arman sudah tak tahan berdiam diri. Berperilaku ramah adalah sifat melekat pada Arman. Tak peduli bahwa kini tangannya digari, sempat-sempatnya dia mencoba membuka pembicaraan ramah-tamah dengan petugas KPDN yang menggelandang kami.

“Bapak polis?” bertanya Arman.

“Bukan.”

“Detektif?”

“Ya, semacam itulah.”

Setelah menunggu cukup lama dan tiada seseorang jua yang datang menjemput kami, petugas KPDN pun menggiring kami yang laki-laki keluar dari mobil. Kami dititipkan dalam lokap – sel tahanan – Balai Polis Puchong. Sedangkan Listia selanjutnya dibawa ke balai Polis Subang. Ditempatkannya Listia di Balai Polis Subang lantaran di tempat ini tersedia bilik tahanan untuk perempuan, selain sel-sel tahanan untuk laki-laki tentunya. Sedangkan Balai Polis Puchong hanya memiliki fasilitas kamar tahanan untuk kaum Adam.

Kesan pertama yang kutangkap sesaat sebelum masuk, penjara ternyata tidak seseram yang kubayangkan sebelumnya, tetapi … lebih seram! “Kami masuk kandang singa,” bertutur Ali mengistilahkan kondisi lokap Balai Polis Puchong. Pemaparan itu diutarakannya kepada Listia ketika kami bertemu di kantor KPDN Petaling Jaya satu hari berikutnya. Ciut dan kecut hatiku tak bernyali. “Hitam-hitam,” lirih Ali berkata; menyiratkan rasa ngeri. Walau kulitku hitam, tak sedikit pun aku terganggu oleh ucapannya. Yang dia maksudkan tentu tahanan-tahanan etnis India berkulit gelap dan bertubuh kekar yang pada saat itu memandangi dan ramai-ramai meneriaki kami sambil berdiri di balik jeruji. Semua mereka bertelanjang dada. Beberapa di antara mereka hanya mengenakan celana dalam segitiga. Ada juga yang memakai kolor bola longgar. Katok lobok itu menggantel di zakarnya. Ali – mewakili kami – mencoba bernegosiasi dengan petugas KPDN, meminta agar kami ditempatkan secara terpisah dari tahanan lain yang bertampang seram dan terkesan kejam. Permintaannya ditolak. “Semua mendapat perlakuan sama,” jawab seorang petugas. Equal treatment of equals.

Sebelum meninggalkan lokap balai polis, berulangkali petugas KPDN mengingatkan kami untuk secara resmi menitipkan barang-barang berharga yang kami bawa kepada petugas kepolisian. “Jangan lupa sign,” ujarnya; mengingatkan kami untuk membubuhkan tandatangan pada resit; tanda terima.

“Jika kalian membawa barang-barang berharga seperti telepon bimbit dan uang, titipkan kepada polis.”

“Kami titipkan sama Abang sajalah,” usul Ali. Aku mendukungnya.

“Terlambat. Mestinya dari tadi,” jawab petugas KPDN menolak permintaan kami.

Petugas kepolisian Balai Polis Puchong yang mendata barang-barang titipan kami sebetulnya orang baik dan ramah. Sempat pula dia bercanda mengatakan bahwa kami tentu telah jadi jutawan karena bekerja di Malaysia; dia bilang uang ringgit terlalu tinggi buat rupiah Indonesia. Meski demikian, ia sempat membuat kami terkejut ketika memberi perintah satu-kata kepada kami dalam intonasi yang sesungguhnya tidak terlalu tinggi. Kata itu adalah, “Duduk!” Sewaktu kata itu diucapkannya, aku langsung lihat kanan kiri muka belakang mencari kalau-kalau ada sesuatu yang dapat kududuki; karena di ruangan itu hanya tersedia kursi untuk sipir. Inilah pelajaran pertama yang kami peroleh dan diterapkan selama menjalani masa tahanan. Tiidak satu kaki kursi pun disediakan untuk tahanan. Akhirnya, berempat kami duduk lesehan di lantai dan menyandar di dinding. Aku yang memberi contoh berbuat secara demikian. Mulai saat itu, celana bersih bergosok rapih yang tadi siang kupakai shalat Jum’at di mesjid besar Batu Enam, Petaling, kotor bernajis.

“Apa pekerjaanmu?” bertanya dia kepadaku ketika mengamati kartu Surat Ijin Mengemudi milikku.

“Di sini?” balik aku bertanya.

“Di Indonesia.”

“Pekerja konstruksi.”

Usai pendataan barang-barang titipan, kami diperintahkan untuk membuka pakaian bagian atas. Sepatu dan tali pinggang juga harus dilepas. Kemudian baju dan tali pinggang disimpan dalam loker kandang merpati yang berada tepat di belakang meja sipir. Sedangkan sepatu ditaruh di tempat penyimpanan sepatu dan sandal yang ada di ruang sempit di sebelah utara. Sebelum masuk sel, celana kami pun digeledah terlebih dahulu untuk memastikan tidak ada upaya penyelundupan sesuatu barang ke dalam lokap. Dan kini kami bertelanjang dada, percis seperti tahanan penghuni lokap lainnya.

Kami ditempatkan di sebuah lokap berukuran kurang lebih 15 X 4,5 meter. Terdapat enam bilik (sel) di dalamnya, masing-masing berukuran tak lebih dari 2 X 2,5 meter. Rangkaian sel-sel tersebut letter-L atau ╚═. Masing-masing sel dilengkapi dengan WC jongkok berikut pipa dan sebuah keran air di atasnya; tetapi hanya WC dalam Bilik 2 dan 4 yang berfungsi normal. Pintu-pintu sel dibiarkan terbuka tak berkunci. Di pojok baratlaut, Bilik 1 dihuni beberapa pesakitan India Malaysia. Barat, Bilik 2 dihuni tahanan-tahanan Cina Malaysia. Di depan Bilik 2, Bilik 3 dibiarkan kosong tak berpenghuni. Sel ini merupakan sel yang paling kotor, selalu basah dan bau.

Di sebelahnya, Bilik 4 disesaki oleh pesakitan yang mayoritas berkewarganegaraan Indonesia. Ada dua orang Bangladesh yang “numpang hidup” dalam Bilik 4. Kemudian Bilik 5 dihuni warga Melayu Malaysia. Sedangkan Bilik 6, yang merupakan sel di ujung timur, dihuni oleh orang-orang India-Malaysia. Namun sebagian besar tahanan duduk-duduk di luar sel; karena lima sel layak huni tidak memiliki cukup ruang untuk menampung seluruh tahanan yang jumlahnya overcapacity – kelewat banyak.

Kecuali satu dua yang kelihatan sibuk mondar-mandir, sebagian besar penghuni lebih memilih duduk-duduk dan tiduran berdesakan di lantai. Pernah lokap penuh sesak sehingga tak cukup tempat bagi semua penghuni untuk tidur membujur berjejal-jejal dalam waktu yang bersamaan. Harus ada yang mengalah atau kalah; tidak kebagian tempat. Bila haus menyerang, penghuni minum air langsung dari pipa yang berada tepat di atas lubang WC nan kotor dan pesing menyengat. Baunya menusuk hidung; langu menikam sampai ke ulu hati.

Berhubung baju tidak boleh dibawa masuk, maka tidur pun penghuni terpaksa bertelanjang dada di atas lantai nan lembab dan dingin tanpa alas punggung. Karena cara tidur yang tidak wajar, masuk angin dan salah urat merupakan hal yang biasa. Namun ada sebuah pemandangan yang kontradiktif. Para anggota geng rata-rata memiliki handuk dan kain selimut untuk alas tidur. Karena hak istimewa yang melekat, mereka diperbolehkan membawa serta kedua jenis sandang tersebut ke dalam lokap untuk dijadikan alas kepala dan alas punggung ketika tidur berbaring. Dan tentu saja handuk dan selimut juga bermanfaat sebagai kipas ketika badan gerah karena udara yang panas.

* * *

Kerja Paksa, Intimidasi dan Penyiksaan oleh Sesama Tahanan

Meski lokap Balai Polis Puchong dilengkapi dengan CCTV, tak urung kerja paksa, intimidasi dan penyiksaan oleh sesama tahanan berlangsung tanpa hambatan yang berarti. Karena posisinya yang lemah, tahanan warga negara asing sering menjadi mangsa yang rentan terhadap penyiksaan dan kerja rodi oleh sesama tahanan. Satu di antaranya adalah kerja paksa mengipasi tahanan lainnya. Bentuk kerja paksa yang paling umum adalah membersihkan wc, mengipasi sesama tahanan yang merasa gerah kepanasan, dan memijat.

Kipas-Kipas. Berdiri, pasang kuda-kuda, pijakan kaki kokoh. Kedua kaki mengangkang dengan jarak 30 cm. Kedua belah tangan memegang erat ujung-ujung handuk (kain), bergerak dari bawah pusat perlahan naik sampai setinggi ubun-ubun. Lantas tangan menghentak cepat mengibas kain ke bawah sehingga angin tercipta. Prosedur diulang. Kedua belah tangan yang memegang tegang rentang kedua ujung kain naik perlahan; dan setelah mencapai ketinggian ubun-ubun, menghentak keras ke bawah sehingga timbul efek sejuk. Proses diulang … seterusnya … dan seterusnya secara teratur. Pekerjaan ini dilakukan selama berjam-jam. Siang – petang – malam; bahkan hingga fajar menjelang. Tidak boleh rehat; tak boleh mengeluh; tak boleh terlihat loyo atau kelelahan. Bahkan, bermuka masam pun haram hukumnya. Tidak jarang sang juru kipas masih diwajibkan untuk menyanyikan lagu gembira meski – tentu saja – dengan hati lara.

Walau terlihat jelas di layar kaca monitor CCTV, sipir lokap cuek bebek, masa bodoh. Nggak open. Barangkali mereka percaya bahwa kekerasan dan penistaan dalam lokap adalah suatu kewajaran yang niscaya yang harus tetap terpelihara. Dan itu merupakan hiburan tersendiri bagi mereka. Kejam nian. Sementara itu, sewaktu jaga malam yang membosankan, sipir terlihat seperti orang kena sirep; khusuk duduk tertunduk terkantuk-kantuk, terbatuk-batuk, sekali-sekala kepalanya yang terkulai nyaris terantuk di sudut meja.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar