Selasa, 31 Maret 2009

Bagian Kedua; Mahkamah & Penjara

Bagian Kedua

Mahkamah & Penjara

Jumat 4 Mei 2007. Berkelentang suara pintu jeruji terluar lokap dibuka. Empat lelaki berseragam necis masuk ke bilik sipir. Nama kami – aku, Ali, Dio, dan Arman – berturut-turut disebut. Kami pun bergegas ke depan pintu. “Itu pegawai Imigresen,” berkata seseorang tahanan kepadaku dengan mata berkaca-kaca, “Kalian akan bebas.” Aku pun disalaminya. Kehadiran petugas imigrasi, berdasarkan pengalaman beberapa tahanan, adalah sebuah tanda berakhirnya masa tahanan untuk orang asing. Tapi dia keliru. Mereka yang datang bersafari hijau sepagi itu bukan petugas kantor imigrasi. Mereka adalah aparat KPDN yang akan mengantarkan kami ke fase dunia yang lebih baru. Mereka akan membawa kami ke hadapan sidang Mahkamah Sesyen Petaling Jaya.

Pagi-pagi sekali, aparat KPDN menjemput kami dari Balai Polis Puchong. Seorang penyidik bertanya apakah boss atau orang kantor kami tahu bahwa hari itu adalah hari persidangan pertama kami di Mahkamah PJ. Kami jawab kami tidak tahu soal itu. Mereka juga bertanya apakah kami ada menitipkan barang-barang kami pada petugas balai, kami jawab ada. Ketika kami hendak mengambilnya, petugas pemegang kunci lemari barang-barang titipan tahanan kebetulan belum datang. Belum banyak petugas kepolisian datang sampai waktu sedini itu. Karena waktunya mepet, pergilah kami jua ke Mahkamah tanpa membawa serta barang-barang yang kami titipkan di balai. Petugas KPDN meyakinkan kami bahwa mereka akan mengambil barang-barang kami dari balai dan menyerahkannya kelak kepada kami.

“Kalian ada sain?” bertanya seorang petugas KPDN tentang sebuah prosedur standar yang lazim ditempuh ketika kami menitipkan barang.

“Ya, kami tandatangan.”

Ada resit?”

“Tidak pada kami. Resit dimasukkan satu beg dengan barang-barang.”

“Semua menitipkan handset?”

“Ya.”

“Selain itu, apa lagi?”

“iPod,” menjawab Dio.

“Saya menitipkan katepe, IC Indonesia dan sebuah SIM – driving license,” kataku pula. Rebewesku waktu itu keluaran Polres Majalengka.

Satu hal penting tak penting menjadi catatan hatiku. Sepanjang perjalanan, berpanjangan petugas KPDN merasani aparat balai polis yang baru saja kami tinggalkan sebagai berperilaku koruptif. Tidak hanya sekali dua kali mereka membilangkan bahwa tiada jaminan apakah barang-barang titipan kami di balai utuh. Dan itu, kata mereka, sudah biasa.

* * *

Meski bersicepat dengan waktu, kendaraan berjalan dalam kecepatan rendah sampai sedang; sulit menyalip kendaraan-kendaraan yang berada di hadapan selama rush hours. Cukuplah satu jam waktu tempuh pagi itu untuk kami sampai di halaman Mahkamah Sesyen Petaling Jaya, Selangor Darul Ehsan. Begitu SUV yang kami tumpangi masuk halaman mahkamah, kulihat telah hadir Ray dan Pinky serta seorang lawyer. Seketika itu pula kuhela nafasku dalam-dalam untuk melepaskan sedikit beban perasaan yang membelenggu pikiran. Juga kulihat Listia telah datang bersama petugas KPDN yang menjemputnya dari Balai Polis Subang. Berdiri di samping mobil SUV tahanannya, ia pandangi kami dengan wajah pasrah dan pesimis. Penampilan dara itu buruk sekali. Baju lusuh dan rambut awut-awutan tak karuan seperti sarang manyar yang baru saja terhempas ke tanah karena dilanda badai. Satu minggu berlalu tanpa mendapatkan kesempatan untuk memoles penampilan, Listia kelihatan beberapa tahun lebih tua dari usianya.

Segera setelah turun dari SUV, kami berempat digiring masuk lokap mahkamah. Tak lama berselang, muncul Pinky di depan pintu jeruji dengan pengawasan sipir mahkamah. Ali menghampirinya; merapat pada jeruji. Perbincangan satu arah pun terjadi dalam Bahasa Mandarin. Pembicaraan berakhir kurang dari lima menit setelah sipir memerintahkan Pinky untuk segera keluar.

Setelah Pinky pergi, Ali mengabarkan bahwa Boss bertanggungjawab dan berjanji tetap akan membayar gaji kami selama enam bulan ke depan jika Mahkamah memulangkan kami ke Indonesia. Boleh jadi keyakinan boss didasari fakta bahwa kami telah melanggar permit kerja; dalam permit kami bekerja di sektor konstruksi, sedangkan pada kenyataannya kami kedapatan bekerja di bidang teknologi informasi. Orang bilang, deportasi adalah ganjaran yang sepadan bagi penyalahguna ijin kerja bila perkaranya sampai ke Mahkamah.

* * *

Dua orang petugas KPDN dan seorang sipir kini berada tepat di depan pintu lokap. Petugas KPDN menyebut nama-nama kami berempat dan sipir membukakan pintu lokap untuk mereka. Satu per satu kami datang mendekat dan, di dekat pintu, mereka memasang gari pada pergelangan tangan kami; berempat pada satu untai rantai. Lantas mereka menggiring kami keluar. Di halaman mahkamah, Listia dan pengiringnya bergabung.

“Itu boss kalian?” tanya seorang aparat KPDN ketika kaki kami melangkah menuju ruang sidang; yang dia maksudkan seseorang yang tengah berdiri di dekat ruang tunggu saksi. Ia adalah Ray. Kepenasaran petugas KPDN bertanya demikian barangkali dilecut oleh penampilan Ray yang tampak berwibawa dan tidak turut menyertai langkah kami. Ia hanya memandang kami dari kejauhan.

“Ya” jawab Arman. Kuamini dengan anggukan.

“Bukan,” pungkas Pinky, orang kantor yang mendampingi kami. Orang-orang KPDN hanya terdiam; tidak mendebat.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar