Selasa, 31 Maret 2009

Investigasi oleh Aparat KPDN

Investigasi oleh Aparat KPDN

KPDN lakukan olah tempat kejadian perkara. Tampaknya komunikasi antara polisi dan aparat KPDN serba canggung dan enggak nyambung. KPDN hanya mengolah lantai 2 (5-2). Sedangkan dua lantai lainnya yang merupakan bagian integral dari TKP dan banyak diacak-acak oleh polisi, 5-1 dan 5-3, tidak disidik oleh aparat KPDN. Oleh seorang petugas KPDN berbadan besar yang mengenakan piyama kombor warna hijau, tiap pintu kantor 5-2 ditempeli stiker dengan nomor berbeda: Bilik 1, Bilik 2, …, Bilik 5. Difoto. Pun kami berlima yang duduk berhimpitan di atas sebuah sofa tak luput dari jepretan kamera, tapi aku buang muka. Dengan seksama, mereka mencatat dan mencocokkan data-data yang tertera pada paspor kami. Mereka juga menginventarisir barang-barang yang hendak dibawa untuk dijadikan barang bukti. Tercatat empatbelas unit komputer berikut kabel, satu bundel besar hard copy berkas catatan manajemen, dan 170an VCD/DVD koleksi boss; dua keping diantaranya – menurut klaim pendakwa raya – merupakan hasil cetak rompak. Seingatku tak satu jua perangkat TV atau DVD player yang disita. Surat sita barang bukti ditandatangani oleh Arman. Kelak, ini – juga karena kelelahan fisik dan psikis – menjadikan Arman terguncang selama berada dalam tahanan.

Selama siasat, tak banyak pertanyaan yang mereka ajukan. Mereka hanya menanyakan nomor telepon pihak-pihak yang bisa dihubungi untuk kejelasan pengurusan kasus kami nantinya. Untuk urusan yang satu ini, kami serahkan sepenuhnya kepada Ali. Karena dia adalah pegawai yang paling dekat dengan boss dan orang-orangnya.

* * *

Kelar menginventarisir, mengepak, dan memasukkan barang-barang sitaan ke dalam dua buah SUV, pegawai KPDN memborgol kami. Namun sebelumnya, santun mereka haturkan, “Maaf. Ini prosedur yang harus kami lakukan. Kami harus menggari Anda.” Aku bangkit; berdiri. Kupaksakan bibir untuk menyungging senyum. Getir. Setengah hati, kukepal dan kuangkat kedua belah tanganku setinggi dada. Ternyata yang digari cuma sebelah.

Aku tersadar. Ternyata yang diborgol bukan hanya aku saja. Mereka memborgol kami semua. Berpasangan. Aku dengan Ali. Dio dengan Arman. Karena perempuan hanya satu orang, Listia mendapat perlakuan “istimewa.” Dia diborgol pada kedua belah tangannya.

Meski tak hendak menyoal lepasnya tiga perempuan Cina beberapa jam sebelumnya, aku ingin sampaikan klaim hasil kesepakatan antara juru runding kami Xeng dan polisi yang akan menahan satu orang sahaja; dan orang itu adalah aku. Sedangkan keempat rekanku sejatinya dilepas.

Biang kerok! Tiba-tiba badanku panas dingin. Tenggorokanku tercekat. Mulutku tersumbat. Kini aku tidak lagi memiliki kemampuan dan keberanian yang cukup prima untuk secara terbuka menyatakan apa yang sesungguhnya hendak aku sampaikan. Aku mati rasa. Kupandang keempat rekanku yang lain. Kami saling pandang. Ketika itu, ada suasana keputusasaan yang teramat dalam di antara kami.

Melangkah kami menuruni dua gugus anak tangga. Keluar. Sejenak kami berhenti. Aku menoleh ke belakang. Di bawah sorot cahaya remang, kubidikkan kedua manik mataku menyasar pintu masuk kantor kami. Kucermati, tak ada pita kuning dengan tulisan “DON’T CROSS POLICE LINE” yang dibentang menghadang ambang lawang. Mereka tidak menyegel the crime scene, tempat kejadian perkara. Kemudian kami yang lelaki diperintahkan masuk ke dalam sebuah SUV yang berada di tepi luar dekat selokan halaman parkir. Malam cukup tenang. Semua kedai dan pejabat telah tutup. Tiada jiran tetangga maupun orang lain di sepanjang Jalan Bandar Enambelas ataupun lahan parkir di depannya melihat kami diborgol dan digiring. Sementara itu satu-satunya perempuan dari tim kami, Listia, kutengok masih saja berdiri tegak di dekat pintu kantor. Ia sangat terpukul dengan peristiwa yang tengah dialaminya. Shock itu dipertajam oleh kenyataan bahwa tak ada perempuan selain dia yang ada di sana. Baik opas polisi yang menyergap maupun aparat KPDN yang menangkap kami semuanya berkelamin seragam: jantan. Listia di malam itu telah jadi noni semata wayang semenjak polisi melepas secara curang tiga perempuan pekerja Warga Negara Malaysia sebelas ribuan detik masa ke belakang.

Belum apa-apa, sebuah masalah kecil muncul ke permukaan. Aparat KPDN kebingungan mencari seseorang yang dapat diserahi kunci. Ali memberi saran kepada mereka untuk mengontak Jane. Dengan nomor pemberian Ali, KPDN kontak Jane untuk serah terima kunci kantor. Mana pula mau dia datang. Jane pasti menyangka panggilan untuknya mengambil kunci kantor adalah jebakan untuk menangkapnya. Lama kami tunggu dalam mobil SUV tahanan. Jane tak kunjung datang. Akhirnya kami, semua pekerja Indonesia, digelandang. Dan kantor kami ditinggalkan begitu saja dalam keadaan centang perenang tak berkunci dan tiada pula ada yang menjaga.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar