Selasa, 31 Maret 2009

Logistik

Logistik

Palang dada sepanjang sisi tembok selatan dan barat juga dijejali dengan barisan dan tumpukan gayung dan kole; penghuni menyelipkannya di sela-sela jeruji dan dari sebelah luar kaca tebal menghadang. Seorang penghuni rata-rata memiliki satu gayung dan satu kole. Akan tetapi, penghuni lama acap menguasai lebih dari itu; sedangkan di antara pendatang baru ada yang belum punya. Orang-orang yang disebutkan terakhir ini biasanya menunggu pemberian dari orang kerja atau mengharap belas kasih dari penghuni lama untuk berbagi.

Orang lama juga berperan aktif dalam pendistribusian penguasaan blanket – selimut. Jika nasib baik, setiap penghuni akan mendapat kain tebal warna biru atau hitam dengan tulisan Hak Kerajaan di sebuah sudutnya dari orang kerja sesaat sebelum dia masuk bergabung dengan Dewan-B. Tak jarang, banduan tidak mendapatkannya ketika masuk. Jika kasusnya demikian, orang lama – terutama banduan dari etnis dan/atau kewarganegaraan yang sama dengan banduan baru tersebut – mengupayakan bantuan darurat baginya untuk mendapatkan selimut.

Di Dewan-B, setiap banduan minimal menguasai satu helai blanket. Pukul rata, sebagian besar mempunyai dua helai. Ada juga yang punya tiga bahkan empat. Seorang banduan yang memiliki hanya satu helai blanket menggunakannya sebagai alas tidur. Jika ia memiliki dua, satu untuk alas tidur dan satu untuk selimut. Jika tiga, satu untuk alas, satu untuk selimut, dan satu lagi dilipat sedemikian rupa untuk difungsikan sebagai bantal alas kepala.

Sementara itu, yang memiliki kasur sungguhan ada empat orang. Mereka iaitu dua orang etnis India (“lurah” yang mengambil tempat di pojok timurlaut dan yang seorang lagi di sisi barat; keduanya 40an tahun), satu orang etnis Cina (60) di sisi selatan, dan satu orang Indonesia (Combat, sisi utara dan dekat sokoguru barat). Kasur yang disebutkan terakhir ini pernah dipakai oleh Mamat (25). Ketika Mamat naik mahkamah beberapa waktu sebelumnya, kepemilikan kasur itu berpindah tangan sebanyak tiga kali sebelum akhirnya jatuh ke tangan Combat (sekitar 28-30 th). Mamat sendiri kini tidak berkasur. Tilam itu telah robak-rabik. Supaya terlihat lebih bagus dan enak untuk ditiduri, Combat menyarunginya dengan blanket.

* * *

Piso inggris, silet, pisau cukur, razor blade; apapun namanya merupakan perkakas terlarang dalam penjara. Meski demikian, kami di Dewan B punya sebilah silet bermata tipis. Tajam dan serba guna. Seorang tahanan kerap menggunakannya untuk membentuk lidi sapu menjadi jarum jahit. Biting dilancipkan pada ujung depan dan disayat pada ujung belakangnya sebagai pengapit benang; agar benang dapat masuk terjepit. Sedangkan benangnya adalah serabut benang yang dicabut dari kain perca. Aktivitas jahit-menjahit, menambal, menyulam, dan menisik pakaian dan selimut koyak berlangsung cukup semarak. Sekali tempo kupinjam pisau cukur tersebut untuk membetulkan posisi perban yang membeliti sekujur tangan kiri Wiwin, seorang banduan asal Palembang. Kami juga punya sebatang peniti untuk membantu dalam berbagai keperluan penghuni.

Kuku menggunting kuku. Seorang penghuni lama mengingatkan bahwasanya berkuku panjang adalah sesuatu perkara yang terlarang dalam penjara Sungai Buloh. Beberapa penghuni lain pun mengamininya. Disiplin berkuku pendek dan besih selalu ditegakkan tanpa kecuali. Tanpa adanya peringatan pendahuluan, seorang sipir akan menghukum seseorang banduan hanya karena ia berkuku panjang. “Tak ada gunting kuku,” bukan merupakan jawaban yang dapat diterima oleh sipir penjara ketika memeriksa kebersihan kuku. Jangan pernah berharap bahwa sipir akan memahaminya. Karena tidak ada alat potong kuku yang memadai, dalam pelaksanaannya pekerjaan potong memotong kuku dilakukan ketika atau selepas banduan mandi. Caranya adalah kuku menyebit kuku. Kala itu, keadaan kuku lembek dan mudah terkoyak.

Rangsum makan dan minum dibagikan tiga kali sehari. Pagi: air hangat – seperti teh tarik – satu gayung mandi untuk lima orang tahanan; pada hari-hari tertentu mendapat tambahan bubur kacang hijau atau kanji (bubur beras). Ada dua jenis kanji (bubur beras murni dan bubur beras plus ikan bilis kecil). Hanya saja, penghuni lokap lantai 3 Blok Damai lebih sering mendapat air rebusan kacang hijau encer. Demikian pula halnya dengan kanji; lebih sering kami di blok Damai pada saat itu hanya mendapat rangsum air masin bau tengik tanpa nasi atau ikan.

Kecuali jika emosi ditafsirkan semata sebagai gejolak amarah yang meledak-ledak, keikutsertaan orang kerja dalam mendistribusikan rangsum kepada tahanan tergolong partisipasi tanpa emosi. Tanpa ekspresi mereka membagi-bagikan air rebusan kosong tak berisi untuk sarapan pagi.

Siang: nasi plus sayur dan lauk pauk. Sayur adalah sayur-mayur rebus nir-rasa seperti kangkung dan sejenisnya dan wortel; kuah diberikan tersendiri. Lauk pauk bervariasi dari hari ke hari. Masing-masing penghuni mendapat rangsum sepotong daging ayam lengkap dengan tulangnya atau sejumput cincang daging sapi tak bertulang atau ikan gembung satu dua ekor, tergantung ukuran dan ketersediaan. Daging ayam dan sapi direbus tanpa bumbu; demikian pula halnya dengan sayur-mayur, direbus. Sedangkan ikan gembung digoreng. Yang juga turut dibagikan secara teratur setiap waktu makan siang dan petang hari adalah kuah sayur lodeh atau kari. Karena berpantang mengkonsumsi daging sapi, tahanan etnis India mendapat daging ayam sebagai ganti. Ketika kami berada di Blok Tawekal, seorang Tuan etnis India bersorban khas Singh mengatakan bahwa perlakuan istimewa tersebut hanya diberikan keada India Malaysia; walau dalam prakteknya semua etnis India diperbolehkan memilih untuk mengkonsumsi daging sapi atau daging ayam menurut selera dan keyakinan. Disamping itu, tiap dua atau tiga hari, tahanan mendapat tambahan kentang rebus dan buah-buahan seperti sebiji pisang, sepotong semangka, honeydew (semangka madu), labu kuning rebus.

Petang: pada dasarnya menu petang hari sama dengan siang; perbedaannya terletak pada keragaman jenis belaka. Disamping itu, dua keping roti tawar beroles mentega plus sekeping roti rasa sebesar telur angsa dibagikan petang hari. Sebagian menyimpannya untuk kemudian dikonsumsi pagi hari berikutnya. Sering juga ada banduan yang kurang beruntung; mereka mendapatkan roti bantat kedaluarsa bau apak. Di luar kegunaan sebagai makanan, mentega punya banyak fungsi. Beberapa banduan memanfaatkan mentega sebagai lem perekat. Mentega juga berkhasiat sebagai bahan licin; sebagai minyak untuk mengurut. Disamping itu, mentega berfaedah sebagai lotion atau lulur yang mencerahkan penampilan dan warna kulit. Untuk air minum, semua orang tutupan di sini memanfaatkan air pipa mentah; kecuali untuk minum pagi hari.

Selain tiga waktu makan, penghuni kerap mengadakan acara makan minum sendiri dan berkelompok. Acara terselenggara berkat adanya lawatan keluarga. Ketika keluarga membesuk, tahanan berbelanja berbagai jenis kebutuhan hidup atas tanggungan pelawat. Tahanan yang mendapat lawatan selalu berbagi makanan dengan rekan-rekan terdekat atau kelompoknya; malahan, memberi penghuni yang berada di luar kelompok juga lazim terjadi. Aku termasuk cukup beruntung; kelompok-kelompok Melayu (Indonesia dan Malaysia), India, dan Bangladesh selalu memberiku makanan bilamana ada di antara mereka mendapat lawatan. Jamuan-jamuan khusus tersebut lebih sering dilakukan selepas Magrib dan ba’da Isya. Waktu itu, nuansa kekeluargaan kental terasa.

Biasanya kudapan berupa mie instan, bubuk kopi, bubuk susu, ketul gula semut, dan hablur gula putih diseduh dalam air dingin. Kecuali untuk bubuk susu yang mudah terlarut air, diperlukan waktu yang cukup panjang untuk menyeduh kudapan. Agar kudapan tercampur merata, seduhan diaduk-aduk, dikocok-kocok, dan terus-menerus dituangkan tinggi-tinggi dari dan ke dalam dua buah cangkir atau gayung di kedua belah tangan kiri dan kanan secara bergantian. Banyak tahanan yang berperilaku bagai gadis kecil; berpura-pura memasak – main masak-masakan – ketika menyeduh kudapan.

Di lokap Dewan-B, acara makan-makan di luar tiga waktu juga dapat terjadi karena orang kerja memberi rangsum dalam jumlah berlebih. Ketika senja hari orang kerja memberi catu berlebih, malam hari selepas Magrib atau ba’da Isya beberapa kelompok menyiapkan jamuan khusus makan bersama. Jamuan khusus juga diselenggarakan oleh kelompok-kelompok tertentu pada malam hari setelah ada tahanan yang mendapat lawatan keluarga di siang harinya.

Ketika seorang tahanan yang baru kembali dari lawatan membagi-bagi makanan, misalnya, banyak penghuni berkerubut mengantri menyongsong peluang untuk dapat mengudap walau hanya satu atau dua butir kacang arab (kacang atom, pilus); terlalu sedikit untuk pemuas selera. Syukur-syukur jika diri diberi segenggam. Tamba ngencés – lumayan buat obat penawar hasrat – agar di ambang sadar air liur tidak berketerusan mengalir di pinggir bibir. Mereka sangat-sangat merindukan makanan normal yang biasa dikonsumsi di dunia luar. Seteguk kopi encer dan dingin pun sangat mereka syukuri. Sebagai bentuk sportivitas di kalangan penghuni, peneguk terakhir biasanya langsung saja bersegera pergi ke kamar mandi untuk mencuci cangkir.

Dalam pada itu, tahanan yang belum jatuh hukum tidak mendapatkan catu untuk kebutuhan selain sarapan, makan siang, dan makan petang hari. Sementara itu narapidana yang telah jatuh hukum – berdasarkan penuturan sejumlah tahanan senior – dikunci dalam Blok Cekal yang bertempat di sebelah selatan dari Blok Ehsan. Mereka secara teratur mendapatkan tambahan jatah hidup seperti gula, kopi, susu, sabun, sikat dan pasta gigi, serta pakaian yang dibagikan beberapa bulan satu kali. Daging ayam untuk konsumsi mereka juga, katanya, ayam kodok; daging ayam tanpa tulang.

Letak lokap Dewan-B di Blok Ehsan cukup strategis; berada di pintu masuk koridor. Setiap banduan blok Ehsan yang mendapat lawatan keluarga pasti melewati koridor depan pintu Dewan-B. Sehingga penghuninya relatif lebih mudah dalam menghimpun bantuan. Beberapa penghuni lokap Dewan-B secara demonstratif teriak-teriak dan menadahkan tangan; ngebet meminta-minta pada setiap banduan yang baru saja mendapat lawatan keluarga. Kegigihan mereka ngécék – meminta-minta dengan memelas – untuk mendapatkan bantuan seperti itu dapat dianalogikan sebagai hasrat dari seorang perempuan hamil muda yang tengah mengidam. Bermuka tebal ia akan marah-marah kalau tak dibagi. Sudah barang tentu, hal ini mempermalukan penghuni lain dalam lokap. Bak primata di taman margasatwa. Mereka teriak-teriak dan secara demonstatif mengulurkan dan menadahkan tangan kepada setiap primata lain yang berlalu lalang mencangking bekalan makanan; merendahkan diri untuk dikasihani.

Meski demikian, usaha mereka kerap membuahkan hasil. Dari dalam kantong keresek warna kuning pucat, banduan yang mendapat lawatan memberi makanan, terutama mie instan, dan barang-barang keperluan lain. Karena kasihan. Maklum, lokap Dewan-B adalah sel khusus yang diperuntukkan bagi orang sakit dan banyak orang cacat di dalamnya; kondisi fisik yang tampak tidak berdaya diharapkan dapat menerbitkan kemurahan hati dan perasaan suka memberi pertolongan dari orang-orang budiman. Atau boleh jadi mereka memberi lebih karena merasa risih dan gentar terus menerus diteriaki, “Bang … Bang … Bang” atau tegur sapa khas Bangladesh “Baya … Baya … Baya.”

Demikian pula terhadap orang kerja yang usai menunaikan tugas membagi-bagi catu makanan. Patah sayap, bertongkat paruh; tidak putus-putusnya mereka berusaha menyampaikan maksud. Setiap yang lewat dicegat sepencapai tangan menjulur. Mereka secara agresif teriak-teriak minta teh tarik, remah roti dan biskuit remuk yang masih menempel pada plastik bekas pembungkus, nasi, tengkorak ikan dan lauk pauk sisa lainnya.

Adalah seorang tahanan etnis Cina usia empat puluh lima dan bertubuh – maaf – bungkuk dengan punuk di punggung bilang kepadaku bahwa dalam pekerjaan apa pun selalu ada resiko masuk ke kandang besi; tidaklah perlu aku bersedih hati. Jika takut dirimbas ombak, jangan berumah di tepi pantai. Tiada henti bapak ayam – mucikari – tengah baya itu memberiku petuah untuk rela dijadikan tumbal oleh perusahaan dengan syarat, “Bilang sama orang kantor dan boss untuk memperhatikan keperluan makanmu selama dalam penjara.” Ia mengusulkan persediaan susu dan mie harus diutamakan dan kalau boleh tiada pernah terhenti. Saran seperti itu justru membuat perasaanku jengkel dan perih tiada tara; karena dia mengutarakannya ketika belum ada seseorang juga dari perusahaan kami yang datang membesuk sejak hari pertama aku masuk meringkuk di penjara Sungai Buloh.

* * *

Walaupun berada pada posisi terdepan, lokap Dewan-B merupakan sel terakhir yang mendapat pelayanan catu makan. Alhasil, penghuninya pun menyantap makanan paling akhir. Karena terakhir itulah, makanan biasanya tersedia dalam jumlah cukup berlimpah, meski dengan kualitas terendah. Orang kerja pun berbaik hati bersedekah memberi lebih. Sebagai contoh, di saat penghuni sel-sel lain di Blok Ehsan mendapat dua ekor ikan goreng, penghuni lokap Dewan-B mendapat lebih dari itu; empat sampai tujuh ekor! Daripada dibuang sayang, sisa-sisa makanan diedarkan sampai habis begitu saja kepada penghuni lokap Dewan-B. Begitu berlimpahnya rangsum ikan sehingga kerap para penghuni tidak dapat menghabiskannya sekaligus di waktu makan senja. Secara berkelompok sebagian penghuni lantas menambul sisa-sisa ikan sebagai teman minum di malam hari.

Begitu juga, kualitas kuah sayur untuk penghuni Dewan-B yang merupakan kuah sisa; sangat buruk dan tidak layak untuk dikonsumsi karena berpasir. Bak balam penikmat biji-bijian, aku kerap harus menelan pasir dan bebatuan kecil dari kuah sayur yang telah bercampur aduk dalam nasi. Makanan itu sangat membebani sistem pencernaan karena aku memang bukan burung pemakan padi-padian utuh. Sebetulnya, kejadian serupa bisa saja dihindari dengan mudah asalkan aku berhati-hati. Sewaktu orang kerja membagikan kuah, banduan dapat meminta orang kerja untuk tidak menuangkannya ke atas nasi, tapi pada cekukan yang ada di sebelahnya. Toh aku sering lupa. Akhirnya kejadian serupa selalu berulang. Tanpa siraman kuah sebagai biang rasa, semua masakan tak berbumbu itu selain seret di leher juga akan terasa teramat cemplang di lidah.

Nasi rangsum yang dibagikan seringkali masih berupa nasi detus (nasi yang belum tanak betul). Demikian juga halnya dengan ikan goreng dengan mutunya yang inferior. Ikan gembung basah yang sudah tidak lagi segar, tidak dicuci bersih. Digoreng setengah matang lalu diangkat dari kuali dengan penanganan yang kurang hati-hati sehingga banyak kepala terlepas dari badan dengan duri berserabutan. Jika dikonsumsi, gatal di tenggorokan; kurang lebih seperti tertelan miang jelatang kurasa selagi berulam daun kemangi dan pucuk sintrong. Kadang-kadang aku juga pancingan dibuatnya. Dapat dipastikan, selepas makan ikan goreng petang hari, tiada lagi keheningan sepanjang malam. Ledakan-ledakan suara batuk kambing dan bersin kuda memberondong sahut menyahut seumpama letupan-letupan mercon menjetis yang mengiringi kirab barongsai pada perayaan hari besar Cheng Beng (Bersih Terang) di bulan ketiga tarikh Imlek. Karena alergi, beberapa jam setelah ikan gembung goreng aku séntap, belahan kiri bibir atasku jeding bak disengat lebah. Kejadian itu beberapa kali kualami. Karena makan ikan pula suaraku terkadang jadi serak dan kerongkongan perih dan sakit ketika berbicara.

Berita baiknya: semua makanan tersaji dalam keadaan bebas rambut. Tak sekali pun aku mendapati helai rambut pada nasi, sayur, maupun lauk pauk. Itu dikarenakan setiap juru masak dan pendistribusi makanan semuanya lelaki berambut cepak.

Secara umum, menu memenuhi standar gizi untuk survive; terbukti orang kerja yang mayoritas terdiri dari orang lama memiliki tubuh yang berisi dan sehat. Tapi tak mengindahkan kaidah kesehatan dan tentu pula tak ada tempat bagi estetika. Tepuk dada, tahan selera. Mayoritas banduan juga tidak peduli dengan norma-norma kesehatan. Makanan dan kudapan yang sewaktu dibagikan terjatuh ke lantai kotor berkuman pun dilélés – dipungut. Dalam pada itu, lama aku merenung. Ada apa denganku? Pasti ada yang salah. Mengapa kian hari kian lahap dan nikmat rasanya aku makan di penjara. Bahkan lauk pauk jatah Raja namun tak disentuhnya pun ditanggung ludes; kubabat, kugiling, kulumat, dan kutelan habis tak bersisa. Aku tak tahu apa yang telah merasukiku. Makan aku sampai penuh sehingga berasa sesak di perut. Ya Allah! Inikah yang disebut sebagai adaptasi sempurna terhadap lingkungan baru?

* * *

“Satu, makanan. Dua, tembakau. Dua perkara ini dapat memicu perkelahian dan pertumpahan darah. Salah-salah, nyawa bisa melayang. Berhati-hatilah,” ujar Jaya Raj lelaki India bergoreskan rajah Liza & Kaml pada pangkal lengan kanannya. Pesan Jaya Raj lugas menjelaskan betapa tembakau telah menjadi semacam komoditas yang diminati dalam penjara, selain karbohidrat dan protein tentunya. Kecakapan Anda sangat tergantung pada sejauh mana Anda mampu untuk menguasai tembakau. Tembakau adalah besi berani yang memikat. Pesonanya tak tertandingi. Bagai dalam permainan ceki, tembakau adalah wild card – kartu joker – yang dapat digunakan untuk tujuan apa saja. Memiliki tembakau berarti raja. Penghuni lainnya menghamba. Tak sedikit yang menjilat. Karenanya, Anda terpaksa melakukan apa saja; termasuk mengesampingkan suara nurani Anda. Pada umumnya, jalan masuk tembakau ke dalam penjara Sungai Buloh adalah melalui lambung para banduan yang baru pulang dari naik mahkamah. Ada juga tahanan yang menempuh jalan lain.

Seorang tahanan cacat kaki, misalnya, menyelundupkan tembakau dalam jumlah yang sangat signifikan disela-sela lipatan perban pembalut pekung – luka kudis – di kaki yang membebat rapat dari ujung-ujung jari kaki sampai lutut. Keberaniannya yang luar biasa nekat itu sangat mencengangkan. Membawa tembakau masuk serta ke dalam penjara itu sama bahayanya dengan membawa sesuatu pesan rahasia melintasi wilayah dan garis pertahanan musuh dalam keadaan perang. Menyelundupkan tembakau dan obat-obatan terlarang ke dalam penjara adalah sebuah pelanggaran berat yang diatur dalam udang-undang penjara; berat hukumannya. Berkah bagi dia, ada penghianat musuh dalam lokap mahkamah yang agresif berniaga tembakau. Beruntung pula nasibnya karena dua orang petugas pemeriksa barang-barang bawaan menjadi lengah dan terkecoh oleh penampilan wajah sendunya ketika berpura-pura menahan rasa sakit tak terperikan.

Karena faham bahwa sakit dan sedih secara alamiah bersifat menular, maka tahanan itu secara profesional mampu mendatangkan keuntungan yang lebih besar bagi dirinya – menggunakan penyakit sebagai jalan untuk membuat cikgu percaya dan merasa iba kepadanya. Itulah salah satu dari sekian banyak keunggulan seseorang yang punya pengetahuan secara mencukupi dan keberanian secara memadai untuk mengambil resiko dalam banyak situasi sekalipun di masa-masa paling rentan dalam kehidupannya. Seandainya petugas pemeriksa barang bawaan memerintahkan penjahat berkudis tersebut untuk membuka perban pembalut kakinya, niscaya mereka akan menemukan berketul-ketul tembakau terselip di tengah-tengahnya.

Dalam beberapa kesempatan, tahanan membarter tembakau dengan roti, gula, susu, kopi, vitamin dan obat-obatan medis. Sekali masa ada juga cikgu berbaik hati memberi puntung atau bahkan sigaret utuh kepada banduan yang dikenalnya dengan baik; secara sembunyi-sembunyi. Jika Anda punya tembakau, apapun yang Anda butuhkan dan inginkan dalam penjara akan segera terpenuhi; karena banyak orang bersedia berbakti untuk Anda. Jika tak punya tembakau tapi menginginkannya, Anda masih punya peluang untuk mendapatkannya. Salah satu cara yang juga lazim dilakoni adalah mengumpulkan obat-obatan medis. Caranya? Ikut rawatan medis. Pulang dari rawatan, sisihkan beberapa tablet dan kaplet, kumpulkan bersama beberapa rekan satu nasib dan satu kepentingan. Kemudian, mintalah bantuan orang kerja untuk menjadi perantara dalam negosiasi barter obat-obatan medis dengan tembakau antar sel dan lokap. Bila tak ada orang kerja tetapi Anda tetap ingin melakukan transaksi dengan sel-sel tetangga, gunakanlah bandring (pengumban tali). Sebagai talinya, nyunyut (tarik-tarik) dan pilinlah plastik bekas pembungkus roti dan sambung-sambunglah sepanjang yang diperlukan. Kemudian, ikatkan seketul batu pada ujungnya sebagai pemberat agar bandring lebih mudah dikendalikan. Di sebuah lokap lantai tiga Blok Damai, batu untuk pemberat mereka dapat dengan mencongkel muka lantai yang rusak. Gunakanlah bandring tersebut sebagai alat bantu yang menghubungkan ketika Anda bertransaksi tembakau dan obat-obatan dengan tahanan-tahanan yang berada di sel-sel tetangga.

Kulit kayu manis bekas bumbu kuah sayur termasuk salah satu pusaka bermutu yang dicari dan diserbu oleh pecandu; dikerik atau dicincang tipis kecil-kecil selagi masih basah, dijemur, dan dijadikan bahan rokok pengganti tembakau. Bila ada, daun salam dan batang serai pun oke; rimpang lengkuas, jahe dan kunyit juga berguna sebagai substitusi daun tembakau. Apalagi buah pala dan bunga cengkeh; terlalu seksi untuk diabaikan. Tiada rotan, akar pun jadi. Dari orang kerja, Combat menerima sepotong kulit kayu manis sepanjang dua buku jari telunjuk. Ditimang-timang untuk menaksir bobotnya. Diciumi bak kekasih. Dielus-elus. Setiap sudut dan lekuk diamati.

* * *

Kebutuhan penghuni akan air selalu terpenuhi lebih dari sekedar kata cukup; karena di kamar mandi air pipa menggelontor deras dan siap digunakan untuk berbagai keperluan. Akan tetapi ada juga masanya ketika pasokan air terhenti selama dua hari berturut. Akibatnya kami mengalami keterbatasan air yang kronis. Agar air tidak kosong sama sekali, pihak pengurusan penjara memberi jatah dua ember @ empat puluh liter sehari untuk satu lokap dan penghuni harus mengambilnya sendiri dari bak besar penampungan air. Untuk Blok Ehsan, bak besar air itu berada di dekat sayap utara. Buruknya persediaan air memaksa penghuni memberlakukan aturan yang sangat ketat dalam penggunaannya. Waktu itu adalah waktu pertama kali dalam hidupku aku belajar bersuci mengambil air sembahyang dengan hanya menghabiskan air kurang dari satu kole; ternyata cukup dan aku berhasil. Selama dua hari itu tak ada penghuni yang mandi. Ketiadaan air dalam kurun sesingkat itu telah menyebabkan kualitas sanitasi jatuh. Air seni di toilet tidak disiram sebagaimana mestinya sehingga pesing menusuk. Sengatan tinja dan urin yang menguap tercium tajam membuat sulit bagi kami penghuni sel untuk bernapas.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar