Selasa, 31 Maret 2009

Menghianati Kawan Berbagi

Menghianati Kawan Berbagi

Selain Mamat dan Combat, Wiwin adalah seorang kawan selama di Dewan-B. Perkenalanku dengan Wiwin terjadi ketika kami masih sama-sama berada di lokap Balai Polis Puchong. Hanya dalam hitungan menit, ia telah menjadi bintang di lokap Balai Polis Puchong. Wiwin merupakan salah seorang tahanan yang keberadaannya mudah dikenali. Tangan kiri dibebat perban dari bahu sampai pergelangan, telapak dan punggung tangan. Tulang pangkal lengannya patah. Yang juga membuat Wiwin cepat terkenal adalah karena faktor nama yang disandangnya. Nama resminya adalah Alamsyah Razak. Sementara itu, sipir balai menyebutnya dengan Rojak. Dalam Bahasa Malaysia, rojak berarti rujak dalam bahasa kita. Jadilah Rojak sebuah pusat perhatian bagi seisi lokap; apalagi banyak tahanan lokap Balai Polis Puchong mengolok-olok nama tersebut.

Sering Wiwin dan aku berbagi cerita. Sejak awal, komunikasi kami adalah komunikasi wajar tanpa warna pendahuluan yang mengintimidasi dari satu pihak kepada pihak lain. Dan Wiwin masuk Sungai Buloh sekitar empat atau lima hari di belakangku. Rabu 23 Mei 2007 pagi, Wiwin dijadwalkan untuk menjalani perawatan di sebuah rumah sakit luar penjara. Lebih dari tiga minggu sejak ia ditangkap oleh satuan kepolisian Balai Polis Puchong, pangkal lengan kirinya yang patah belum mendapat perawatan dalam bentuk apa pun jua, kecuali dibebat perban.

Saat ia berjalan di koridor penjara bersama dengan beberapa banduan lain yang juga akan rawat jalan di rumah sakit, seorang sipir memberitahu bahwa ada pelawat untuknya. Sipir mengajukan pilihan: Mau menjalani rawatan luar atau menerima lawatan. Wiwin memilih jumpa istilah untuk kunjungan banduan.

Ketika melawat, pembesuknya berjanji untuk mengusahakan uang jaminan sebesar RM 12.000. Sumber pembiayannya dari istri Wiwin sendiri yang berada di Palembang. Ia berencana mengirim uang untuk keperluan tersebut. Usai lawatan, Wiwin segera menyampaikan berita baik itu kepadaku. Dia bilang ia akan dijamin. Meski demikian, sering pula kulihat dia melamun. Kadang-kadang dia bilang padaku bahwa dia ragu apakah memang ada yang mau menjaminnya atau tidak, mengingat duabelas ribu ringgit bukan jumlah yang sedikit. Jika istrinya punya sebahagian, siapa pula yang bersedia menutup kekurangannya? Selain itu, Wiwin juga bercerita bahwa ketika lawatan, ia bertemu dengan kawan satu-kasusku, Arman.

Sabtu 26 Mei 2007, orang kerja memberitahu Wiwin untuk tumpang. Itu berarti bahwa Wiwin akan dijamin pada Senin 28 Mei. Hanya saja dari tiga orang, cuma Wiwin yang akan dijamin. Bertiga mereka baru akan naik mahkamah pada pertengahan Ogos 2007. Ketika meninggalkan Sungai Buloh, Wiwin mewariskan celana panjang putih dan selembar tikar sembahyang. Setelah aku keluar, aku memberikannya kepada Combat. Disamping itu, Wiwin menitipkan kepadaku sabun mandi dan selimut untuk diserahkan kepada Anton teman satu kasus dengannya. Wiwin bilang kepadaku bahwa Anton akan mengambilnya kelak ketika membuang sampah. Sebatang sabun pun kusiapkan dan kubungkus sebagai persediaan untuk diberikan kepada Anton kelak. Satu dua hari sampai seminggu berlalu tiada Anton muncul mengambil. Sementara persediaan logistik kami di Dewan-B kian hari kian menipis. Adalah sulit – jika masih memungkinkan – menarik batas-batas kepemilikan secara tegas ketika sebagian terbesar kebutuhan hidup penghuni tiada pernah terpenuhi. Tanpa sepengetahuanku, sabun persediaan untuk Anton dipakai oleh rekan-rekan lain. Demikian pula halnya dengan nasib selimut titipan Wiwin. Rekan-rekan lain di lokap Dewan-B menentang langkahku yang akan menyisihkan sebuah selimut untuk Anton.

Suatu ketika, rombongan Anton mendapat giliran berjemur di lapangan belakang lokap Dewan-A. Lokap Dewan-A sendiri letaknya di depan – dan bentuknya simetris dengan – lokap Dewan-B. Dari balik jeruji pintu baratdaya Dewan-A, Anton mencariku. Aku menemuinya dari balik jeruji pintu baratlaut Dewan-B. Ketika kami bertemu, Anton menanyakan kepadaku tentang sabun titipan Wiwin. Karena sabun dimaksud telah terlanjur habis terpakai, terpaksalah kudustai dia. Kukatakan padanya bahwa Wiwin tidak pernah menitipkan barang tersebut kepadaku. Betapa kecewa Anton. Tentu dia menyangka Wiwin, kawan satu kasus dengannya, telah membohongi dan mempermainkannya. Padahal, yang sesungguhnya berlaku adalah tak pandai aku memegang janji. Aku tidak dapat menjaga barang-barang yang diamanatkan oleh Wiwin kepadaku. Kepada Wiwin dan Anton, aku menunggak maaf. Mengenai selimut, baik Anton maupun aku tidak menyinggungnya sama sekali. Untuk menebus kekecewaan Anton terhadap Wiwin yang aku menjadi penyebabnya, ketika aku hendak keluar penjara, aku menitipkan celana pendek milikku kepada Combat untuk kelak diserahkan kepada Anton. Dan aku tidak tahu apakah celana pendek komprang titipanku itu pernah sampai ke tangan Anton atau tidak.

Banyak penghuni lokap Dewan-B hanya mengenakan kolor pendek komprang warna putih. Celana lobok tersebut menyilaukan dan membuatku sakit mata. Apalagi jika yang mengenakannya orang gila. Kerap aku harus menutup mata atau memalingkan pandangan bilamana secara tak sengaja – atau bahkan karena penasaran – sorot mataku menumbuk sesuatu yang sangat tidak elok dipandang; sesuatu yang menyembul dari dalam pipa celana yang tersibak. Dalam pada itu, sebuah gambar berpenampilan sopan dan beberapa potret kurang senonoh sobekan majalah dan koran yang ditempelkan pada dinding sisi utara lokap juga tak luput dari lirikan-lirikan nakal. Gambar perempuan-perempuan itu – bahkan yang sopan sekalipun – kerap memebangkitkan pikiran-pikiran mesum penghuni penjara. Mamat memajang dua helai gambar tanpa-bingkai. Potret tersebut adalah potret diri bersama istrinya yang diambil ketika Mamat naik mahkamah beberapa waktu silam.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar