Selasa, 31 Maret 2009

Tak Ada India Hindustan!

Pukul 8 malam, Senin 4 Juni 2007; “Tiga kosong tujuh kosong empat sembilan lima enam! … Tiga kosong tujuh kosong empat sembilan lima enam naik mahkamah! … Empat sembilan lima enam siap-siap naik mahkamah!” berteriak orang kerja asal Indonesia dari depan pintu lokap menyebut nomorku; mengatakan aku harus bersiap-siap untuk naik mahkamah keesokan harinya.

* * *

Tak Ada India Hindustan!

Selasa 5 Juni 2007. Tidak seperti ketika aku masuk duapuluh lima hari sebelumnya sewaktu kusalami setiap orang, kini kutinggalkan sel Dewan-B tanpa jabat tangan perpisahan. Sebelum aku pergi, kuserahi Combat amanah untuk kelak memberikan celana pendek putihku (yang ketika itu masih dipakai Raja) kepada Anton. Aku hanya mengenakan satu stel sandang – celana panjang hitam, celana dalam Master, t-shirt warna putih buatan penjara, dan sandal jepit Penjara. Sikat gigi pendek Penjara juga akan kubekal sampai di Blok Tawekal; panjang gagang sikat itu hanya sekira sepertiga dari gagang sikat yang biasa diperjualbelikan di dunia bebas. Selebihnya – baju hijau kotak-kotak lengan panjang yang saat itu telah cabik horizontal sepanjang sepuluh senti di punggung, celana panjang mori putih produksi penjara, sajadah (celana dengan pinggang berkolor dan tikar sembahyang itu pemberian Wiwin), handuk kecil, t-shirt tebal berkerah warna oranye hasil penukaran ketika orang kerja melakukan transaksi tembakau antar blok beberapa minggu ke belakang, dan sisa odol Colgate – kutinggalkan begitu saja untuk dipakai Combat. Sebelumnya, Combat juga pernah kuhadiahi secarik celana dalam buatan penjara yang masih baru dan belum pernah kukenakan. Dua helai blanket tebal bertuliskan Hak Kerajaan harus kutinggalkan di Dewan-B karena pengamanan ketat telah mencegah sesiapa juga dari membawa serta barang-barang milik penjara keluar dari blok masing-masing.

Pagi-pagi sekali, segenap tahanan yang akan naik mahkamah pada tanggal 6 Juni telah dikumpulkan di lokap Dewan-A setelah sebelumnya mendapat rangsum makan pagi berupa setengah butir telur asin, lima keping biskuit, dan secangkir teh tarik. Kemudian, penampilan setiap orang diperbaiki; rambut, jenggot dan kumis dicukur rapi atau dibabat habis; orang kerja yang melakukannya secara borongan dengan ketam listrik. Dan ketika matahari telah mendaki sampai hampir ke puncak langit di atas kepala, semua tahanan digiring keluar dari blok Ehsan. Sementara itu, riuh rendah tahanan yang tengah berjalan dalam barisan menyedot perhatian segenap penghuni lokap Dewan-B. Satu diantaranya adalah Combat. Dari sela-sela jeruji pintu kiri lokap Dewan-B, tangan Combat mencegatku. Ia membekaliku dengan setumpuk kertas tambahan yang memuat banyak nama dan alamat – termasuk nomor telepon dan alamat e-mail – rekan-rekannya selama berada dalam tahanan. Ketika kusimpan, penuh satu kantong celanaku karenanya. Ia berpesan agar aku menjaganya dengan baik karena suatu saat nanti ia akan menemuiku untuk mengambilnya.

Setelah itu, berangkatlah aku menuju Blok Tawekal bersama dengan rombongan tahanan lainnya yang akan naik mahkamah untuk tumpang; menumpang satu malam sebelum digiring naik mahkamah. Sesampainya kami di Blok Tawekal, bertimpa-timpa kole menggunung dalam jumlah yang sangat banyak telah menyongsong kehadiran kami. Tanpa ada yang memerintah karena penghuni lama sudah terbiasa, setiap orang mengambil sebuah kole untuk mendukung keperluannya selama satu malam ke depan berada dalam lokap Blok Tawekal. Kemudian, sambil berjalan dalam barisan, tahanan menyerahkan Kad Bilik milik masing-masing kepada beberapa petugas yang mencegat pada sebuah meja pendataan. Seorang Tuan etnis India bertanya apakah ada pasien penyandang sakit jiwa yang terikut dalam rombongan tahanan. Sesaat kami hanya saling pandang untuk selanjutnya beberapa orang berkata, “Tak ada, Tuan.” Kemudian kami masuk ke dalam sebuah lokap.

Paling tidak ada enam buah lokap berukuran besar yang disediakan untuk menampung tahanan tumpang yang akan naik mahkamah keesokan harinya. Rombongan dari Blok Ehsan masuk ke dalam lokap paling timur dan menghadap selatan. Ketika rombongan kami masuk, keadaan lokap masih kosong tiada berpenghuni. Dan seperti biasa, hal pertama yang dilakukan oleh tahanan ketika masuk sebuah lokap baru adalah mencari-cari tempat kosong yang berasa nyaman untuk diduduki. Rombongan-rombongan baru datang kemudian secara bergelombang dalam interval satu sampai satu setengah jam hingga sesak juga lokap yang kami diami ketika hari menjelang malam.

Selain menyerahkan Kad Bilik, sebuah aktivitas penting lainnya selama tahanan berada di Blok Tawekal adalah pengambilan sidik jari. Ketika itu, setiap orang masuk dalam barisan sesuai dengan nomor urut panggilan. Sesampainya di meja pelayanan, tahanan diwajibkan menyebutkan nama dan nomor banduan untuk kemudian – di bawah pengawasan ketat Tuan dan dipandu oleh dua orang petugas lainnya – membubuhkan sidik jarinya pada Kad Bilik masing-masing.

Dalam pada itu, rangsum makan siang dibagikan selepas waktu shalat lohor. Ketika itu, Tuan etnis India bertanya apakah ada yang mendapat perlakuan menu makanan spesial; maksudnya menu yang diperuntukkan bagi tahanan penyandang penyakit tertentu seperti diabetes. Kami pun menjawab, “Tak ada.” Saat rangsum makan senja hari hendak dibagikan, aku mencatat sebuah peristiwa yang sebetulnya biasa-biasa saja, namun tiada salah jika ini kusampaikan. Menu senja itu adalah daging sapi. Seperti biasa, daging sapi tidak termasuk menu yang disediakan bagi tahanan etnis India. Sebagai gantinya mereka selalu mendapatkan sepotong daging ayam.

“Ada India?” bertanya seorang Tuan etnis India.

“India ada,” jawab seorang tahanan berwajah India.

“India Malaysia. Kau India?”

“Ya, Tuan, India.”

“India Malaysia bukan?”

“India Hindustan.”

“Tak ada India Hisdustan! Hanya India Malaysia makan ayam. India warga asing tak dapat ayam,” menjelaskan Tuan kepada tahanan.

Namun Tuan – pada ketiak kiri sebatang tongkat komando dikempit – tidak berusaha mencegah ketika “India Hindustan” turut mengantri untuk mendapatkan rangsum lauk sepotong daging ayam dengan ukuran lumayan besar menurut kelaziman penjara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar