Selasa, 31 Maret 2009

Kelakar si Pencuri Periuk

Kelakar si Pencuri Periuk

Peter, seorang banduan etnis India, kerap menjadi bahan tertawaan dan olok-olok beberapa banduan. Sebetulnya, aku tak tahu persis mengenai kasus kriminal yang membelitnya. Tapi dengarlah penuturan seorang banduan lain tentang Peter. Alkisah ini didedahkannya justru di depan mata Peter.

“Di sebuah medan selera suatu pagi,” demikian ia memulai ceriteranya, “tersebutlah seorang juru masak tengah sibuk menyiapkan hidangan untuk jualan pagi itu. Sayur, daging, ikan, dan udang telah masak. Beberapa langganan setia telah mulai berdatangan. Semua lauk pauk telah dihidangkan. Akan tetapi, betapa terkejut juru tanak bangsa Cina itu demi mendapatkan periuk nasi berikut isinya telah lenyap dari tempatnya. Dia tanya sana sini, tak ada yang tahu. Hebohlah restoran itu. Periuk hilang! Kehebohan di kedai nasi membuat orang-orang yang berlalu lalang menyempatkan diri untuk merubung. Nah, salah seorang dari mereka, seorang penyapu jalan, memberi tahu khalayak yang ramai berkerumun bahwa belum lama berselang ia melihat seseorang menjinjing sebuah periuk dengan tergesa-gesa ke arah tasik dekat sana. Tanpa buang masa, sang koki – diiringi oleh beberapa orang penduduk dan pelanggan – segera bergegas mengayunkan langkah panjang untuk memburu si pencuri periuk ke arah kawasan air yang dimaksud. Benar saja, sesampai mereka di tepi danau, mereka tercengang demi melihat seseorang berbadan kecil sedang melahap nasi yang disudu langsung dari periuk pusaka. Marahlah mereka; digibal – dihajar – merekalah pencuri periuk itu. Nah, orang itu – si pencuri periuk – adalah Peter,” tutupnya sambil terkekeh.

“Bohong itu!” kata Peter kesal, namun ada garis senyum menghias bibirnya.

“Kalau kalian tak percaya,” potong si penutur cerita membela diri, “tanyalah Mahmud.” Kemudian dia arahkan pandangannya dan bertanya kepada seorang tahanan etnis India umur empatpuluh tiga bertubuh gemuk dengan postur kecebong. “Mahmud, coba kau ceritakan, apa kes Peter?”

“Curi periuk,” jawab Mahmud terkekeh.

“Kau dengarlah, Mahmud pun bilang kau curi periuk, hah! Apa perlu kutanya yang lain?”

“Bohong!”

“Kalian bayangkan lah. Bagaimana tak kesal hati koki Cina itu. Lauk pauk sudah siap, tahu-tahu periuk nasinya hilang. Marahlah orang yang mau makan.”

“Bohong! Jangan kalian dengar dia.”

“Mau bukti yang lain? Lihatlah Peter. Kepalanya jadi besar karena habis dipukul ramai-ramai, hah!”

Sampai di sini Peter tak dapat mematahkan olok-olok terhadap dirinya. Namun tak urung, ia memberi penjelasan. “Kepala saya seperti ini sejak dari lahir,” katanya sambil mengelus-elus kepalanya yang membusung seperti hydrocephalus; nonong berat-ke-depan dan relatif lebih besar secara tidak proporsinal terhadap batang tubuh dan anggota badan lainnya. Bekas-bekas luka meninggalkan pitak tak-berambut di beberapa bagian. Kakinya pun pitut sehingga ia gempor ketika berjalan. Tiada pernah permukaan tanah rata untuknya beredar. Kepala busung makrosefalik dan kaki pitut itu cukup sebagai prasasti yang dapat kubaca untuk menjelaskan betapa keras dan tidak mulus hidup Peter di masa lalunya. “Waktu saya lahir, Ibu Bapa saya menganggap saya tak akan hidup lama,” katanya pula. Serta merta kami semua lebih memilih sikap berdiam diri agar tidak membuat luka di hatinya bertambah parah. Husshhh, ada setan lewat (beberapa waktu berlalu dalam hening tanpa ada satu orang di antara kami berbicara; semua orang diam mematung).

Kemudian, untuk sekedar mengisi kekosongan yang ditinggalkan olok-olok atasnya, Peter bernyanyi. Lagi-lagi kawan Melayu itu berkelakar memberi komentar, “Jangan pula kau menyanyi lagu India. Kami tak faham ertinya. Siapa tahu kau menyindir kami. Kau bilang ‘Satu Melayu duduk-duduk melamun. Dua Indon jahit pakaian,’’” Dan Peter cuma pause sejenak untuk kemudian bersenandung kembali.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar