Selasa, 31 Maret 2009

Perlindungan dari Geng India; Jamu, Jamu

Perlindungan dari Geng India

Akhirnya aku berhasil menarik simpati Geng India. Sampai-sampai boss geng memintaku untuk memberi tahu dia bila ada seseorang tahanan lain memukul atau membuatku tidak senang. Lantang dia umumkan “Jangan ada yang coba-coba ganggu Pakcik!” Memang, nyaris semua tahanan India memanggilku “Pakcik” karena usiaku yang setengah baya, empat puluh empat tahun. Ia merasa perlu untuk mengeluarkan maklumat itu agar menjadi perhatian dari sebagian terbesar anggota geng yang bersifat menguasai dan mengganggu. Boss geng adalah orang yang sama yang gertakannya sempat membuatku ciut ketika pertama kali kami masuk lokap. Untung waktu itu Dio berhasil membujuknya. Simpati dan perlindungan itu sendiri sesungguhnya tidak kudapat begitu saja secara cuma-cuma tanpa pengorbanan. Ketika aku masuk, berulang-ulang ia bertanya padaku apakah aku bisa mengurut. Kubilang boleh. Usai aku shalat tahajud dua rakaat lewat tengah malam, kuurut-urut jari tengah tangan kirinya yang bengkok dan bengkak menggembung karena patah dan retak tulang di ruasnya.

Kecuali itu, seberuntung-beruntungnya aku, tidak pula berarti tiada tahanan yang memukulku. Siang-siang ketika aku duduk bertongkat lutut melamun mengenang-ngenang masa senang, sebuah hantaman tumit kaki tiba-tiba menohok telak pinggangku. Lumayan sakit kurasa. Adalah seorang tahanan etnis India berbadan sedang yang melakukannya tanpa sebab. Untunglah seorang anggota geng lainnya melihat kejadian itu. Dengan kemarahan yang tidak ia sembunyikan, ia membelalakkan mata, menggeleng-geleng kepala, menggerak-gerakkan tangan dan sekujur badan khas amuk Hindustan sebagaimana sering tergambar dalam film-film Bollywood; menegur dalam Bahasa Tamil yang tak kufaham. Barangkali dia mengingatkan sobatnya untuk tidak menyentuh tahanan yang berada di bawah perlindungan geng.

Boleh jadi aku dianggap terlampau lunak. Kalau saja waktu itu aku mengadu kepada boss geng perihal perlakuan buruk yang baru saja kuterima, tentu penyerangku akan mendapat ganjaran lebih dari sekadar sepadan darinya. Tapi, walau bermengkal hati, aku tak mau menabur benih permusuhan; tidak di sembarang kelas. Itulah satu-satunya pukulan fisik yang kudapat selama masa tujuh hariku menghuni Balai Polis Puchong.

Tidak kusia-siakan. Simpati dari geng India kumanfaatkan untuk melindungi rekan-rekanku. Bila ada seorang dari rekanku dipaksa kerja kipas-kipas oleh tahanan lain, kucegah. Aku yang maju menghadap, seakan-akan mau saja aku berlelah-lelah mengambil alih kerja rodi yang menyesakkan dada itu. Aku yakin Geng India akan melindungiku. Benar saja! Suatu ketika Dio diperintah oleh anggota geng Melayu untuk mengipasi mereka. Aku yang maju menggantikannya. Demi melihatku melakukan kipas-kipas, boss geng India menghardik tahanan yang kukipasi. “Carilah yang muda-muda!” bentaknya.

Suatu saat, nyaris pecah keributan antar dua geng – India dan Cina. Mereka bersitegang urat leher; ngotot berebut seorang juru kipas warga Nepal. Aku penyebabnya. Apa pasal? Sebelumnya, geng India meminta Suryanto – seorang juru pijat warga Indonesia – untuk memaksa Ali mengipasi Geng India. Kubilang sama Suryanto, aku mau menggantikan Ali; biar aku yang maju. Suryanto ragu. Aku yakinkan dia. Akhirnya dia setuju. Suryanto dan aku lantas datang menghampiri seorang anggota Geng India yang tengah berbaring telungkup di Bilik 6. Kepadanya kubilang kalau pijit oke, tapi kipas tidak.

Beberapa kali geleng kepala bolak-balik bak pendulum jam gantung antik, si India bilang “It’s okay.” Lantas dia bangkit mencari orang yang dapat disuruhnya kipas-kipas. Sementara itu dilihatnya dalam Bilik 1, juru kipas Nepal tengah bermandi keringat berkhidmat untuk Dino; boss Geng Cina. Tanpa basa-basi, geng India menyeret sang juru kipas. Di lain pihak, geng Cina bersikeras mempertahankan. Berlawan bak dua ekor dubuk jantan memperebutkan betinanya, mereka cekcok untuk mendapatkan sang juru kipas. Tak ayal, terjadilah perseteruan yang menjurus perkelahian antar-kelompok. Ketegangan akhirnya mereda setelah seorang sipir campur tangan.

Tidak hanya perlindungan fisik yang aku peroleh dari geng India. Jaminan logistik juga aku petik. Karena kurangnya pengawasan sipir lokap atas tingkah laku penghuni puri prodeo, banyak tahanan yang hak-haknya terabaikan dalam mendapatkan rangsum harian. Ada yang tidak kebagian nasi sama sekali; mereka kehilangan kesempatan untuk menghilangkan rasa laparnya. Ada yang mendapat nasi tetapi itu melulu nasi tok tanpa lauk pauk. Ada pula tahanan yang mendapat nasi dan lauk pauk namun tak pernah kecipratan rejeki sayur dan buah-buahan. Semua itu bisa terjadi lantaran tata cara pembagian rangsum makanan diserahkan sepenuhnya kepada geng. Karena aku termasuk orang yang dilindungi oleh geng, maka kupastikan jatah rangsumku – demikian pula halnya dengan hak teman-temanku – tidak pernah disunat.

* * *

Jamu, Jamu

Semasa aku masih berada di dunia bebas, satu bungkus jamu tradisional pengendali kadar gula darah produksi Indonesia selalu kubawa serta dalam saku baju atau celanaku kemana juga aku pergi. Tatkala aku kena jaring polisi, jamu berbentuk pill itu masih ada di kantong celanaku; karena waktu itu aku baru saja pulang sembahyang Jumat dan belum sempat menyimpannya di kamar tidur. Dengan demikian, jamu itu turut kubawa ke Balai Polis Puchong. Berhubung tidak boleh dibawa masuk ke dalam sel, jamu itu kini tersimpan di salah satu loker kandang merpati yang berada tepat di belakang meja sipir peronda.

Dalam pada itu, setiap kali selepas makan, aku minta bantuan sipir untuk membukakan pintu lokap untukku agar aku dapat mengambil tiga butir pill untuk kuminum secara rutin. Meski dengan muka agak masam, sipir selalu mengabulkan permintaanku; membukakan pintu untukku. Suatu ketika, seorang sipir muda usia enggan membukakan pintu lokap untukku.

“Tuan, saya mau minum obat,” kataku kepada seorang sipir; sesungguhnya tak pantas aku sebut dia Tuan karena usianya jauh lebih muda dariku. Orang bilang dia masih lajang tanggung yang baru sekali dua kali saja punya pengalaman mimpi basah; itupun tidak sampai kuyup. Untuk boleh punya pacar secara terang-terangan pun ia kayaknya belum sampai umur.

“Tak boleh,” jawabnya ketus; mimiknya serius.

“Mahkamah memperbolehkannya,” khabarku kepadanya. Mahkamah adalah sebuah karisma yang menggetarkan hati polisi muda itu. Maka, sudi tak sudi ia pun menyempatkan diri membukakan pintu lokap untukku.

Di lain masa, seorang sipir etnis Cina mengamat-amati kemasan pill diabetesku.

“Apa ini?” bertanya dia kepadaku.

“Obat diabetes,” aku menjawab.

“Seperti herba tradisional Cina. Berapa harganya?”

“Dua ringgit satu bungkus.”

“Jangan-jangan ini ganja,” katanya pula ketika melihat beberapa butir isinya yang kini tertuang di atas telapak tangan kirinya; dipijit-pijit dengan empu jari dan jari telunjuk tangan kanannya serta diciumnya.

“Tidaklah ganja semurah itu, Tuan,” kupatahkan kecurigaannya. Tak pelak, lokap riuh bergemuruh tawa sejumlah petugas dan tahanan yang menyimak perbincangan kami.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar