Selasa, 31 Maret 2009

Rasywah, Haram Hukumnya; Dicari: Penerjemah

Rasywah, Haram Hukumnya

Persis di seberang selatan dari bilik foto, dua buah papan poster menghias dinding. Sebuah poster tentang larangan rasuah bergambar seorang tahanan di balik jeruji baja gilig kimpal. Karikatur dan tulisan poster dengan huruf besar jelas menandaskan bahwa pemberi dan penerima suap (rasywah) sama-sama mendapat sanksi hukum yang berat. Segugus aksara dengan bahasa kulit putih mengingatkan tentang bahaya godaan uang. “Hanya beberapa ringgit dapat menjebloskan Anda ke dalam penjara,” begitu kira-kira bunyinya kalau kuterjemahkan ke dalam bahasa kita; peringatan keras bagi sipir yang coba bermain api – mengambil keuntungan pribadi dalam prosesi penerimaan banduan.

Tak dapat kupungkiri, di kala melihat atau mendengar kata “Rasuah” selalu saja aku teringat akan perlakuan diskriminatif polisi yang hanya menahan orang Indonesia dari perusahaan kami. Aku tak tahu apakah wang pelincir ikut bermain atas lepasnya tiga perempuan rekan kerja kami oleh satuan intelijen Balai Polis Puchong. Bisa saja, lolosnya mereka lebih karena faktor Xeng, juru runding perusahaan kami. Jaringan pengaruhnya yang menggurita dalam pertubuhan kepolisian membuatnya easily pick up the phone at the last minute and make things – abracadabra! – happen dengan atau tanpa sogok angpow uang tetek dari tuan berkantong tebal.

Tapi yang jelas, tak dapat aku bergeser satu jengkal pun dari keyakinan bahwa lepasnya tiga pegawai Warga Negara Malaysia berujung pada hilangnya peluang KPDN untuk mendérés informasi maha penting; karena garis informasi strategis pada semua bagian dari semua operasi perusahaan dalam semua rentang waktu ada di tangan mereka yang lepas. Adalah aparat intelijen Balai Polis Puchong and the gang yang telah membilasnya. Masing-masing orang punya cerita unik yang dapat disajikan secara menarik; dan tak akan aku sanggup merentang runding kalau polisi-polisi muda itu menyerok semua pegawai tanpa ada yang diperlainkan. Tidak warna untuk pembeda.

Sewaktu orang-orang KPDN tiba di tempat kami, ketiga pegawai inti telah berada di tempat lain yang sangat aman bagi mereka dari jangkauan aparat hukum; bahkan tanpa mereka menyadarinya. Jejak mereka – berikut sepenuh pengetahuan mereka yang mengagumkan tentang apa pun yang berkenaan dengan perusahaan – jadi segelap kesan ayam hitam terbang malam. Let it be. Masa bodoh amat! Apa peduliku?! Ada yang jauh lebih penting dari sekedar mempesona untuk kurenungkan: kapan aku bisa bebas.

Satu poster lainnya bergambar barang-barang yang tidak boleh dibawa serta masuk ke dalam penjara: obat-obatan medis, majalah atau koran, tembakau, ubat gigi, sabun, dan payung. Kelak setelah berada di dalam aku faham alasan tentang diharamkannya membawa barang-barang tersebut ke dalam penjara. Majalah dan koran, misalnya, tidak boleh dibawa masuk ke dalam penjara bukan karena pihak pengurusan penjara membelenggu orang tahanan untuk tidak mendapatkan berita terkini yang berkembang di dunia bebas. Pelarangan tersebut lebih dikarenakan sarana media cetak itu telah beralih fungsi. Kertas koran dan majalah di penjara berguna lebih sebagai kertas rokok.

Dicari: Penerjemah

“Ada Bangla yang boleh Melayu?” tanya seorang petugas setengah berteriak berulang-ulang kepada kerumunan banduan yang tengah duduk dan jongkok dalam barisan di sebelah selatan bilik foto. Langak-longok seperti burung unta ia mencari bantuan dari seseorang banduan asal Bangladesh karena saat itu ada seorang Warga Bangladesh yang tidak faham Bahasa Melayu maupun Inggris.

Acap petugas menghadapi kesulitan tatkala bersentuhan urusan dengan banduan yang tidak faham Bahasa Malaysia atau Bahasa Inggris. Untuk kasus seperti itu, petugas mencari bantuan dari banduan yang berasal dari negara yang sama. Bahkan kesalahfahaman kerap pula terjadi manakala petugas mendata banduan dari Indonesia yang notabene sama-sama berbahasa rumpun Melayu. Kata yang sama bisa memiliki arti berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar