Selasa, 31 Maret 2009

Countdowns to Freedom; Nasib Menggantung

Countdowns to Freedom; Nasib Menggantung

Sejak pertemuan terakhirku dengan Pinky dan Jane di bilik lawatan Kamis tanggal 31 Mei 2007, aku tak dapat menyembunyikan rasa gelisah. Bimbang hati aku dalam meyakini kebenaran berita yang pernah kudengar dari orang kantor; berharap Pinky tidak salah ketika memberi informasi bahwa boss akan menjamin kami berlima. Kuharap ia serius dengan ucapannya. Mudah-mudahan itu bukan sebuah pujuk empenak; membujuk dengan kata-kata manis sekedar untuk menyenangkan hati.

Dan karena denyut harapan untuk menghirup udara bebas begitu menggebu, sampai-sampai pikiran dan hatiku menjadi linglung; tak pernah mau diam. Taksiran jam demi jam perjalanan waktu menuju gerbang kebebasan pun tak lepas kuhitung dalam hati. Enam hari menjelang 6 Juni, misalnya, aku berucap, “Seratus empat puluh empat.” Senja harinya kembali aku berhitung, “Seratus empat puluh.” Kemudian, “Seratus tigapuluh dua.” Demikianlah seterusnya hitungan mundur kulakukan. Pokoknya, enam hari sampai satu hari menjelang tanggal 6 Juni 2007, tiada henti-hentinya aku berhitung; jari jemari di tangan dan kakiku juga turut dibuat sibuk karena hitungan gaya orang gemblung itu. Betapa semakin rajin aku menghitung semakin berat aku rasa ketika melewati waktu yang seolah-olah berjalan semakin lambat saja. Padahal, sesuai petunjuk seorang rekan dari Blok Damai sebelumnya, manteng memikirkan hanya rangsum makan terbukti sangat membantu meringankan perasaan dalam melewatkan hari-hari dalam kurungan.

Ternyata bukan hanya aku saja yang terus menerus menghitung mundur waktu naik mahkamah itu. Teman-teman di lokap Dewan-B pun diam-diam memperhatikan. Dari lurah, Kancil, Khaerul, Azhar, sampai Combat dan Mamat semuanya menghitung sisa hariku di penjara Sungai Buloh.

“Tiga hari lagi Uwak keluar dari sini,” berkata Combat padaku, membuka pembicaraan. Yang dia maksud uwak adalah aku.

“Empat hari,” kataku membetulkan.

“Tigalah. Tiga hari lagi Uwak keluar dari sini. Kemudian tumpang satu hari.”

“Ya, tapi kan tetap empat hari dari Sungai Buloh,” aku berargumentasi.

“Bebas, Wak?

“Tak tahulah. Orang kantor bilang kami mau dijamin.”

“Berapa uang jaminan?”

“Enggak tahu aku.”

“Aku yakin Uwak pasti bebas,”

“Doakan ya aku bebas.”

“Tentu, Wak. Tapi, jika tak ada Uwak, sunyi rasanya kami di sini. Tak ada orang tua,” berkata Combat seakan tak rela kutinggal. Salah satu perkara yang paling menyedihkan dalam kehidupan anak manusia adalah ketika berpisah dengan seorang sahabat. Kemudian, “Ada satu bulan Uwak di sini?”

“Tigapuluh tiga hari. Empatpuluh hari kalau yang di lokap balai polis ditambahkan,”

“Selama kita di sini, satu hari serasa lama. Tapi setelah Uwak nanti ada di luar,” ia menerawang, “satu bulan dalam penjara akan terasa sangat singkat. Dan Uwak pun akan segera melupakan penjara Sungai Buloh, termasuk kami semua yang ada di dalam sini.”

“Tentu aku tak mau mengingat-ingat Sungai Buloh,” kataku menanggapi komentarnya. “Terlalu pahit untuk diingat. Penjara membuatku letih dan payah lahir batin.”

“Kalau uwak bebas nanti,” berpesan ia kepadaku, “tolong kasih tahu keluargaku di Takengon.”

“Di mana?” aku bertanya.

Bersegera Combat menunjukkan kepadaku secarik karton manila (kertas tebal) ukuran 4 X 15,5 cm dengan satu sisi panjangnya keropes cuil-cuil tidak rata karena bekas sobekan kasar. Kertas itu telah ia persiapkan sebelumnya. Di atasnya tertulis tangan tiga nama dengan dua alamat dan dua buah nomor telepon – satu telepon rumah dan satu lagi telepon jinjing. Dua nama dengan satu alamat dan satu nomor telepon rumah yang dapat dihubungi adalah: Kamaruddin dan Rusudi penduduk Jl. Takengon Sp. Angkop Ds. Uning Kec. Pegasing Kab. Aceh Tengah – Takengon; nomor telepon 0643-221XX. Yang pertama jualan mie dan yang kedua jualan nasik. Mereka berdua adalah saudara tua seibu-sebapak dengan Combat. Sedangkan, “Nomor ini nomor telepon tetangga depan rumah,” imbuh Combat. Di atas manila bergaris itu pun tertulis “Dari Husni alias Combat.”

Nama ketiga yang juga harus kuhubungi sekeluarku dari penjara adalah seorang anak dara asal Langsa, Sely Hidayani; alamatnya tidak begitu jelas bagiku. Sebagaimana tertulis pada kertas, Combat menerangkan kepadaku bahwa perempuan itu mahasiswi sebuah akademi kebidanan di Medan dan tinggal di Binjai; dengan nomor kontak 08136243XXX.

“Khabar apa yang harus kusampaikan? Semuanya dan apa adanya?” kutitir dia dengan dua pertanyaan sekaligus; membuat dia berpikir sejenak sebelum menjawab.

“Ada rencana Uwak ke Aceh, enggak?” balik ia bertanya.

“Insya Allah, jika rencana tidak berubah, aku mau ke Takengon. Ada kawanku di sana.”

“Sama abangku Kamarudin dan Rusudi, bolehlah Uwak ceritakan apa adanya tentang aku.”

“Juga kuceritakan kalau Combat patah kaki sebelah?”

“Ya, ceritakan saja keadaanku apa adanya. Tapi jangan sampai ibuku dengar. Ibuku jantungan. Sudah cukup aku menyusahkan orangtua dan keluarga. Aku tak mau ibuku menjadi lebih menderita. Pandai-pandailah Uwak cari masa ketika bercerita tentang aku di sana nanti,” ia berkata dengan mata berkaca-kaca. “Tapi mengenai kasusku ……,” bimbang tergambar pada wajahnya, “katakan saja kalau aku didakwa jual-beli ganja,” berkata dia dengan suara berat. “Jangan katakan aku disyaki telah menculik.” Aku mengangguk. Ternyata ia merasa lebih terhormat disangka sebagai pengedar ganja ketimbang menculik. “Sedangkan untuk Sely di Binjai, katakan aku tengah mengemban misi khusus di Myanmar. Jangan bilang aku di penjara.”

“Tak ada lagi?”

“Oh, ya, sama Sely jangan Uwak bilang aku Combat atau Husni. Tak kenal dia. Bilang saja dari Andry. Salam dari Andry.”

“Andry?”

“Andry. Setahu Sely, aku Andry.”

“Kalau masih mau tinggal di sini, harus bawa uang,” berpesan Mamat kepadaku.

“Siapa yang betah di penjara? Enggak ada yang kerasan,” aku menjawab, dan, “Aku mau bebas. Boss mau jamin. Tergantung nasib lah,” kataku lagi, pasrah. Kalaulah ada untung di badan bolehlah aku bebas beberapa hari lagi.

“Nanti jika Hakim tanya, ‘Mau tetap bekerja di Malaysia atau pulang ke Indonesia?’ jawab saja, ‘Mau kerja.’”

“Kalau dijawab ingin pulang ke Indonesia?”

“Kalau kau jawab kau mau pulang ke Indonesia, nanti paspormu digunting; dan kau tak dapat datang lagi ke Malaysia sampai kapan pun.”

“Kok begitu?” bertanya aku karena penasaran.

“Memang seperti itu. Banyak kawanku yang menjawab “mau pulang” juga paspornya digunting.”

“Paspor digunting?”

“Lembar permit kerja yang digunting Mahkamah.”

“Begitu?”

“He eh”

“Tapi aku mau pulang dulu.”

“Gampang. Kalau sudah di luar mahkamah, kau tinggal bilang sama toke kalau kau mau cuti. Jangan pula bilang kau mau berhenti.”

“Oke,” aku menjawab; hatiku pun mulai meraba-raba jawaban jika hakim kelak betul-betul mengajukan pertanyaan serupa. Sebagai ancang-ancang, jawaban yang kucanangkan adalah, Seandainya Puan Hakim yang arif memperkenankan, saya akan tetap bekerja karena saya punya keluarga yang harus saya cukupkan nafkahnya.

“Kalau nanti kau bebas,” berkata Mamat, “tolong hubungi nomor ini,” sembari menyodorkan secarik kertas bertuliskan nomor 085232720xxx dan tiga nama; sebuah namanya sendiri dan dua lainnya adalah Suhni dan Marnip.

“Apa yang harus aku bilang?” bertanya aku pada Mamat.

“Bilang saja aku masuk penjara lagi di Malaysia. Sekarang ada di penjara Sungai Buloh, Selangor.”

Sementara itu, setamat urusanku dengan Combat dan Mamat, Azhar datang menghampiri. Ia minta secarik kertas dan pinjam pulpen. Kuberi dia sesobek kertas dan kupinjamkan pulpen Combat kepadanya. Lantas, kedua alat tulis itu ia gunakan. Usai menulis, ia serahkan kertas itu padaku. Kubaca isinya 012-62617xx, Azhar/As, No. xxxB Jln SS xA/xx, Sg. Way 473xx, Pl Jaya Selangor.

“Saya mesti kontak nombor ini?” aku bertanya kepada Azhar.

“Tak. Tak sekarang,” menjawab Azhar.

“Jadi, apa maksudnya?”

“Itu nombor talian saye. Nanti Uwak telepon nombor ini sekira bulan Mac tahun depan. Saye percaya Mac 2008 saye sudah bebas.”

“Kalau ini nama siapa?”

“Azhar itu saye. As perempuan saye.

“Oke,” aku menjawab. Tiada dia kutanya apakah perempuan yang dia maksudkan itu istri atau kekasih.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar