Selasa, 31 Maret 2009

Hikayat Tiga Pemuda

Hikayat Tiga Pemuda

Semalaman, tidur aku tak nyenyak. Boleh kubilang, aku tak dapat tidur. Aku bangkit dan mengambil air sembahyang; shalat malam dan berdzikir sampai fajar menjelang. Aku teringat sebuah hikayat yang pernah dikhabarkan oleh guru ngaji. Tersebut tiga pemuda terperangkap dalam sebuah gua pada mana pintu gua tertutup rapat sebuah batu besar. Segenap upaya yang mereka lakukan untuk membuka pintu gua (menggeser batu) sia-sia.

“Coba ingat-ingat,” berkata seseorang kepada kedua rekannya, “Apakah pada masa lalu kita telah pernah melakukan sesuatu kebaikan; kebajikan yang dapat dijadikan wasilah (jalan) terkabulnya doa kita oleh Allah SWT untuk melepaskan kita dari sini.” Syahdan, ketiga pemuda merenung dan berdoa. Pemuda 1 adalah seorang anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya. Setiap hari ia menyediakan susu untuk ibu dan ayahnya. Ia melakukan tugas itu dengan sepenuh hati. Suatu saat ketika ia sedang menyiapkan sekaleng susu untuk ibunya, sang ibu telah tertidur. Dengan pegabdiannya, ia tunggu sampai ibunya terbangun ketika fajar telah menjelang. Itulah pengabdian terbesarnya kepada orangtua. Bermunajat pemuda 1 kepada Allah, “Ya, Rabb, jika pengabdianku kepada ibuku memang itu baik menurut-Mu, ya Rabb, maka jadikanlah itu sebagai wasilah untuk menolong kami keluar dari sini.” Dengan seijin Allah, batu penutup pintu gua itu terbuka sedikit.

Giliran Pemuda 2; ia adalah seorang pemuda tampan yang jatuh cinta kepada seseorang pemudi jelita anak pamannya. Tidak bertepuk sebelah tangan; putri sang paman juga menaruh hati kepadanya. Wajah elok perempuan itu tak pernah lepas dari alam pikirnya. Pucuk dicinta ulam tiba; suatu ketika perempuan itu minta bantuan kepadanya. Karena bantuan itu sangat diperlukannya, ia pun berjanji bersedia untuk diajak bercinta bila pemuda itu dapat membantunya. Tidak banyak pertimbangan, bersegeralah pemuda itu membantu sang pemudi. Setelah pemudi itu menyelesaikan urusannya, datanglah kembali ia kepada sang pemuda untuk membayar janji. Ketika mereka hendak mengawan, tanpa diduga sang pemudi mengucapkan kalimat yang membuat pemuda terkesima, “Apakah engkau tidak takut kepada Allah?” Dengan menahan amarah karena birahi yang telah memuncak dan tak tersalurkan, serta merta pemuda 2 meninggalkan pemudi itu sendirian. Kini dalam gua, bermunajat pemuda 2 kepada Allah, “Ya, Rabb, jika pengekanganku terhadap hubungan terlarang karena taatku dan takutku pada-Mu itu juga baik menurut-Mu, ya Rabb, maka jadikanlah itu sebagai wasilah untuk menolong kami keluar dari sini.” Dengan seijin Allah, pintu gua terbuka lebih lebar. Tapi masih belum cukup besar buat mereka untuk keluar.

Kini giliran Pemuda 3; pada suatu masa pria ini pernah mempunyai seorang pegawai. Suatu ketika sang pegawai meninggalkannya dalam keadaan tergesa-gesa tanpa sempat meminta upah kerja terakhirnya. Ditunggu-tunggu, tiada pegawai itu datang mengambil upahnya. Setelah mencarinya ke sana kemari, tiada pula sang majikan menemukan alamat pegawai tersebut. Akhirnya, uang gaji pegawai yang belum terbayar tersebut digunakan sebagai modal usaha. Usahanya selalu memberi keuntungan berlipat ganda. Hasilnya ia belikan tanah pertanian dan kambing-kambing peliharaan; luas tanah dan jumlah kambing terus berkembang. Hingga datang suatu masa ketika mantan pegawai tersebut datang kepadanya untuk mengambil upah kerja yang dahulu tidak sempat dibawanya. Senang dan terkejut seakan tidak percaya, mantan pegawai itu mendapatkan kembali upahnya berikut tanah pertanian dan kambing-kambing peliharaan yang bermula dari upah yang dijadikan modal usaha. Khusyuk pemuda 3 bermunajat kepada Allah, “Ya, Rabb. Hamba pernah melakukan sesuatu yang menurut hamba baik. Jika memang itu pun baik menurut-Mu, ya Rabb, maka jadikanlah itu sebagai wasilah untuk menolong kami keluar dari sini.” Maka, dengan seijin Ilahi, pintu gua pun terbuka lebar-lebar bagi mereka untuk keluar dari sana.

Dalam kesunyian yang dingin. Kututup mata. Tafakur. Kuhimpun segenap energi untuk mengingat-ingat sesuatu kebajikan yang barangkali pernah kuperbuat. Usaha ku sia-sia. Alih-alih suatu kebajikan. Semakin keras aku berusaha mengingat suatu kebajikan masa lalu, yang hadir dalam benakku justru kesalahan demi kesalahan, dosa demi dosa, perkeliruan demi perkeliruan yang pernah kulakukan sepanjang sejarah hidupku. Kelam masa laluku. Merah raporku. Aku merintih. “Ya, Allah. Tiada suatu kebajikan sebesar biji zarrah pun yang pernah aku lakukan. Ya, Rabb. Tak ada sesuatu amal pun yang layak menjadi wasilah pembebasanku.”

Kembali kupejam mata; kuhening cipta. Kembali kucoba menyisir baris demi baris, membuka lembar demi lembar buku perjalanan hidupku untuk mengingat-ingat barangkali ada sedikit terselip amal baikku di masa silam. Ternyata aku memang tidak ingat. Atau memang aku tidak pernah berbuat baik. Aku takut dan kebingungan.

Meski aku dapat melihat cahaya yang terang benderang, lama aku mukim di wilayah subhat – kawasan temaram, remang-remang, abu-abu; wilayah yang sulit untuk membedakan mana yang hak dan mana pula yang batil; daerah yang batas antara halal dan haramnya tidak jelas; lebih tipis dari sehelai rambut dibelah tujuh. Kawasan yang agama perintahkan untuk menjauhinya. Tetapi aku justru kerasan dan cukup merasa nyaman berada di dalamnya. Munafikkah aku? Aku goyah.

Terisak aku menangis ngenas. Derai air mataku jatuh berlinang membasahi pipi. Sesak dadaku. Nafasku tersengal. Nyaris ku tak dapat bernafas normal, lantaran cairan ingus berbaur air mata praktis memenuhi segenap ruang yang ada pada rongga hidung dan kerongkonganku. Kuhapus air mataku dengan tangan telanjang yang menggigil.

Akhirnya aku istighfar, mohon ampun. “Ya, Rabb. Berilah aku ketabahan untuk tiada berputus asa dalam mengharap pertolongan-Mu.”

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar